3 Insiden yang 'Panaskan' Hubungan Indonesia-Australia

Selain penghentian kerja sama militer, setidaknya ada tiga insiden yang memanaskan hubungan Indonesia dan Australia.

oleh Andreas Gerry Tuwo diperbarui 06 Jan 2017, 12:40 WIB
Diterbitkan 06 Jan 2017, 12:40 WIB
Ilustrasi Australia
Ilustrasi Australia

Liputan6.com, Jakarta - Hubungan Indonesia dan Australia, kembali menghadapi tantangan besar. Akibat materi pengajaran yang menyinggung RI dalam fasilitas latihan bersama, pemerintah memutuskan untuk memberhentikan sementara kerja sama dengan Negeri Kanguru.

Menurut Peneliti Pertahanan dan Keamanan Indonesia dari US Asia Center di Perth, Natalia Sambhi, hubungan pertahanan RI-Australia sangatlah penting.

"Kerja sama itu sebenarnya menguntungkan kedua negara," ucap Sambhi seperti dikutip dari CNN, Jumat (6/1/2017).

Bukan tanpa alasan Sammbhi menyampaikan ini. Pasalnya, beberapa persoalan keamanan di wilayah seperti penyelundupan orang dan terorisme harus ditangani kedua negara secara bersama-sama.

Banyak pihak berharap RI dan Australia bisa menyelesaikan masalah ini seperti mereka menangani beberapa persoalan bilateral yang pernah terjadi sebelumnya.

Dilansir dari beberapa sumber, berikut insiden yang sempat "memanaskan" hubungan Indonesia dan Australia, serta akhirnya terselesaikan dengan baik.

1. Penyadapan Presiden ke-6 SBY

Susilo Bambang Yudhoyono saat memberi keterangan terkait polemik dokumen TPF kasus Munir di Cikeas, Kab Bogor, Selasa (25/10). Hasil temuan TPF Munir yang dibacakan mantan Mensesneg, Sudi Silalahi telah ditindak lanjuti. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Pada 2013, media Australia, The Age, mengeluarkan laporan mengejutkan. Berdasarkan kesaksian Edward Snowden yang dikenal sebagai mantan pegawai NSA dan pembocor data rahasia Amerika Serikat (AS), Otoritas Negeri Kanguru dituding melakukan penyadapan telepon SBY dan Ibu Negara ketika itu, Ani Yudhoyono.

Penyadapan dilakukan antara Agustus sampai November 2009. Selain SBY dan Ani Yudhoyono, Wapres Boediono dan Menteri Perekonomian Hatta Rajasa juga menjadi korban Australia.

Tuduhan ini membuat pemerintah naik pitam. Menteri Luar Negeri saat itu, Marty Natalegawa mengeluarkan komentar keras kepada [Australia]( 2806236 "").

"Otoritas Australia yang konon menjunjung tinggi prinsip demokrasi, prinsip privasi hubungan bilateral Indonesia dan Australia, satu per satu secara sistematis mencederai dan melanggar semangat itu," ujar Menlu Marty Natalegawa, di kantor kementerian luar negeri, Jakarta, Senin, 18 November 2013.

"Terlepas dari masalah kenegaraan dan hubungan antar-bangsa bukankah kita menanggap penting hak privasi dan bukankah kita tidak ingin pembicaraan kita disadap oleh pihak mana pun," tegasnya.

Marty juga mengambil tindakan tegas dengan memanggil pulang Duta Besar Indonesia untuk Australia, Nadjib Riphat.

2. Eksekusi Duo Bali Nine

Terpidana mati duo Bali Nine, Andrew Chan (kiri) dan Myuran Sukumaran. (www.news.com.au)

Pada 2015, Indonesia membuat keputusan untuk mengeksekusi Myuran Sukumaran dan Andrew Chan. Mereka berdua merupakan warga negara Australia yang terkait jaringan narkotika Bali Nine.

Duo tersebut terbukti berusaha menyelundupkan heroin seberat 8,2 kg dari Indonesia ke Australia.

Selain dua orang ini, anggota Bali Nine lainnya adalah Si Yi Chen, Michael Czugaj, Renae Lawrence, Tach Duc Thanh Nguyen, Matthew Norman, Scott Rush, dan Martin Stephens. Setelah menjalani serangkaian banding, tujuh anggota Bali Nine lainnya menjalani hukuman seumur hidup atau 20 tahun penjara.

Ekeskusi duo bali nine tak bisa diterima Australia. Mereka memprotes pemerintah Indonesia dengan menarik Duta Besar Australia untuk RI, Paul Grigson.

Menanggapi pemanggilan itu, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanantha segera angkat bicara. Pemerintah menyatakan mengerti langkah yang diambil Australia tersebut.

"Hak untuk memanggil dubes untuk konsultasi merupakan hak negara pengirim, Australia memiliki hak itu," ujar Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanatha Nasir di kantornya, pada Rabu, 29 April 2015.

"Seperti yang selalu disampaikan Ibu Menteri Luar Negeri dan Bapak Presiden bahwa kita berharap terus untuk meningkatkan hubungan baik antara kedua negara," tutur dia.

3. Australia Bayar Kapal untuk Bawa Imigran ke Indonesia

Kapal yang mengangkut para pengungsi menyeberangi lautan (keyt)

Beberapa media Australia pada Juni 2015, menyebut sejumlah pejabat pemerintah Negeri Kanguru dituding membayar kapten kapal dan kru untuk membawa puluhan imigran keluar dari negara itu.

Menanggapi kabar itu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, memanggil Dubes Australia untuk Indonesia, Paul Grigson, untuk menanyakan apa benar ada pejabat imigran Australia yang memberikan uang kepada kapten dan kru kapal untuk membawa keluar 65 imigran gelap dari Negeri Kanguru ke Indonesia.

Bukannya menjawab, pemerintah Australia malah mengeluarkan pernyataan mengejutkan. Mereka mengatakan, terkait masalah imigran gelap, Indonesia patut disalahkan karena tak bisa menjaga perbatasan dengan baik.

Tindakan dari Australia ini segera direspons Menlu Retno. Dari Oslo, Norwegia, Retno menuntut Australia menjawab dengan jelas pertanyaannya.

"Sebenarnya tidak sulit bagi Australia untuk menjawab pertanyaan saya hari Sabtu kemarin mengenai isu pemberian uang dan bukan mengalihkan isu," sebut Retno dalam pesan singkatnya, Senin 15 Juni 2015.

Dalam kesempatan berbeda, Perdana Menteri Tony Abbott tidak membantah laporan yang menyebutkan bahwa sebuah kapal Angkatan Laut Australia membayar awak perahu pengangkut imigran yang menuju Negeri Kanguru untuk kembali ke Indonesia.

Dalam wawancara dengan stasiun radio 3AW, Abbott tidak menepis ketika ditanya soal pembayaran kepada awak perahu untuk memutar balik ke Indonesia. Dia justru mengatakan personel imigrasi telah mengembangkan strategi 'kreatif' untuk menghentikan kedatangan perahu-perahu pengangkut imigran.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya