Liputan6.com, Beni - Sekelompok orang yang diduga pemberontak, menewaskan sedikitnya 36 warga sipil di timur laut Republik Demokratik Kongo.
Menurut laporan yang dikutip dari Reuters, Minggu 14 Agustus 2016, Gubernur Julian Paluku mengatakan, insiden pembantaian tersebut merupakan kejadian paling mematikan di wilayah yang sedang dilanda konflik itu.
Para penyerang menerobos masuk ke dalam rumah dan ladang warga di wilayah Beni, Kongo, pada Sabtu 13 Agustus malam waktu setempat, membantai 22 pria dan 14 perempuan.
Advertisement
Baca Juga
Kelompok teror tersebut menyerang warga dengan menggunakan parang dan kapak.
"Warga Beni sekali lagi dilanda aksi terorisme yang datang menyerang dengan beragam motif. Salah satunya mencoba memporak-porandakan kedamaian yang telah dibangun selama 2 tahun belakangan," kata Julian.
Juru bicara militer setempat, Mak Hazukay, penyerbuan yang terjadi pada Sabtu malam itu diduga dilakukan oleh kelompok teror Aliied Democratic Forces (ADF), yang terbentuk sejak 1990-an.
"Penyerangan tersebut diduga sebagai bentuk balas dendam kelompok tersebut, atas operasi militer yang dilakukan selama satu tahun belakangan," kata Hazukay.
"Mereka bermaksud menghasut penduduk untuk bangkit dan melawan pemerintah," sambung juru bicara itu.
Sementara itu, ADF hingga hari ini belum memberikan komentar apapun terkait penyerangan tersebut.
Walaupun begitu, panel ahli dan analis independen PBB mengatakan, ada kelompok senjata lain yang tergabung dalam penyerangan tersebut, termasuk beberapa di antaranya tentara Kongo.
Serangan tersebut tercatat sebagai insiden paling mematikan yang terjadi di Beni, sejak ADF disalahkan atas pembantaian yang menewaskan 80 orang pada November 2014.
Menurut laporan, lebih dari 500 warga sipil tewas di tangan kelompok teror di Beni, sejak Oktober 2014.
Sementara itu, direktur eksekutif di Pusat Studi untuk Promosi Perdamaian, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, Omar Kavota, mengatakan dia mendapatkan laporan setidaknya 50 penduduk tewas di Kivu Utara.
Kongo Timur, sering mendapatkan desakan dari berbagai macam kelompok, yang ingin mengeksploitasi cadangan mineral. Antara tahun 1996 hingga 2003, dilaporkan jutaan warga tewas akibat konflik wilayah yang juga menyebabkan kelaparan dan penyebaran penyakit.
Adanya tekanan dari tentara Kongo dan pasukan perdamaian PBB, membuat ADF meningkatkan ketegangan di wilayah tersebut.
Menanggapi aksi pembantaian tersebut, warga mendirikan brikade, protes terhadap ketidakmampuan tentara untuk menanggapi aksi teror.