Soal Suriah, Hillary Beda Pendapat dengan Obama

Pada debat capres AS terakhir Hillary menegaskan sikapnya soal Suriah. Ia berencana menerapkan zona larangan terbang di negara itu.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 20 Okt 2016, 12:20 WIB
Diterbitkan 20 Okt 2016, 12:20 WIB
20161019-Debat Capres AS Terakhir-Las Vegas
Ekspresi capres AS dari Partai Republik, Donald Trump ketika melihat rivalnya dari Partai Demokrat, Hillary Clinton sebelum dimulainya perhelatan debat ketiga dan terakhir capres AS di University of Nevada, Las Vegas, Rabu (19/10). (REUTERS/Mike Blake)

Liputan6.com, Nevada - Bertempat di University of Nevada, Las Vegas, dua calon presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump dan Hillary Clinton bertemu untuk terakhir kalinya di atas panggung debat.

Sejumlah isu seperti hutang dan bantuan pemerintah, imigrasi, kebijakan luar negeri, hukum, dan ekonomi pun mewarnai perang gagasan keduanya yang dipandu oleh komentator politik sekaligus pembawa berita, Chris Wallace.

Ketika Wallace, menggiring kedua capres pada isu Suriah, Trump tak sanggup menahan diri untuk tak berkomentar.

"Dalam debat kedua, Anda berdua ditanya tentang situasi di Kota Aleppo, Suriah. Aku ingin follow up isu ini karena Anda beberapa kali mengatakan dalam debat bahwa kota ini pada dasarnya mengalami kejatuhan. Sementara faktanya, porak-poranda ...," kata Wallace seperti dikutip dari Vox, Kamis (20/10/2016).

Belum selesai Wallace bicara, Trump memotongnya.

"Itu porak-poranda. Pernahkah Anda melihat apa yang terjadi di Aleppo? Itu bukan kejatuhan. Cobalah untuk melihatnya," kata Trump.

Wallace melanjutkan, "Terdapat seperempat juta orang yang masih tinggal di sana dan dibantai.."

"Itu benar. Mereka dibantai karena keputusan yang buruk (merujuk pada keputusan AS terjun dalam perang Suriah)," ujar miliarder itu.

"Aleppo adalah sebuah bencana, mimpi buruk kemanusiaan. Namun kota ini telah mengalami kejatuhan dari sudut mana pun. Sangat menyedihkan melihat apa yang terjadi. Dan ini semua salah Hillary Clinton. Karena memerangi Assad yang ternyata lebih kuat dari yang dia bayangkan...."

Lebih lanjut Trump menambahkan bahwa saat ini Suriah beraliansi dengan Rusia dan Iran. Sementara yang dilakukan AS adalah mendukung pemberontak.

"Kita tidak mengenali siapa pemberontak-pemberontak itu tapi memberikan banyak uang untuk mereka..."

"Jika Hillary tidak melibatkan AS dalam perang Suriah mungkin kondisi kita akan jauh lebih baik saat ini. Dan inilah yang telah menyebabkan migrasi besar-besaran di mana banyak di antara pengungsi memilih bergabung dengan ISIS. Tunggu saja apa yang terjadi dalam beberapa tahun mendatang. Semoga beruntung, Hillary. Terima kasih telah melakukan pekerjaan yang hebat," imbuhnya.

Ia sendiri tidak menjelaskan langkah pasti apa yang akan ditempuhnya di Suriah jika kelak ia terpilih sebagai orang nomor satu di AS.

Sementara terhadap Hillary, sang moderator menyinggung soal kebijakannya yang akan menerapkan zona larangan terbang di Suriah. Kebijakan ini telah ditentang oleh Presiden Barack Obama karena dianggap dapat memicu perang dunia ketiga.

Menerapkan zona larangan terbang akan membuat AS menguasai seluruh wilayah udara Suriah. Ini berarti AS akan menghadapi pertempuran langsung dengan Suriah dan sekutunya, Rusia.

"Saya pikir zona larangan terbang bisa menyelamatkan nyawa warga sipil dan mempercepat akhir konflik. Saya menyadari kekhawatiran tentang hal ini. Namun ini bukan hal yang bisa terjadi dalam waktu satu hari. Ini akan memakan negosiasi yang panjang dan akan memperjelas sikap kita kepada Rusia dan Suriah bahwa tujuan kita adalah menyediakan zona aman di darat," jelas istri Bill Clinton itu.

"Terdapat banyak orang yang meninggalkan Suriah. Dan mereka tidak memiliki tempat tinggal. Jadi menurut saya kita harus mencapai kesepakatan dengan Rusia dan Suriah bahwa ini adalah cara terbaik yang mengedepankan kepentingan warga sipil. Sehingga nantinya ini akan membantu kita melawan ISIS."

Hillary tengah menjabat sebagai menteri luar negeri AS ketika serangan terhadap Suriah dilancarkan pada awal 2011. Fakta inilah yang membuatnya menjadi 'bulan-bulanan' Trump.

 

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya