Israel Akui Jalin Kontak Rahasia dengan Arab Saudi

Untuk pertama kalinya, seorang pejabat senior Israel mengaku bahwa ada jalinan hubungan rahasia antara Tel Aviv dengan Riyadh.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 20 Nov 2017, 14:29 WIB
Diterbitkan 20 Nov 2017, 14:29 WIB
Ilustrasi Israel
Ilustrasi Israel (AP Photo/Tom Pringle)

Liputan6.com, Tel Aviv - Seorang menteri Israel pada hari Minggu mengatakan bahwa pihaknya melakukan kontak rahasia dengan Arab Saudi di tengah berkembangnya kekhawatiran atas pengaruh Iran di kawasan. Hal ini sekaligus menjadi pengakuan pertama seorang pejabat senior Israel tentang jalinan hubungan rahasia antar kedua negara yang kabarnya telah lama berembus kencang.

Seperti dikutip dari South China Morning Post pada Senin (20/11/2017), Saudi belum menanggapi pernyataan yang dilontarkan Menteri Energi Israel, Yuval Steinitz, itu. Demikian pula halnya dengan Juru Bicara Perdana Menteri Israel yang masih bungkam.

Dalam wawancaranya dengan stasiun radio Army, Stenitz tidak menyebut detail kontak tersebut atau alasan di balik tindakan Israel menutupi hubungannya dengan Saudi.

"Kami memang memiliki hubungan yang sebagian besar ditutupi dengan banyak negara muslim dan negara Arab," ungkap Stenitz.

"Ini adalah sisi lain yang menarik untuk menjaga hubungan tetap tenang. Biasanya tidak masalah, tapi kami menghormati harapan pihak lain, ketika hubungan berkembang, apakah itu dengan Arab Saudi atau negara Arab lain atau negara muslim dan lainnya... kami menjaganya tetap sebagai rahasia," imbuhnya.

Kabar tentang kerja sama Riyadh-Tel Aviv sempat dikonfirmasi langsung ke Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Adel Jubeir pada Kamis lalu. Ia menjelaskan, "Kami selalu sampaikan bahwa jika konflik Israel-Palestina diselesaikan berdasarkan inisiatif perdamaian Arab maka Israel akan menikmati hubungan ekonomi, politik dan diplomatik yang normal dengan seluruh negara-negara Arab dan sampai itu terwujud, kita tidak memiliki hubungan dengan Israel," tegas Jubeir.

Baik Saudi maupun Israel memandang Iran sebagai ancaman utama bagi Timur Tengah. Dan meningkatnya ketegangan antara Teheran dan Riyadh belakangan telah memicu spekulasi bahwa dengan dilandaskan kepentingan bersama, Saudi dan Israel dapat menjalin kerja sama.

Inisiatif perdamaian Arab mencakup hengkangnya Israel dari tanah Palestina yang dicaplok pada perang 1967, termasuk Yerusalem Timur.

Hussein Ibish, ilmuwan senior di Arab Gulf States Institute di Washington mengatakan bahwa pengakuan Stenitz tentang kontak rahasia Saudi dan Israel tidak mengejutkan siapa pun yang memerhatikan perkembangan hubungan kedua negara.

Pekan lalu, Kepala Staf Militer Israel Jenderal Gadi Eisenkot mengatakan pada surat kabar Saudi, Elaph, bahwa pihaknya siap berbagi "informasi intelijen" dengan Saudi. Ia menegaskan, kedua negara memiliki kepentingan bersama dalam menghadapi Iran.

Saudi telah meningkatkan tekanan terhadap Iran dengan menuding Negeri Para Mullah itu mencoba memperluas pengaruhnya di negara-negara Arab, seringkali melalui proxy mereka, termasuk kelompok Hizbullah Lebanon.

Menurut Ibish, dengan mempertimbangkan persepsi ancaman bersama yang dimiliki negara-negara Israel dan negara-negara Teluk, tidak mustahil hubungan rahasia berkembang.

Pada September lalu, Netanyahu sempat menyinggung hubungan Israel dengan sejumlah negara-negara Arab. Ia menyebut bahwa ada kerja sama "dalam berbagai cara dan dengan tingkat yang berbeda".

Dan masih pada September lalu, sebuah stasiun radio Israel melaporkan bahwa Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman telah melakukan kunjungan rahasia ke Israel. Namun kabar ini dibantah Saudi.

Jejak hubungan kedua negara juga tercium saat bulan lalu, mantan pimpinan badan intelijen Saudi Pangeran Turki bin Faisal berbagi panggung dengan mantan direktur badan mata-mata Mossad, Efraim Halevy, dalam debat mengenai Iran di sebuah sinagog di New York.

Pada 2016, seorang mantan Jenderal Saudi, Anwar Eshki, dilaporkan mengunjungi Israel di mana ia bertemu dengan anggota parlemen Israel untuk mempromosikan inisiatif perdamaian Saudi.

Perselisihan Lama Saudi Vs Iran

Pertikaian antara Arab Saudi dan Iran bukanlah kabar baru. Keduanya dinilai saling berebut untuk mendapat dominasi regional.

"Kerikil" dalam hubungan kedua negara kian tajam dengan perbedaan pandangan agama. Iran mayoritas penganut syiah, sementara Saudi memposisikan diri mereka sebagai pemimpin sunni.

Perpecahan ini tercermin dalam peta Timur Tengah yang lebih luas di mana negara-negara lain "berkiblat" kepada keduanya.

Di lain sisi, secara historis, Arab Saudi yang merupakan sebuah monarki dan rumah bagi kelahiran Islam melihat dirinya sebagai pemimpin dunia muslim. Sementara, Revolusi Islam Iran pada 1979 juga berdampak pada ambisi Teheran.

Dalam 15 tahun terakhir khususnya, perbedaan antara Saudi dan Iran telah dipertajam oleh sejumlah peristiwa.

Invasi yang dipimpin oleh AS ke Irak, sebuah negara Arab sunni, pada 2003 dianggap telah menyingkirkan pengaruh Iran di Negeri 1001 Malam tersebut.

Lantas pada 2011, Musim Semi Arab yang melanda seluruh jazirah Timur Tengah telah memicu ketidakstabilan politik. Iran dan Arab Saudi dikabarkan mengeksploitasi gejolak ini untuk memperluas pengaruhnya, terutama di Suriah, Bahrain dan Yaman. Hubungan antar kedua negara pun kian berselimut kecurigaan.

Persaingan Teheran-Riyadh pun memanas seiring dengan kemenangan Iran dalam beberapa kasus.

Di Suriah, dukungan Iran (dan Rusia) terhadap rezim Bashar al-Assad sebagian besar telah mengalihkan sokongan dari kelompok-kelompok pemberontak yang didukung oleh Arab Saudi.

Riyadh dikabarkan berusaha mati-matian untuk menghadang pengaruh Iran. Kehadiran Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman ke pusat kekuasaan dianggap semakin memperburuk ketegangan regional.

Pangeran Mohammed bin Salman menggagas terjadinya perang Yaman. Ia berkilah membela pemerintahan Abdrabbuh Mansur Hadi dari pemberontak Houthi, meski tujuan akhirnya dinilai untuk membendung pengaruh Iran. Dan setelah tiga tahun bergulir, perang Yaman tak menghasilkan apa pun.

Sementara itu, dalam krisis terbaru yang merebak di Lebanon, banyak pengamat yang meyakini bahwa Saudi telah memberikan tekanan pada Perdana Menteri Saad Hariri untuk mengundurkan diri. Secara tidak langsung, ini dilihat sebagai upaya untuk menekan Iran yang bersekutu dengan Hizbullah Lebanon, sebuah kelompok yang tidak hanya memiliki kekuatan politik, tapi juga mengendalikan pasukan tempur bersenjata berat.

Siapa Dukung Dukung Iran, Siapa Dukung Saudi?

Secara garis besar, peta strategis Timur Tengah mencerminkan perpecahan syiah dan sunni. Kubu Saudi didukung oleh Uni Emirat Arab, Kuwait, Bahrain, Mesir dan Yordania. Sementara, di sisi Iran terdapat Suriah, termasuk Hizbullah yang bermarkas di Lebanon.

Pemerintah Irak yang didominasi syiah juga merupakan sekutu dekat Iran, meski secara paradoks Baghdad juga memiliki hubungan dekat dengan Washington karena mereka bergantung atas bantuan untuk melawan ISIS.

Iran dan Saudi sejauh ini tidak pernah terlibat pertempuran langsung. Namun keduanya terlibat dalam perang proxy di seluruh kawasan. Suriah dan Yaman adalah contoh nyata dari medan perang yang mempertemukan keduanya.

Akan tetapi, setelah "kegagalan" di Yaman dan kekalahan di Suriah, Saudi disinyalir mulai melirik Lebanon sebagai "arena pertempuran proxy" berikutnya. Lebanon berisiko chaos seperti Suriah, meski demikian, para analis tak melihat ada kepentingan Saudi yang mendesak di Lebanon. Konflik di Lebanon dapat dengan mudah menarik Israel yang nyata-nyata menentang Hizbullah.

Apakah konflik Saudi dan Iran berpotensi menjadi perang langsung antar keduanya? Tidak menutup kemungkinan terjadi. Satu area yang jelas dimana keduanya bisa masuk dalam konflik langsung adalah di perairan Teluk di mana perbatasan maritim mereka saling berhadapan.

Meski demikian, pertempuran di sini juga bisa berisiko konflik yang jauh lebih luas. Bagi AS dan Barat, kebebasan navigasi di Teluk sangat penting dan setiap konflik yang mengganggu dengan mudah akan menarik partisipasi mereka.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya