Liputan6.com, Melbourne - Sebuah buku yang bercerita mengenai perjuangan rakyat Surabaya beberapa bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 diterbitkan dalam bahasa Inggris oleh Monash University Publishing.
Penerjemahnya adalah Dr Frank Palmos, sejarawan dan wartawan senior Australia, yang pernah banyak meliput mengenai Tanah Air pada masa lalu.
Baca Juga
Buku kisah revolusi di Kota Pahlawan itu diterjemahkan menjadi Revolution in the City of Heroes, A Memoir of the Battle that Sparked Indonesia's National Revolution, diterbitkan tahun 2016.
Advertisement
Buku ini berisi catatan harian Suhario Padmodiwiryo yang ketika di zaman kemerdekaan itu baru berusia 24 tahun.
Suhario yang dikenal juga dengan nama Hario Kecik adalah mahasiswa kedokteran di saat Sukarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan tahun 1945. Ia kemudian terlibat dalam pergerakan di Surabaya, dan belakangan menjadi jenderal setelah kemerdekaan, pascabergabung resmi dengan TNI.
Bagian mengenai peristiwa di Surabaya yang belakangan diperingati tiap 10 November sebagai Hari Pahlawan merupakan catatan yang dibuat oleh Hario Kecik, dan pernah diterbitkan dalam buku otobiografinya di tahun 1994.
Namun Frank Palmos hanya mencuplik bagian yang memuat tulisan Hario Kecik seputar apa yang terjadi di Surabaya setelah 17 Agustus, sampai setelah Inggris akhirnya mengalahkan perlawanan rakyat Surabaya di bulan November 1945.
Seperti dalam kata pengantarnya, dan juga dikatakannya dalam percakapan dengan wartawan ABC Australia Plus, Sastra Wijaya, Frank Palmos mengatakan apa yang ditulis oleh Hario Kecik ini merupakan catatan sejarah yang sangat berharga, karena didasarkan atas pengalaman pribadinya sendiri.
"Tidak ada catatan harian yang lebih lengkap dari yang ditulis Suhario. Dia mendapatkan bahannya dari ratusan pejuang dari generasi 1945 selain juga pengalamannya sendiri," kata Palmos lewat email dari tempat tinggalnya sekarang di Perth (Australia Barat).
Dalam kajiannya, Dr David Bourchier Associate Professor Studi Asia di University of Western Australia mengatakan bahwa buku terjemahan Frank Palmos ini sangat berguna bagi mereka yang tertarik dengan sejarah perjuangan Indonesia yang tinggal di luar negeri.
Ini disebabkan karena buku-buku mengenai sejarah perjuangan Indonesia dalam Bahasa Inggris dan ditulis sendiri lewat pengalaman pribadi pelakunya, tidaklah banyak.
"Buku memoir yang luar biasa ini memberikan rincian mengenai apa yang terjadi menjelang Pertempuran Surabaya di bulan November 1945," kata Bourchier.
"Ini hanya satu dari sedikit buku yang menampilkan perpekstif lokal yang ditulis salah satu tokoh utama yang terlibat. Penuh dengan anekdot dan cerita sejarah yang hidup," tambah Bourchier.
"Buku ini juga sangat berharga untuk mengoreksi catatan sejarah bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia sebelumnya digerakkan dari Jakarta, dan juga kebanyakan cerita sebelumnya berasal dari pandangan Barat," kata Bourchier lagi.
Pentingnya Peran Surabaya
Dalam buku setebal 203 halaman tersebut, Suhario menceritakan bagaimana setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Surabaya menjadi satu-satunya kota di Indonesia ketika itu yang tidak dalam kekuasaan siapa pun.
Jepang yang saat itu berkuasa, namun takluk terhadap Sekutu menyusul pemboman Nagasaki dan Hiroshima, pada awalnya tidak mau mengakui kemerdekaan Indonesia. Namun di Surabaya, para pejuang Tanah Air kemudian berhasil melucuti persenjataan yang masih dikuasai oleh Jepang.
Para pejuang ini kemudian bersiap diri menghadapi kedatangan tentara Inggris yang diminta untuk mengamankan keadaan, guna mempersiapkan kembalinya Belanda, yang sebelumnya menguasai Indonesia.
Dalam buku ini, Suhario menggambarkan bagaimana para pejuang yang hanya memiliki semangat merdeka mengorganisir diri untuk menghadapi kedatangan tentara Inggris.
Ketika tentara Inggris tiba sekitar bulan Oktober atau November 1945, para pejuang Indonesia tidak menyerah begitu saja dan akhirnya terlibat dalam pertempuran selama 2 pekan.
Walau akhirnya kalah, perjuangan para arek Surabaya ini kemudian dilihat sebagai titik penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia.
Apa yang ditulis oleh Suhario Kecik mengenai pertempuran Surabaya tersebut ada di dalam bukunya berjudul Memoar Hario Kecik, Autobiografi Seorang Mahasiswa Prajurit yang diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia di tahun 1994.
Buku memoar tersebut tebalnya 730 halaman dan 260 halaman, di antaranya berisi mengenai cerita pertempuran Surabaya.
Wartawan dan sejarawan asal Australia Frank Palmos yang kemudian menemui Hario Kecik di Jakarta di tahun 2000-an, memberikan saran kepada Suhario agar bagian mengenai Revolusi di Kota Pahlawan itu dijadikan buku tersendiri.
Perjumpaan Frank Palmos dengan Suhario Kecik terjadi secara tidak sengaja ketika Palmos hendak menulis buku berjudul Surabaya 1945: Sacred Territory.
Di tahun 2010, Palmos mendengar bahwa Suhario sedang menulis sebuah buku baru, dan setelah bertemu mereka membicarakan untuk menerbitkan buku dalam bahasa Inggris mengenai pertempuran di Surabaya tersebut.
Advertisement
Keterlibatan Frank Palmos
Sosok Frank Palmos sendiri sebenarnya sudah lama memiliki hubungan dengan Indonesia.
Setelah menamatkan pendidikan sarjana di jurusan Indonesia dan Komunikasi di University of Melbourne di tahun 1964, Palmos kemudian bekerja sebagai koresponden harian The Herald Melbourne di Jakarta antara tahun 1965 sampai tahun 1971.
Baru berusia 24 tahun, Palmos menjadi wartawan asing pertama yang memiliki biro di Indonesia, dan menjadi kepala biro kelompok penerbitan Sydney Morning Herald-Sun grup.
Selama di Indonesia, Palmos juga pernah menjadi penerjemah bagi Presiden Indonesia ketika itu, Soekarno dan para pemimpin Indonesia lainnnya antara tahun 1964-1966. Selain itu ia juga pernah meliput perang Vietnam.
Setelah pensiun menjadi wartawan, Palmos kemudian menyelesaikan pendidikan doktoral di University of Western Australia di Perth, dengan disertasi juga mengenai Surabaya, yang kemudian menjadi buku berjudul Surabaya 1945: Sacred Territory.
Sebagai sosok yang memiliki pengalaman bersentuhan dengan Indonesia selama 50 tahun terakhir, Frank Palmos pun buka suara melihat situasi politik dan sosial di Indonesia saat ini.
"Di Universitas saya, University of Western Australia, menurunnya minat mahasiswa belajar mengenai Indonesia berhubungan langsung dengan kelompok radikal seperti Hizb ut-Tahrir dan pendanaan yang mereka dapatkan dari negara-negara Arab," kata Palmos kepada wartawan ABC Australia Plus, Sastra Wijaya.
"Berbeda dengan PKI yang didanai dan didukung oleh China di tahun 1960-1965, unjuk rasa belakangan ini di Indonesia adalah bukti kekuatan asing bermain dalam politik Indonesia untuk kepentingan mereka sendiri," jelasnya.
"Di tahun 1948, Moskow mendukung PKI untuk mengadakan pemberontakan di Madiun, dan di tahun 1965, China melakukan hal yang sama dengan PKI di Jakarta," katanya lagi.
"Keterlibatan asing akan mengakibatkan tindak kekerasan yang brutal. Walau saya tidak bisa memperkirakan kapan hal itu akan terjadi. Namun bila terjadi, apakah akan ada perang sipil," kata Frank Palmos memperingatkan.
Saksikan juga video berikut ini: