Liputan6.com, Washington DC - Anggota Partai Demokrat Amerika Serikat menggelar aksi protes di Kongres pada Rabu, 22 Juni 2016 pagi. Mereka duduk di lantai, menuntut pembatasan senjata yang lebih ketat, menyusul aksi penembakan di klub gay Pulse di Orlando, Florida.
Pengetatan tersebut termasuk pemeriksaan latar belakang pembeli senjata dan memblokir orang yang dicurigai terkait teroris dari upaya pembelian tersebut.
Aksi sekitar 30 orang politikus Demokrat itu juga dilakukan untuk memprotes penolakan Republik, untuk melakukan pemungutan suara yang membatasi pembelian senjata.
Tindakan mereka sempat mencengangkan kolega mereka dari Partai Republik. Pihak Grand Old Party (GOP) justru bersikukuh membahas hal lain, yakni soal dana untuk melawan virus Zika.
"Mengingat ancaman virus Zika--khususnya terhadap perempuan hamil--kita harus mengesahkan RUU tersebut," kata Ketua House Appropriations Committee, Hal Rogers, seperti dikutip dari CNN.
Salah satu politikus, John Lewis, meminta rekan-rekannya untuk tidak menyerah. Lewis adalah seorang veteran dalam gerakan hak-hak sipil pada 1960-an.
Sementara ketua parlemen Paul Ryan menuding protes tersebut aksi publisitas semata. Ryan bersikukuh tak akan ada pemungutan suara soal senjata.
"Mereka tahu bahwa kita tidak akan membawa RUU yang menghilangkan hak seseorang yang dijamin secara konstitusional tanpa ... proses hukum, " kata dia, seperti dikutip dari BBC, Kamis (23/6/2016).
Di sisi lain, para senator meminta ada kompromi di parlemen. Senator AS dari Demokrat, Harry Reid, mengaku mendukung proposal dari kubu Republik.
Reid mengatakan ia mendukung legislasi baru yang diusulkan Senator Republik Susan Collins yang akan menghentikan penjualan senjata pada sejumlah orang yang masuk dalam daftar pengawasan terkait terorisme.
Pada 12 Juni 2016, Omar Mateen yang mengklaim setia pada ISIS memberondongkan peluru di klub Pulse Orlando. Sebanyak 49 orang tewas karenanya. Insiden tersebut adalah penembakan paling mematikan dalam sejarah AS.
Pihak Republik, yang mengendalikan Kongres, mengusulkan reses dan memaksa kamera yang ada di ruang sidang harus dimatikan.
Para demonstran pun ramai-ramai mengirimkan pesan di internet. Sejumlah politikus lantas mengunggah foto-foto lewat Twitter.
Seorang anggota Kongres bahkan melakukan live streaming dari lokasi protes menggunakan aplikasi Periscope.
#NoBillNoBreak
Baca Juga
Cuitan para demonstran ditanggapi banyak pihak. Salah satunya, Presiden Amerika Serikat Barack Obama.
"Kita membutuhkan lebih dari sekadar momentum mengheningkan cipta. Kita harus beraksi. Dan itu yang sedang terjadi di DPR saat ini," tulis Obama dalam Twitternya yang dibubuhi hashtag #NoBillNoBreak.
Sementara itu, Wapres Joe Biden memuji John Lewis yang selalu menjadi pengawal suara hati bangsa pada era yang sarat tantangan dan gaduh dengan kontroversi.
Para anggota parlemen yang menggelar protes menyerukan, "no bill, no break" dan menyanyikan lagu-lagu pergerakan tahun 1960-an.
"Apa yang telah dilakukan lembaga ini (untuk merespons kekerasan)," tanya Lewis, merujuk pada sejumlah upaya yang belum membuahkan hasil terkait aturan pengetatan senjata api.
"Tak ada. Kita telah menutup telinga, tuli untuk para korban tak berdosa yang darahnya tumpah. Kita buta meski krisis ada di depan mata. Di mana keberanian kira? Mau berapa banyak lagi ibu...dan ayah yang harus menumpahkan air mata duka?"
"Bangkit Demokrat, bangkit Amerika," politikus Connecticut John Larson menambahkan.
Connecticut adalah negara bagian di mana 20 anak-anak dan enam orang dewasa tewas dalam penembakan di Sekolah Dasar Sandy Hook pada 2012.
"Kita akan menduduki ruang sidang ini," kata Larson kepada rekan-rekannya sebelum kamera yang dimatikan.
Politikus Demokrat meminta voting digelar sebelum reses berlangsung, yang dimulai akhir pekan ini hingga 5 Juli 2016 mendatang.
Advertisement