Liputan6.com, Pyongyang - Pria ini adalah satu-satunya orang Barat yang secara resmi bekerja untuk rezim yang terkenal sangat menutup diri. Tak hanya itu, ia ingin meyakinkan dunia bahwa warga Korea Utara sebenarnya mirip dengan warga Spanyol.
'Kerajaan' yang mengasingkan diri, Korea Utara ternyata memiliki seorang abdi negara yang 'berbeda' di tengah-tengah rezim yang tertutup itu.
Dia adalah Alejandro Cao de Benos, dari Barcelona. Pria berusia 42 tahun itu adalah delegasi khusus dan terhormat untuk Komite Hubungan Kebudayaan Luar Negeri DPRK, mesin publikasi bagi Korea Utara di luar negeri yang dijalankan hanya oleh satu orang.
Advertisement
Ia juga bekerja sebagai konsultan teknologi informasi di negara yang telah dianggapnya sebagai tanah airnya sendiri.
Â
Baca Juga
Alejandro mengunjungi Korut hingga dua kali sebulan dan menerima sambutan meriah saat ia mendarat di Pyongyang.
"Saya merasa dilahirkan sebagai ras Katalan dan Spanyol dan diadopsi oleh Korea Utara," ungkap Alejandro, yang memiliki nama Korea Cho Son-il yng berarti Korea adalah satu kepada The Local seperti dilansir Liputan6.com, Selasa (14/3/2016). Ia menambahkan bahwa di luar dugaan, sebenarnya terdapat banyak kesamaan antara Korea Utara dan Spanyol.
"Menurut saya, Korea Utara adalah 'Bangsa Latin' di Asia. Dibandingkan dengan teman-teman saya yang berasal dari Jepang, Cina, atau Thailand, warga Korut menunjukkan perasaan mereka, seperti dengan memeluk anggota keluarga dan teman, menangis, tertawa, serta cukup ekspresif. Mereka juga suka tidur larut malam, mengobrol, dan minum-minum," kata Alejandro.
Saat remaja Spanyol lainnya pada tahun 1990-an terobsesi dengan sepak bola dan video games, Alejandro Cao de Benós memiliki hobi yang tak biasa.
"Saya mulai terpesona pada Korea Utara sejak usia 16 tahun. Saya amat tertarik pada politik dan budaya Asia," cerita Alejandro.
"Saat itu, di tahun 90-an, ada beberapa keluarga Korea Utara yang tinggal di Madrid. Saya menghubungi mereka dan mereka memberi saya buku-buku, film, dan musik yang mengubah keingintahuan saya menjadi kecintaan akan Korut."
Orangtuanya, seperti dapat diduga, kurang menyetujui minat baru anak mereka akan Korea Utara. Saat itu, Korut tengah dilumpuhkan oleh krisis ekonomi dan bencana kelaparan.
Bencana kelaparan, yang berlangsung dari tahun 1994 hingga 1998, kabarnya telah merenggut 240.000 hingga 3,5 juta jiwa.
"Awalnya, orangtua saya khawatir karena adanya propaganda dan informasi keliru dari media Barat," Alejandro menjelaskan. "Namun, setelah mereka bertemu lebih banyak orang Korea Utara yang ada di Spanyol, seperti para bintang panggung, pelukis, penyanyi, pelajar, mereka akhirnya mengerti betapa baik dan ramahnya bangsa Korea Utara dan betapa mereka sangat menghargai pemimpin dan masyarakat mereka."
"Orangtua saya sempat berpikir bahwa saya akan dipenjara dan saya memang telah dipecat dua kali dari pekerjaan saya karena pandangan politik saya," akunya, sambil menambahkan, "(Dan Spanyol) dianggap sebagai negara demokratis yang bebas dengan undang-undang yang menjamin kebebasan berpolitik."
Alejandro mendirikan Asosiasi Persahabatan Korea pada tahun 2000 dan anggotanya kini berasal dari 120 negara, kebanyakan dari Amerika Serikat. Asosiasi ini memiliki beberapa kantor di Korea Utara, Spanyol, Norwegia, dan Thailand.
Mencintai Para Pemimpin Korut
Selama bekerja untuk Korea Utara, Alejandro telah bertemu dengan almarhum 'Pemimpin Tercinta' Kim Jong-il, dan juga putranya, pemimpin saat ini Kim Jong-un.
"Mereka adalah pelayan rakyat yang sangat rendah hati serta suka bekerja keras," katanya.
"Di negara-negara lain, Anda akan bertemu konsuler atau duta besar yang percaya bahwa ia adalah semacam Dewa. Di RDRK berlaku sebaliknya, semakin tinggi jabatan mereka dalam pemerintahan, semakin rendah dirilah sikap mereka."
"Saat pemimpin kami Kim Jong-il harus menghadapi masa sulit karena kondisi ekonomi dan tekanan dari Amerika Serikat, ia selalu menyunggingkan senyum di wajahnya saat berada di tengah-tengah warga negaranya. Dan Pemimpin kami Kim Jong-un juga seperti itu."
Dinasti Kim telah lama dianggap oleh pihak Barat sebagai pemimpin yang dikultuskan. Gambar dan patung pemimpin Kim Il-sung banyak menghiasi kota Pyonyang, dan fotonya serta foto anak dan cucunya dipajang di kebanyakan rumah di Korea Utara.
Efek dari 'kultus individu' itu terbukti saat seorang pemimpin Korea Utara mangkat, maka seluruh warga negaranya harus turun ke jalan untuk menunjukkan rasa duka cita mereka.
Saat Kim Il-sung wafat pada tahun 1994, warga Korea Utara, yang nyaris menganggap pemimpin mereka sebagai manusia abadi, tampak terkejut dan memukuli dada mereka dan memukuli tanah dengan sedih, meratap, dan menangis, dalam sebuah pertunjukan duka cita publik yang tampak diatur.
Hal yang sama terjadi saat Kim Jong-il meninggal pada tahun 2011, dengan pembaca berita yang sama, Ri Chun-hee, yang berusaha keras menahan isakan saat mengumumkan berita kematian keduanya.
Alejandro telah tampil dalam banyak program berita televisi dan dalam film dokumenter terbaru berjudul The Propaganda Game, yang di dalamnya ia mengeluh tentang propaganda terus menerus yang dilancarkan pihak Barat terhadap Korea Utara.
Apa pendapatnya tentang mitos paling kuat tentang Korea Utara di media-media Barat?
"Ada banyak sekali propaganda. Sembilan puluh lima persen dari informasinya hanya dibuat-buat. Bahwa jika Anda tak melakukan hal ini, maka Anda akan dipenjara, bahwa kami memiliki kamp konsentrasi, bahwa kami melakukan eksekusi publik, bahwa hanya ada satu gaya rambut, bahwa kami membunuhi para jenderal dengan bom dan senjata anti-pesawat, bahwa kami tak dapat mengutarakan pendapat dan pikiran kami, bahwa kami tak dapat beristirahat atau memiliki hiburan."
"Secara umum, kebohongan dan kekeliruan terbesar adalah bahwa warga di sini hidup dalam ketakutan dan dipaksa untuk mengikuti rezim Korea Utara serta ideologi Juche."
"Korut masih menerapkan sistem sosialis mereka, bahkan 25 tahun setelah jatuhnya komunisme dan di bawah sangsi paling buruk dari AS, karena rakyatnya percaya pada ide Juche dan kejujuran para pemimpin serta Pekerja Partai Korea."
Advertisement
Barat Dianggap Sumber Propaganda
Korea Utara sering dituduh sebagai negara yang memiliki catatan hak asasi manusia yang paling buruk sedunia.
"Korea Utara tetap membantah dan melanggar tiap aspek dari hak asasi manusia," demikian ditulis oleh Amnesti Internasional dalam laporan tahunan mereka tentang Korea Utara untuk tahun 2015/16.
Laporan ini menggambarkan pelanggaran hak asasi manusia meliputi kebebasan bergerak, kebebasan berekspresi, penangkapan dan pemenjaraan sesuka hati penguasa, serta hak untuk mendapatkan pangan.
Namun Alejandro Cao de Benós menepis semua klaim tersebut dan tetap meyakini bahwa semua itu hanya berdasarkan propaganda Barat.
"Itu semua propaganda. Negara-negara kapitalis, demokratis palsu adalah negara-negara yang melanggar hak asasi. Anda bisa saja tak memiliki pekerjaan, rumah, tak bisa bersekolah, tak memiliki perawatan kesehatan yang memadai, dan seterusnya, karena Anda hanya "sebebas" isi dompet Anda."
"Tapi jika Anda tak punya uang, atau seperti banyak keluarga di Spanyol yang tak memiliki pendapatan, Anda dapat tinggal di sebelah mesin ATM namun harus meminta-minta makanan pada Palang Merah hanya untuk bertahan. Atau Anda bisa mengunjungi tempat sampah! Lihat saja di sekitar supermarket pada malam hari dan Anda akan melihat sisi lain "pariwisata" Spanyol."
Bagi Alejandro, yang memimpin tur reguler ke Korea Utara dengan harga dua kali lipat dibandingkan tur lainnya karena akses eksklusif yang dimilikinya, pekerjaannya adalah melihat lebih jauh dari sekedar stereotip negara itu dan mengajak orang untuk melihat Korea Utara yang sesungguhnya.
"Jangan percaya saat orang berkata 'Spanyol berbau seperti bawang putih', 'Orang Inggris tak pernah mandi', atau 'Semua orang Jerman kaya raya'. Cobalah melihat sendiri, dan bicara dengan warganya. Itu adalah cara terbaik untuk melihat dan memahami dunia."