Liputan6.com, Washington, DC - Banyak yang tak mengira, seorang Donald Trump bisa menjadi Presiden Amerika Serikat. CEO Uber, Travis Kalanick, salah satunya. "Aku akan pindah ke China jika Donald Trump menang," kata dia kala itu.
Begitu juga dengan CEO Tesla dan SpaceX, Elon Musk. Menurutnya, Trump bukan orang yang tepat memimpin Negeri Paman Sam.Â
Pernyataan mereka diungkap secara terang-terangan. Karena itu, orang dibuat heran saat Musk dan Kalanick memutuskan bergabung dalam tim penasihat ekonomi Donald Trump pada 14 Desember 2016.
Advertisement
Selain keduanya, ada juga CEO Pepsi Indra Nooyi, CEO General Motors Mary Barra, CEO JPMorgan Jamie Dimon, CEO Disney Bob Iger, CEO Wal-Mart Doug McMillon, CEO General Electric Jack Welch. Mereka bertekad membantu mewujudkan slogan kampanye Trump: "Make America Great Again".
Baca Juga
Namun, waktu membuktikan, dukungan mereka kepada Trump tidak abadi.
Kontroversi demi kontroversi yang dipicu kebijakan Donald Trump membuat sejumlah CEO balik kanan.Â
Yang teranyar, bentrokan berdarah antara kelompok supremasi kulit putih dan penentangnya di Charlottesville, Virginia, Amerika Serikat, membuat sejumlah petinggi perusahaan mundur dari Dewan Manufaktur Amerika.
Seperti dikutip dari BBC, Selasa (15/8/2017), CEO Under Armour Kevin Plank dan CEO Intel Brian Krzanich mengumumkan untuk meletakkan jabatan mereka sebagai penasihat presiden di bidang manufaktur.
Pada Senin waktu setempat, melalui Twitter, Plank mengatakan, "Kami dibuat sedih oleh #Charlottesville. Tidak ada tempat bagi rasialisme atau diskriminasi di dunia ini. Kami memilih cinta dan persatuan."
Sekitar 10 jam setelah berkicau melalui akun Twitter pribadinya, Plank kembali men-tweet. Yang berbeda, kali ini dia menulis melalui akun resmi Under Armour. Pria berusia 45 tahun itu mengumumkan pengunduran dirinya dari badan penasihat presiden.
"Saya mencintai negara kita dan perusahaan ini dan akan terus fokus pada upaya saya untuk menginspirasi setiap orang bahwa mereka dapat melakukan apapun melalui kekuatan olahraga yang mempromosikan persatuan, keragaman, dan inklusi," ungkap Plank dalam pernyataannya.
Under Armour yang berpusat di Baltimore, Maryland merupakan produsen alas kaki, peralatan olahraga, dan pakaian.
Segera setelah itu, melalui sebuah blog di situs resmi Intel, Krzanich juga mengumumkan keputusan serupa: hengkang dari Dewan Manufaktur Amerika.
Di Twitter, ia berkicau, "Seharusnya tidak ada keraguan untuk mengutuk ujaran kebencian atau supremasi kulit putih atas nama mereka. #Intel meminta seluruh kepala negara untuk melakukan hal serupa."
Langkah keduanya cukup mengejutkan, mengingat di masa lalu mereka telah mengungkapkan kekaguman atas sosok Trump.
Baik Plank maupun Krzanich mengikuti jejak Kenneth CÂ Frazier, CEO Merck, yang lebih dulu menyatakan mundur dari Dewan Manufaktur Amerika. Frazier mengumumkan keputusannya pada Senin pagi.
Tragedi Charlottesville tidak hanya menimbulkan korban jiwa dan luka, tapi juga banjir kecaman terhadap Trump. Ia dinilai memberi respons yang lembek dengan tidak menyebut langsung pihak-pihak yang terlibat dalam kekerasan di Charlottesville.
Pasca-tekanan terhadap dirinya meningkat, pada Senin waktu setempat barulah Trump secara spesifik mengecam kelompok supremasi kulit putih.
"Mereka yang memicu merebaknya kekerasan mengatasnamakan rasialisme adalah kriminal dan penjahat, termasuk Ku Klux Klan, neo-Nazi, supremasi kulit putih, dan kelompok kebencian lain yang bertentangan dengan nilai-nilai Amerika," ungkap Trump.
Bentrokan di Charlottesville menewaskan satu orang dan melukai belasan lainnya, setelah sebuah mobil yang melaju kencang ditabrakkan ke para demonstran anti-fasis.Â
Korban juga jatuh di pihak aparat. Dua polisi tewas setelah helikopter kepolisian yang memantau jalannya demonstrasi jatuh.Â
Sebenarnya, jauh sebelum tragedi Charlottesville, sejumlah petinggi perusahaan telah lebih dulu meletakkan jabatan mereka di dewan penasihat presiden sebagai bentuk protes atas sejumlah kebijakan Trump.
Mereka yang mengundurkan diri dari dewan penasihat presiden di antaranya adalah mantan CEO Uber Travis Kalanick, pendiri dan CEO SpaceX Elon Musk, dan CEO Walt Disney Robert Iger.
Kalanick meninggalkan Dewan Penasihat Bisnis pada Februari. Pemicunya, ia menentang kebijakan imigrasi Trump. Adapun Musk dan Iger hengkang dari Forum Strategis dan Kebijakan presiden pada Juni lalu.
Musk dan Iger menentang kebijakan Trump yang membawa AS keluar dari Kesepakatan Iklim Paris. Selain itu, Musk juga menyatakan mundur dari Dewan Manufaktur Amerika.
Maju Mundur ala Republik
Hampir setengah tahun menjabat dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump terus berkubang dalam ceruk masalah.
Teranyar, ia dikritik khalayak, dianggap tidak memberikan respons yang layak pada demonstrasi berdarah bernuansa fasisme - rasialisme di Charlottesville, Virginia.
Massa juga mengecam sang presiden yang dianggap tidak bereaksi optimal dalam menekan dan merespons kelompok supremasi kulit putih, pihak yang ditengarai sebagai akar penyebab demonstrasi berdarah tersebut.
Namun, kritik kepada Trump tak hanya datang dari publik semata. Orang-orang yang berada di dalam lingkaran politik sang presiden pun turut melontarkan komentar tajam, seperti para anggota Partai Republik.
"Pak Presiden, kita harus memanggil penjahat dan kejahatan berdasarkan namanya. Mereka adalah supremasi kulit putih dan kejahatannya adalah terorisme domestik," jelas Cory Gardner, Senator perwakilan Colorado, anggota Partai Republik.
Sementara itu, rekan sejawat Gardner dari partai yang sama turut mengungkapkan pernyataan bernada serupa.
"Sangat penting bagi bangsa ini mendengar presidennya mendeskripsikan kejadian di #Charlottesville dengan nama yang sebenarnya, yakni serangan teror oleh kelompok supremasi kulit putih," jelas Marco Rubio, Senator perwakilan Florida, anggota Partai Republik, lewat akun Twitter-nya.
Begitu juga Orrin Hatch, Senator perwakilan Utah, anggota Partai Republik, yang mengungkapkan komentar bernada serupa.
Otomatis, komentar para anggota Grand Old Party (GOP) --nama lain Republik-- menuai sorak positif masyarakat.
Mereka dianggap berani mengkritik sang presiden, meski berafiliasi politik yang sama.
Akan tetapi, bagi yang mencermati, apa yang dilakukan oleh Gardner beserta anggota Republik lain dalam urusan mengomentari Trump, membentuk sebuah siklus yang menggelisahkan.
Menilik dua tahun terakhir sepak terjang Donald Trump di dunia politik, setidaknya tergambar siklus menggelisahkan seperti berikut;
Pertama, Trump memicu riuh dengan mengatakan atau melakukan sesuatu yang bernuansa kontroversial. Kedua, sejumlah politisi Republik yang duduk di kursi pemerintahan kemudian berbondong-bondong melontarkan kecaman.
Ketiga, ketika hiruk-pikuk kontroversial itu tuntas, reda, atau lewat begitu saja, Trump tidak pernah meminta maaf atau menunjukkan penyesalan atas perbuatannya.
Terakhir, politisi GOP yang sebelumnya melontarkan kecaman, akan kembali mendukung Donald Trump beserta agendanya.Â
Â
Advertisement