Liputan6.com, Baghdad - Jared Kushner, penasihat senior Donald Trump yang juga menantu presiden Amerika Serikat itu melakukan lawatan perdananya ke Irak. Dalam kunjungan tersebut, turut serta Kepala Staf Gabungan Jenderal Joseph F. Dunford.
Seperti dilansir The New York Times, Selasa, (4/4/2017), rombongan Kushner tiba di Baghdad pada Senin sore waktu setempat dan melakukan pertemuan dengan Perdana Menteri Haider al-Abadi.
Baca Juga
Menurut juru bicara PM Abadi, isu perang melawan ISIS dan keberadaan pasukan AS di negeri 1001 malam tersebut menjadi fokus pertemuan tersebut.
Advertisement
Kushner dikabarkan pula akan bertemu dengan sejumlah pejabat koalisi militer pimpinan AS dan Menteri Pertahanan Irak. Thomas P. Bossert, penasihat keamanan dalam negeri Trump juga turut bergabung dengan rombongan Kushner.
Kedatangan suami Ivanka Trump ke Irak mendapat sorotan khusus. Pasalnya, Kushner nyaris tak punya pengalaman soal perang maupun diplomasi.
Benjamin J. Rhodes, yang sebelumnya menjabat sebagai penasihat kebijakan luar negeri era Barack Obama mengomentari lawatan perdana Kushner.
"Kushner berada di Irak sebelum Penasihat Keamanan Nasional atau Menteri Luar Negeri (berkunjung ke sana). Benar-benar hal normal," cuit Rhodes di media sosial Twitter.
Kabar kunjungan Kushner ke Irak disampaikan dengan cara yang 'tak lazim'. Gedung Putih lebih dulu memberitahukan lawatan tersebut sebelum menantu Trump itu benar-benar mendarat di Irak.
Umumnya, kabar kunjungan pejabat tinggi ke zona perang tidak akan dikonfirmasi sampai mereka benar-benar tiba di tujuan. Ini demi menghindari mereka menjadi target.
Pada tahun 2007 misalnya, seorang bomber Taliban menyerang Pangkalan Udara Bagram di Afghanistan selama kunjungan Wakil Presiden Dick Cheney. Setidaknya 20 orang tewas dan 20 lainnya terluka. Sementara itu, Cheney dalam kondisi aman.
Terkait pertemuan di Baghdad, kantor PM Abadi menjelaskan, delegasi AS menekankan dukungannya terhadap pemerintah Irak dalam perang melawan terorisme dan menyatakan kekaguman mereka terhadap peningkatkan kemampuan tempur militer Irak.
Saad al-Hadithi, jubir PM Abadi mengungkapkan, kedua belah pihak membahas 'kelanjutan kerja sama untuk memusnahkan ISIS di Irak dan Suriah, juga pelatihan dan persenjataan tentara Irak'.
Perjalanan Kushner ke Irak dinilai pula untuk menjamin negara itu bahwa AS adalah sekutu yang dapat diandalkan.
Dalam pidato pertamanya di markas CIA, Trump sempat mengungkapkan penyesalannya bahwa AS tidak mengambil minyak Irak setelah invasi tahun 2003. Menurutnya, mungkin masih ada kesempatan untuk melakukannya.
Meski menyatakan dukungannya terhadap Irak, namun di lain sisi, Trump menempatkan warga Irak dalam daftar tujuh negara mayoritas muslim yang dilarang bepergian ke Negeri Paman Sam.
Perintah eksekutif itu ditangguhkan pengadilan. Sementara itu Trump merilis kebijakan baru serupa meski kali ini tidak memasukkan Irak. Pada akhirnya perintah eksekutif jilid II tersebut pun berhasil digagalkan.
The New York Times menyebut dalam ulasannya, terdapat tanda-tanda pemerintahan Trump memosisikan Irak untuk menekan pengaruh Iran di kawasan. Setidaknya pengaruh Negeri Para Mullah itu meluas melalui 'proxy war' di empat negara, yaitu Irak, Suriah, Lebanon, dan Yaman.
Ke depan, Gedung Putih juga akan memutuskan apakah akan menarik pulang ribuan pasukannya di Irak atau menyisakan sebagian untuk melanjutkan pelatihan militer Irak dan membantu misi kontraterorisme.