Ini Kegiatan Ilegal di Jepang yang Turis Jarang Mengetahuinya

Tato dilarang di Jepang sejak akhir 1800-an hingga 1940-an. Seusai Perang Dunia II, negeri itu melonggarkan aturan dengan syarat tertentu.

oleh Alexander Lumbantobing diperbarui 05 Okt 2017, 18:40 WIB
Diterbitkan 05 Okt 2017, 18:40 WIB
Larangan tato di Jepang (0)
Salah satu tanda larangan tato di tempat umum Jepang. (Sumber Kotaku)

Liputan6.com, Tokyo - Ketika berkunjung ke Jepang, turis-turis Australia dan lainnya semakin tertarik mendapatkan tato. Apalagi, kedai-kedai tato bertebaran di kota-kota yang ramai kunjungan semisal Tokyo, Osaka, dan Kyoto.

Namun, banyak yang tidak mengetahui bahwa kedai (parlour) tato dilarang keberadaannya di Jepang.

Seperti dikutip dari News.com.au pada Kamis (5/10/2017), putusan pengadilan Osaka pada minggu lalu menegaskan larangan tersebut. Saat itu, seorang seniman tato didapati bersalah telah melanggar aturan yang jarang ditegakkan.

Ketika jurnalis News.com.au mengunjungi dua kedai tato di Tokyo pada Juni lalu, para pegawai di sana tahu tentang kasus Osaka yang menjadi sorotan. Namun, tidak ada yang menduga hukuman benar-benar dijatuhkan.

Awalnya, seniman tato bernama Taiki Masuda (29) didenda 300 ribu yen. Setelah mengajukan banding, angka itu dipotong setengahnya dan Masuda bermaksud melanjutkan upaya legal melawan dakwaan.

Kejahatan yang disangkakan kepadanya adalah karena ia melukiskan tato tanpa lisensi medis. Dari dakwaan tersebut, jelas bahwa hukum membidik si seniman bukan para pelanggan.

 

Riwayat Pelarangan

Tato di Jepang pada 1890-an dan tato oleh Kimbei. (Sumber Wikimedia Commons dan Wikimedia Commons/Kusakabe Kimbei)

Tato dilarang di Jepang sejak akhir 1800-an hingga 1940-an. Seusai Perang Dunia II, negeri Matahari Terbit itu melonggarkan aturan melalui persyaratan adanya lisensi medis.

Walaupun ada syarat tersebut, ratusan kedai tato bermunculan di lokasi-lokasi utama di seluruh negeri. Tokyo pun menjadi daerah tujuan populer bagi wisatawan dari Australia, Eropa, Amerika Serikat dan kawasan lain di Asia.

Tak dapat disangkal bahwa putusan pengadilan Osaka terasa menggentarkan sehingga kebanyakan seniman tato Jepang mencemaskan risiko diseret ke pengadilan. Beberapa seniman tato yang diwawancarai pada Juni lalu pun menolak memberikan komentar.

Mereka khawatir menjadi sasaran jika berbicara melawan aturan larangan tato tersebut, walau ada juga yang berani angkat suara.

Hideo Kuboki dari Zen Tattoo Studio di Tokyo berpendapat bahwa larangan itu aneh. Menurutnya, aturan itu sudah kuno dan tidak masuk nalar bagi Jepang modern. Kuboki khawatir akan dampak aturan itu terhadap bisnisnya.

Ada segelintir seniman tato Jepang yang tidak terlalu bersimpati kepada Masuda. Misalnya Jiro Nakano dari T.F.T.D. Tattoo Shop di Tokyo. Menurutnya, Masuda dan beberapa seniman tato Jepang lain yang menggunakan pistol tato moden bukanlah seniman tato "sungguhan."

Bagin Nakano, seniman tato autentik adalah mereka yang mempraktikan tato gaya tradisional yang dikenal sebagai Tebori. Cara itu dilakukan dengan tangan yang memegang jarum terpasang pada batang tongkat kayu atau logam.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

Seni Tradisional dan Kaitan dengan Yakuza

Ritual tradisional Sanja Matsuri dulunya melibatkan Yakuza. (Sumber Wikimedia Commons)

Seni Tebori menjadi cerminan keberadaan tato dalam budaya Jepang. Seni pada tubuh telah ada sejak 2000 tahun lalu di Jepang, tapi tato masih mendapat stigma berat.

Sebagian konotasi negatif itu misalnya karena kaitan dengan Yakuza, gangster kejahatan terorganisasi yang mencengkeram kuat di Jepang. Kelompok itu terkenal dengan seni lukis tubuh yang rumit.

Sebagai akibatnya, banyak tempat publik Jepang, misalnya pusat kebugaran, kolam renang, dan sauna tidak mengizinkan orang mempertunjukan tato. Lukisan tubuh harus ditutupi agar pengunjung lain tidak merasa terancam dengan kehadiran Yakuza.

Pemilik kedai Chunky May May di Tokyo yang hanya ingin dipanggil May mengatakan bahwa ia tidak pernah memasang tanda di luar tokonya, sebab ia tidak ingin menarik pelanggan Yakuza atau pandangan negatif dari sekitarnya.

Ia memaklumi mengapa ada sebagian warga Jepang yang tidak menyukai tato, walaupun syarat medis dalam peraturan dianggapnya tidak adil.

Wanita itu menduga, aturan yang dimaksud dirancang untuk membatasi kreativitas warga dan menciptakan masyarakat yang enggan berpikir.

Masih harus diamati apakah aturan historis di Osaka memicu larangan lebih ketat tampilan seni lukis tubuh di tempat publik.

Dalam waktu dekat, para seniman tato Jepang mungkin akan berjaga-jaga, misalnya dengan melarang kedatangan wisatawan yang lebih menarik perhatian dibandingkan dengan pelanggan lokal.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya