Liputan6.com, Manila - Anggota parlemen oposisi Filipina mengajukan petisi ke Mahkamah Agung pada Senin 5 Juni. Isinya permintaan agar lembaga peradilan tertinggi itu meninjau kembali dan mencabut pemberlakuan undang-undang darurat militer oleh Presiden Rodrigo Duterte, di sepertiga wilayah negara itu di bagian selatan: Mindanao.
Petisi yang diajukan oleh enam anggota DPR yang dipimpin oleh Edcel Lagman berbunyi, tidak ada revolusi atau penyerbuan di mana keselamatan umum menjadi taruhannya.
Apalagi, status darurat militer mengharuskan pemberlakuan keadaan darurat perang dan penghentian sementara hak kebebasan sipil.
Advertisement
Dalam petisi disebutkan, penerapan darurat militer itu "memuat kesalahan dan kepalsuan fatal."
Dikutip dari VOA News pada Rabu (7/6/2017), oposisi yang mengajukan petisi itu mengatakan, para pemuka Kongres dan mayoritas anggota Kongres melalaikan tugas yang diharuskan undang-undang. Menurut oposisi, seharusnya mereka mengadakan sidang gabungan Kongres untuk mengadakan pemungutan suara untuk mencabut pemberlakuan undang-undang darurat itu.
Duterte memberlakukan undang-undang darurat tanggal 23 Mei 2017 setelah kelompok Maute yang bersekutu dengan ISIS mengepung kota Marawi. Undang-undang darurat itu berlaku sampai pertengahan Juli, tetapi dapat diperpanjang dengan izin Kongres.
Darurat militer di Marawi telah berjalan lebih dari sepuluh hari. Kekhawatiran pun muncul, sebab hingga kini masih banyak warga sipil yang terperangkap di Marawi. Saat ini mereka tengah menunggu evakuasi.
Di tengah nasib tak jelas, Militer Filipina memutuskan untuk tidak mengizinkan mobil penyuplai makanan atau obat-obatan masuk ke Marawi. Akibatnya kelaparan dan krisis obat-obatan pun melanda wilayah itu.