Berminat Terbang Murah tapi Berdiri? Seperti Ini Gambarannya

Ide kabin pesawat tanpa tempat duduk, di mana penumpang terbang berdiri telah ada semenjak 2003. Tertarik?

oleh Arie Mega Prastiwi diperbarui 04 Jul 2017, 18:00 WIB
Diterbitkan 04 Jul 2017, 18:00 WIB
Naik Pesawat dengan Berdiri, Ide Usang yang Cemerlang atau Buruk?
Ilustrasi penumpang berdiri (BBC)

Liputan6.com, New York - Maskapai penerbangan murah asal Kolombia, VivaColombia baru-baru ini menggelontorkan ide terbang sambil berdiri. 

Dalam burung besi VivaColombia kursi-kursi akan dihilangkan. Mereka berharap langkah ini akan menurunkan tarif dengan menambah jumlah penumpang -- dari kelas pekerja Kolombia dan turis.

Pendiri dan CEO VivaColombia, pada Minggu 2 Juli 2017, William Shaw mengatakan, pihaknya tertarik dengan penelitian terbang berdiri karena membuat perjalanan lebih murah.

Dia menambahkan, "Siapa yang peduli jika Anda tidak memiliki fasilitas hiburan selama penerbangan satu jam? Siapa yang peduli bahwa tidak ada lantai marmer ... atau bahwa Anda tidak mendapatkan kacang gratis?"

Konsep terbang berdiri bukan terobosan baru dan banyak layanan maskapai telah mempertimbangkan hal itu selama bertahun-tahun. Pada 2003, Airbus mengemukakan gagasan agar penumpang bersiap dengan "kursi" vertikal.

Spring Airlines, penerbangan murah China tertarik dengan ide itu.

Ryanair juga mengusulkan area berdiri pada armadanya pada 2010. Pada saat itu, bos Michael O'Leary menggambarkan kursi berdiri sebagai "kursi bar dengan sabuk pengaman".

Ia bahkan menyatakan keraguan apakah sabuk pengaman sebenarnya diperlukan dalam penerbangan. 

"Pesawat adalah hanya sebuah bus dengan sayap," kata O'Leary saat itu.

"Jika memang ada kecelakaan di pesawat terbang, sabuk pengaman tidak akan menyelamatkan Anda. Anda tidak perlu sabuk pengaman di London Underground. Anda tidak membutuhkan sabuk pengaman di kereta yang melaju dengan kecepatan 120 mil per jam."

Di tahun yang sama, desainer kursi dari Italia, AvioInteriors, membuat ide 'SkyRider', tempat duduk buat penumpang mirip bangku di ruang tunggu bus yang memungkinkan penunggu 'bertengger' namun masih bisa bersandar.

Dikutip dari TravelWeekly pada Selasa (4/7/2017) desain bangku Skyrider hanya berjarak 58 cm di antara kursi.

Sementara itu, Airbus sendiri tengah menanti hak paten pesawat yang memungkinkan penumpang 'bertengger'.

Pesawat dengan bangku seperti itu didesain untuk penerbangan jarak pendek. Tak ada meja lipat untuk makan, dan juga tidak ada hiburan. Kursi juga tidak bisa ditidurkan.

Saat ide dan paten itu diluncurkan, juru bicara Airbus mengatakan, "ide mengurangi kenyamanan akan ditoleransi para penumpang, asal durasi penerbangan kurang dari satu jam."

Paten AirBus (Airbus)

Selain itu, ide membuat bangku macam itu adalah untuk mengurangi berat pesawat.

Sebuah studi yang digelar 2014, menginvestigasi potensi dampak kabin berdiri pada penerbangan murah. Penelitian itu menyebut maskapai akan menambah 21 persen penumpang dan menawarkan diskon hingga 44 persen jika mereka menawarkan kursi vertikal.

Penempatan 'kursi' pun tidak seperti pesawat pada umumnya. Ada yang mengeluarkan desain modelnya zigzag, ada yang berputar seperti film-film kapal angkasa luar.


Ide Cemerlang atau Buruk?

Mengomentari ide penumpang maskapai berdiri,  pendiri Airfarewatchdog dan Presiden Today.com, Geroge Hobica mengatakan, "Satu-satunya yang memastikan penumpang selamat saat menggunakan metode kabin berdiri adalah mengetes bagaimana maskapai yang memilih ide itu bisa melakukan tes evakuasi dengan baik sebelum layak pakai."

"Dan dilihat dari desainnya, ini justru menjejalkan terlalu banyak orang ke dalam jenis pesawat yang ada. Bagaimana agar semua penumpang dievakuasi dengan aman dalam waktu yang ditentukan, yang saya yakini dalam waktu 90 detik dengan setengah pintu darurat keluar tidak dapat beroperasi?"

Hobica tak yakin dengan itu. 

Sementara itu, James Boyd, humas Singapore Airlines, menilai maskapai penerbangan murah itu sendiri berjibaku dengan harga murah, sementara penumpang menginginkan kepuasan.

"Ada tren yang meningkat bahwa penumpang tak lagi tertarik duduk di kelas bisnis namun, menginginkan layanan premium, nyaman dengan harga murah," kata Boyd.

Menurutnya, ide 'memaksakan' lebih banyak penumpang justru tidak akan dilirik oleh pelanggan.

"Dengan ide penumpang berdiri, pesawat harus didesain memiliki banyak pintu keluar berarti cost pengeluaran lain lagi. Itu berarti harga operasional nyaris sama dengan penerbangan murah dengan tempat duduk," ujar Boyd.

"Akibatnya, satu-satunya konsekuensi dari ide itu adalah jelas tidak nyaman bagi penumpang, dan bisa jadi penerbangan itu tak lagi dilirik atau menjadi pilihan terakhir," tutup Boyd. 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya