Ini Jurus 3 Kota di China untuk Berantas Polusi

Menurut berbagai studi akademis, sekitar sepertiga polusi yang melanda Beijing berasal dari provinsi Hebei.

oleh Liputan6.com diperbarui 02 Nov 2017, 07:48 WIB
Diterbitkan 02 Nov 2017, 07:48 WIB
Ilustrasi polusi udara
Ilustrasi polusi udara (iStock)

Liputan6.com, Beijing - Kawasan utara China yaitu Beijing-Tianjin-Hebei yang rentan akan kabut asap akan membentuk badan perlindungan lingkungan hidup sebagai upaya untuk berkoordinasi dalam mendukung pengentasan masalah polusi.

Dilansir dari laman VOA Indonesia (2/11/2017), badan perlindungan lingkungan hidup dibentuk sebagai upaya yang lebih luas untuk meningkatkan tata kelola lingkungan hidup lintas kawasan.

Rencananya, badan itu akan dibentuk pada akhir tahun 2017. Tiga kawasan itu dikenal sebagai Jing-Jin-Ji, yaitu lokasi dari 10 kota di China dengan tingkat kabut asap polusi paling tinggi di bulan September.

Menciptakan keseragaman standar lingkungan hidup di seluruh kawasan itu adalah elemen kunci dari sebuah rencana integrasi ekonomi kawasan yang diluncurkan oleh Presiden Xi Jinping pada tahun 2014.

Menurut berbagai studi akademis, sekitar sepertiga dari kabut asap polusi itu melanda ibu kota, Beijing, yang berasal dari provinsi Hebei.

Kalangan regulator telah berjanji untuk membentuk sistem tata kelola lingkungan hidup yang seragam yang akan menciptakan standar emisi lintas kawasan dan mencegah perusahaan-perusahaan yang tidak patuh pada peraturan di Beijing dengan memindahkan operasinya ke kota Hebei.

Mereka juga telah berikrar untuk mengimplementasikan rencana tanggap darurat yang terkoordinir selama timbulnya kabut asap polusi tebal.

 

Peneliti: 62 Ribu Warga Indonesia Tewas Akibat Polusi Udara

Berdasarkan data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pada tahun 2016 lebih dari 80 persen negara di dunia memiliki tingkat pencemaran udara yang melebihi ambang batas.

Sebuah analisis terbaru dari International Energy Agency (IEA) tahun 2016 bahkan memperkirakan, polusi udara bertanggung jawab atas kematian dini 60 ribu orang di Indonesia.

Isu lingkungan beserta dampaknya dipandang kian gawat dan memprihatinkan. Untuk itu, sebuah acara bertajuk Addressing Indonesia's Air Pollution Through Energy Policy Change diadakan guna menginformasi masyarakat seputar ancaman yang akan kita hadapi di masa depan.

Selain itu, acara ini juga bermaksud untuk mengajak semua warga Indonesia untuk beralih menggunakan energi terbarukan yang jauh lebih ramah lingkungan dan tak menimbulkan kerusakan alam sama sekali. Karena Indonesia tak boleh hanya bergantung pada satu sumber daya saja.

Acara yang diselenggarakan oleh beberapa badan seperti International Institute for Sustainable Development (IISD), Global Subsidies Initiative (GSI), dan Centre for Energy Research Asia (CERA) ini menghadirkan beberapa peneliti, pakar, pegiat lingkungan dan pihak internasional yang resah akan kondisi dunia saat ini, termasuk Indonesia.

Dalam pemaparannya Peneliti Senior IISD Philip Gass menyebut, ada mitos yang harus dihapuskan dari pemikiran masyarakat dunia terutama pemangku kebijakan di Indonesia yang mengatakan bahwa energi terbarukan adalah sebuah opsi yang 'mahal'.

"Jika kita telaah bersama, jumlah biaya yang harus dikeluarkan untuk penyediaan fasilitas dan sistem energi terbarukan memang lebih mahal dibanding penggunaan energi fosil (batu bara). Tetapi hitung-hitungan kami mengungkap fakta lain. Untuk penyediaan pasokan listrik lewat energi terbarukan akan membutuhkan biaya sebesar 11 sen per kwh," ujar Philip Gass.

"Beda halnya dengan biaya yang dikeluarkan untuk pasokan listrik lewat energi fosil, hanya membutuhkan 4 cent per kwh," tambahnya.

Namun, jumlah yang dikeluarkan untuk efek pencemaran lingkungan akan jauh lebih besar. Pemerintah harus mempertimbangkan efek rumah kaca, pembuangan emisi gas yang dikeluarkan akan membutuhkan biaya yang menyamai pasokan listrik lewat energi terbarukan.

"Jumlahnya akan sama saja, 11 sen per kwh, ditambah dengan ancaman lingkungan dan kesehatan warga Indonesia akibat pencemaran udara tersebut," pungkas Philip.

Selain itu, manusia tak bisa selalu bergantung pada pemanfaatan energi fosil. Kekayaan mineral yang ada di perut bumi ada batasannya. Beda dengan energi terbarukan yang memanfaatkan energi matahari, angin, air, ombak dan lainnya yang tak akan pernah habis.

Jika, pasokan batu bara sudah menipis dan langka tentu hal ini akan berdampak pada kehidupan masyarakat. Secara otomatis harga listrik akan naik dan membuat masyarakat tercekik dengan nominal uang yang harus dibayar untuk menggunakan listrik.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya