Donald Trump Tak Konsisten Soal 4 Isu Ini

Trump berubah sikap dalam sejumlah isu. Ia merapat ke China, merangkul NATO, menyerang Suriah, dan mengakui buruknya hubungan dengan Rusia.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 17 Apr 2017, 20:40 WIB
Diterbitkan 17 Apr 2017, 20:40 WIB
Presiden Amerika Serikat Donald Trump
Presiden Amerika Serikat Donald Trump (AP)

Liputan6.com, Washington, DC - Kemenangan Donald Trump dalam pemilu presiden Amerika Serikat 2016 lalu tidak hanya mengejutkan, namun juga memicu sejumlah kekhawatiran. Bukan saja karena ia minim pengalaman dalam pemerintahan, melainkan juga karena pandangan kontroversialnya dalam sejumlah isu utama.

Begitu diambil sumpahnya sebagai presiden AS, Trump langsung bergerak cepat mewujudkan janji-janji besar kampanyenya.

Masih segar dalam ingatan publik, kehebohan yang dipicu perintah eksekutif Trump soal larangan masuk bagi warga dari sejumlah negara mayoritas muslim. Dunia meresponsnya dengan kecaman kala itu. Belakangan, kebijakan imigrasinya tersebut dibatalkan oleh pengadilan.

Adapun demi mencegah masuknya imigran gelap dan penyelundup narkoba, Trump bersikeras membangun tembok perbatasan AS-Meksiko. Ia ngotot Meksiko harus membayar pembangunannya, padahal negeri tetangga telah berulang kali menegaskan tidak akan mengeluarkan dana sepeserpun.

Yang tidak kalah "panas" adalah ambisi Trump untuk menghapus warisan Barack Obama di bidang kesehatan, Obamacare. Terkait hal ini, upayanya berujung kegagalan. Titik ini disebut-sebut sebagai kekalahan politik terbesar yang dialami Trump.

Namun belum genap 100 hari menjabat, Trump menunjukkan ia tidak sepenuhnya konsisten. Perubahan sikap yang signifikan terjadi, khususnya dalam isu global.

Seperti Liputan6.com kutip dari berbagai sumber, Senin, (17/4/2017) berikut sejumlah perubahan mencolok sikap Trump menyangkut empat hal:

1. China Tidak 'Memerkosa' AS

Dalam kampanye pemilu presiden AS 2016, Trump sempat menyebut bahwa China "memerkosa" AS dengan kebijakan ekonominya yang merugikan. Pernyataan tersebut dipicu defisit perdagangan AS dan China yang mengalami peningkatan saat itu.

"Kita tidak bisa terus menerus membiarkan China memerkosa negara dan itulah yang mereka lakukan," ujar Trump dalam sebuah kampanye pada Mei 2016 seperti dikutip dari BBC.

Trump juga menuding, China memanipulasi nilai mata uang demi mendongkrak ekspor mereka agar lebih kompetitif di pasar global. Tidak cukup sampai disitu, Trump sempat membuat Tiongkok meradang setelah ia menjalin komunikasi via telepon dengan Presiden Taiwan Tsai Ing-wen.

Atas permintaan Presiden China Xi Jinping, Trump menyatakan setuju untuk menghormati kebijakan "satu China" yang selama ini merupakan sikap resmi Washington DC menyangkut isu Taiwan.

Sikap Trump juga mengusik Beijing setelah Rex Tillerson, sosok pilihannya untuk mengisi pos menteri luar negeri memberikan pernyataan keras terkait isu Laut China Selatan.

Peng Liyuan, Xi Jinping, Donald Trump, dan Melania Trump Saat Pertemuan di Mar-a-Lago, Florida, AS (Alex Brandon/AP)

Pada Januari 2017, Tillerson yang belum dilantik kala itu mengatakan, Tiongkok tidak seharusnya diizinkan mengakses sejumlah pulau yang dibangunnya di Laut China Selatan.

Belakangan, nyaris seluruh ketegangan yang tercermin dalam perang kata-kata antar kedua negara luruh menyusul pertemuan Trump dan Xi di Mar-a-Lago, Florida, pada 6 April 2017.

"Kemajuan luar biasa telah dibuat dalam pembicaraan dengan Presiden China Xi Jinping," ujar Trump dalam pertemuan dengan Xi dan delegasi China lainnya seperti dilansir BBC.

"Saya rasa kemajuan benar-benar terjadi," tuturnya seraya menggambarkan hubungan kedua negara luar biasa.

Menlu Tillerson menambahkan pertemuan Trump dan Xi berjalan sukses dan keduanya sangat menikmati diskusi yang "sangat positif". Isu perdagangan dan program nuklir Korea Utara disebut-sebut menjadi agenda utama.

"Kedua pemimpin sepakat atas urgensi ancaman program nuklir Korut, menegaskan kembali komitmen mereka terhadap Semenanjung Korea yang bebas nuklir serta tunduk pada resolusi DK PBB. Mereka setuju untuk meningkatkan kerja sama dengan masyarakat internasional demi menghentikan program nuklir Korut...," ujar Tillerson seperti dikutip dari CNN.

Pertemuan kedua kepala negara ini berlangsung sehari setelah Trump memperingatkan, AS siap bertindak seorang diri jika China tidak bersedia menggunakan pengaruhnya untuk menekan Korut.

Menurut Tillerson, Presiden Xi bahkan mendukung keputusan Trump melancarkan serangan rudal Tomahawk ke Suriah.

"Presiden Xi mengatakan ia mengerti bahwa respons tersebut diperlukan ketika anak-anak dibunuh dan Presiden Xi juga menyampaikan penghargaannya karena telah diinformasikan tentang jumlah rudal yang diluncurkan dan dijelaskan alasan di balik serangan," terang Tillerson.

Tidak lama, usai bertemu Xi Trump "meralat pernyataannya". Dalam sebuah wawancara dengan the Wall Street Journal, ia menyampaikan tidak akan lagi melabeli China sebagai manipulator mata uang. Yang terbaru, Trump mengonfirmasi bahwa Washington-Beijing akan bekerja sama dalam isu nuklir Korut.

2. NATO Tidak Lagi Usang

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump "meralat" pernyataannya soal NATO. Trump menyebut, Pakta Pertahanan Atlantik Utara itu tidak lagi usang.

Pernyataan tersebut disampaikannya bertepatan dengan kunjungan Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg ke Gedung Putih. Dalam kesempatan yang sama Trump mengatakan, ancaman terorisme telah menjadi poin penting aliansi negaranya dengan organisasi keamanan tersebut.

Trump meminta agar NATO berbuat lebih banyak untuk membantu Irak dan Afghanistan.

"Sekjen dan saya memiliki diskusi yang produktif tentang apa lagi yang akan dilakukan NATO untuk memerangi terorisme. Saya mengeluh soal itu sejak lama dan mereka telah berubah, sekarang mereka memerangi terorisme," ujar Trump seperti dilansir BBC pada 3 April 2017.

Presiden Donald Trump bersama dengan Sekjen NATO Jens Stoltenberg (AP/Evan Vucci)

"Sebelumnya saya katakan NATO sudah usang. Tapi kini mereka tidak lagi usang," imbuhnya.

Meski tampil lebih lunak, Trump tetap menyerukan agar negara-negara anggota NATO berkontribusi lebih banyak dana untuk organisasi itu.

"Jika negara-negara membayar dengan adil dan tidak hanya mengandalkan Amerika Serikat, kita semua akan jauh lebih aman," kata presiden ke-45 AS tersebut.

Sebelum pertemuan antara Trump dan Stoltenberg berlangsung, presiden AS itu beberapa kali mempertanyakan tujuan NATO. Ia juga mengeluhkan iuran keanggotaan yang dibayarkan AS sangat besar jika dibandingkan dengan negara-negara lain.

3. Menyerang Suriah

Keputusan Presiden Trump untuk meluncurkan serangan rudal Tomahawk ke pangkalan udara Shayrat di Suriah pada 7 April 2017 mengundang beragam reaksi dari seluruh dunia. Washington beralasan, langkah tersebut dipicu oleh serangan kimia yang menewaskan lebih dari 100 warga sipil di Khan Sheikhoun, Idlib.

Menurut AS, serangan kimia tersebut dilakukan oleh rezim Bashar al-Assad.

Trump dalam keterangannya seperti yang dilansir CNN menegaskan, ia merupakan pemberi perintah atas serangan 59 rudal Tomahawk ke Suriah.

"Saya memerintahkan serangan udara yang menargetkan landasan udara di Suriah yang difungsikan untuk menerbangkan pesawat yang mengebom Idlib dengan senjata kimia," tegas Trump seperti dilansir CNN 7 April lalu.

Keputusan untuk menyerang pasukan Suriah secara langsung ini menunjukkan perubahan signifikan dalam kebijakan luar negeri Amerika di sana, di mana pemerintahan sebelumnya enggan terlibat secara militer dalam perang saudara di Suriah dan lebih memusatkan perhatian pada kampanye untuk melawan kelompok ekstremis ISIS.

Rudal Tomahawk ditembakkan kapal perang AS yang ada di Laut Mediterania,menyasar pangkalan udara Suriah, Jumat (7/4). Serangan ini dilakukan AS menyusul serangan senjata kimia yang menewaskan puluhan warga sipil oleh pemerintah Suriah. (U.S. Navy via AP)

Namun ada hal menarik lain di balik keputusan AS untuk mengintervensi perang Suriah. Sebelum Trump menjadi presiden bahkan menyatakan diri maju dalam dalam pencapresan atau tepatnya tahun 2013, ia telah berulang kali memperingatkan Obama untuk tidak melibatkan diri dalam perang Suriah pasca-serangan kimia yang diduga dilancarkan rezim Assad.

"Presiden harus mendapat persetujuan Kongres sebelum menyerang Suriah-kesalahan besar jika dia (Obama) tidak melakukannya!," kicau Trump di Twitter pada 31 Agustus 2013.

Masih pada 31 Agustus 2013, Trump menuliskan, "Jika Obama menyerang Suriah dan melukai serta membunuh warga sipil, dia dan AS akan terlihat begitu buruk!".

Adapun pada 4 September 2013, ia mencuit, "Apa yang ingin aku katakan adalah menjauh dari Suriah".

Satu hari berikutnya, ia menulis dengan huruf kapital seluruhnya, "Lagi, untuk pemimpin kami yang sangat bodoh, jangan serang Suriah -- Jika Anda melakukannya banyak hal sangat buruk akan terjadi dan dari pertempuran itu semua AS tidak akan mendapat apa-apa!".

Seperti dilansir Russia Today, biaya serangan terhadap pangkalan udara Suriah yang diperintahkan tanpa persetujuan Kongres diperkirakan antara US$ 30 juta hingga US$ 100 juta. Itu tergantung pada modifikasi rudal Tomahawk.

4. Gagal Mesra dengan Rusia?

Pada masa kampanye dan setelah menjadi presiden terpilih, Trump kerap melontarkan pujian terhadap Rusia dan Vladimir Putin semasa kampanye pilpres AS. Salah satunya, ia memuji keputusan Putin untuk tidak membalas pengusiran 35 diplomat Rusia yang dilakukan oleh Barack Obama.

Pengusiran 35 diplomat Rusia itu dilakukan terkait tuduhan Negeri Beruang Merah melancarkan serangan siber.

"Langkah penundaan yang bagus (oleh V.Putin) - Saya tahu ia sangat cerdas!," kicau Trump di Twitter.

Dalam debat terakhirnya dengan Hillary Clinton, Trump terang-terangan memuji Putin.

"Hillary tidak suka Putin karena Putin jauh mengunggulinya dalam setiap hal. Putin jauh lebih cerdas dibanding Hillary dalam isu Suriah," ungkap suami Melania Trump itu seperti dilansir The Guardian.

Pada Februari 2017, Trump membela Putin bahkan dengan cara yang dinilai merendahkan bangsanya sendiri. Dalam wawancara dengan Bill O'Reilly dari stasiun televisi Fox News, Trump menyebut dia menghormati Putin.

Donald Trump dan Vladimir Putin (Reuters)

O'Reilly lantas mengatakan bahwa Putin adalah pembunuh. Dan Trump membalasnya, "Ada banyak pembunuh. Kami punya banyak pembunuh. Apa yang Anda pikir? Apakah negara kita (AS) begitu polos?".

Berbagai fakta tersebut lantas mencuatkan indikasi bahwa hubungan AS-Rusia akan terjalin mesra pada era Trump dan Putin. Namun kenyataannya tidak demikian. Dalam isu serangan kimia di Suriah, kedua negara berdiri di sisi berbeda.

Dukungan Rusia terhadap rezim Assad tidak diragukan lagi. Di lain sisi, AS menyatakan saat ini semua opsi ada di atas meja, termasuk serangan militer. Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson mengatakan, sudah saatnya bagi Rusia untuk berpikir hati-hati mengenai dukungannya terhadap Assad.

Beberapa waktu lalu, Tillerson bertemu Presiden Rusia Vladimir Putin selama kunjungannya ke Moskow. Dan menurut Trump pertemuan tersebut berlangsung baik, meski ia tidak dapat memungkiri hubungan kedua negara tengah tidak harmonis.

"Semuanya berjalan cukup baik. Mungkin lebih baik daripada yang sudah diantisipasi," ungkap Trump mengomentari pertemuan Tillerson dan Putin.

"Saat ini kami sedang tidak akur sama sekali dengan Rusia. Kita mungkin berada di titik rendah dalam hubungan dengan Rusia," jelas mantan pebisnis itu.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya