Liputan6.com, Kinshasa - Aksi petugas keamanan di Republik Demokratik Kongo dilaporkan telah memicu tewasnya setidaknya 26 demonstran yang menuntut Presiden Joseph Kabila segera melepaskan jabatan.
Demo tersebut berlangsung pada Selasa 20 Desember 2016 di Kinshasa, ibu kota Kongo dengan jumlah penduduk sebanyak 12 juta jiwa. Warga geram terhadap keputusan Joseph yang menolak untuk turun dari takhta pada masa akhir jabatannya sebagai presiden.
Baca Juga
Warga menyebar di sekitar Kinshasa sambil melemparkan batu pada polisi dan tentara, serta membakar ban di jalan. Menanggapi serangan tak terkendali dari para pengunjuk rasa, petugas keamanan membalas dengan menembakkan gas air mata.
Advertisement
Menurut laporan yang dikutip dari Washington Post, Rabu (21/12/2016), pihak rumah sakit di sekitar wilayah ibu kota Kongo tersebut mengatakan, bahwa mereka menangani pendemo yang terluka akibat tembakan dan dikeroyok. Belum ada informasi detail yang menyebutkan berapa banyak korban tewas dalam insiden unjuk rasa tersebut.
Tak lama kemudian, warga melaporkan bahwa pasukan keamanan khusus presiden atau Republican Guards, menggeledah rumah penduduk dan sekelompok besar pemuda ditangkap. Mereka diduga memiliki keterkaitan dengan aksi unjuk rasa.
Sementara itu menurut laporan yang diterima oleh PBB dari Felix Basse, juru bicara Perserikatan Bangsa-Bangsa di Kinshasa, sekitar 20 pengunjuk rasa tewas. Namun hingga Selasa malam Felix masih belum dapat mengkonfirmasi kebenaran informasi tersebut.
Senin 19 Desember 2016 lalu seharusnya menjadi hari terakhir masa kepemimpinan Presiden Joseph. Namun koalisi pendukung pria 45 tahun itu mengklaim bahwa Republik demokrasi Kongo kekurangan dana atau pun sumber logistik untuk melakukan pemilihan presiden sebelum 2018.
Hal tersebut dilihat oleh warga Kongo dan komunitas internasional sebagai cara yang dilakukan oleh Joseph untuk mengulur waktu penyerahan jabatannya. Akibatnya pemimpin oposisi menyemangati pendukung mereka untuk melakukan unjuk rasa menolak keputusan tersebut.
"Hari ini kita memutuskan nasib sendiri," ujar seorang peserta demo di Matete, Peter Kabongo. "Polisi menggunakan senjata api untuk menghalau pendemo, tapi jutaan warga menginginkan Kabila turun dari jabatannya."
Unjuk rasa juga terjadi di Lubumbashi yang merupakan kota terbesar kedua di Kongo. Saksi mata mengatakan mereka melihat para pendemo membakar pom bensin.
"Insiden itu memperlihatkan kepada kita masa depan negara ini ke depannya. Oposisi pemerintah semakin berani dan tak ragu untuk memperlihatkan pendapat mereka. Kita akan melihat hal tersebut semakin jelas di masa depan," kata seorang guru di John Hopskins School of Advanced Internasional Studies, Mvemba Phezo Dizolele.
Republik Demokraik Kongo dilaporkan tidak pernah menjalani pergantian kepemimpinan dengan damai, sejak negara yang berada di wilayah Gurun Sahara Afrika itu merdeka dari Belgia pada 1960.
Joseph sendiri menjadi Presiden Kongo sejak 2001, menggantikan ayahnya Laurent Kabila, yang tewas dibunuh. Sejak saat itu Joseph telah menjadi pemimpin Republik Demokrasi Kongo selama dua periode. Oleh karena itu pria 45 tahun itu tidak dibenarkan untuk memerintah pada periode selanjutnya.
Namun Joseph mengatakan bahwa Kongo belum siap untuk mengadakan pilpres kembali. Sementara Pengadilan Konstitusional menyatakan bahwa Joseph dapat memimpin hingga terpilihnya presiden yang baru.