Liputan6.com, Caracas - Pemerintah Venezuela telah menetapkan diplomat dari Kanada dan Brazil sebagai orang yang tak diinginkan (persona non grata) di negara mereka. Penetapan itu diumumkan pada Sabtu, 23 Desember 2017.
Penetapan itu semakin mempertebal pertikaian antara ketiga negara, di mana Brazil dan Kanada kerap melayangkan kritik terhadap pemerintahan Presiden Venezuela Nicolas Maduro. Demikian seperti dikutip dari VOA News, Senin (25/12/2017).
Ketua Majelis Konstituante Venezuela yang pro-pemerintah dan berkuasa, Delcy Rodriguez, mengatakan bahwa negaranya memutuskan untuk tak lagi menerima duta besar Brazil, Ruy Pereira, dan kuasa usaha Kanada, Craig Kowalik di negara dengan ibu kota Caracas itu.
Advertisement
Baca Juga
Alasan politik adalah motif utama. Haluan politik konservatif yang dianut oleh Ruy Pereira diduga sebagai biang penyebab penetapannya sebagai persona non grata oleh Venezuela yang tengah menganut paham sosialis-kiri.
Sementara itu, Craig Kowalik dianggap oleh Caracas 'terus menerus mencampuri urusan dalam negeri Venezuela secara ofensif'.
Memang, Kedutaan Kanada di Caracas pernah mengunggah tulisan di Twitter yang menggambarkan Majelis Konstituante Venezuela sebagai 'lembaga yang mengancam rakyat (Venezuela) untuk memilih pemimpin dan presiden mendatang mereka (secara demokratis)'.
Brazil sendiri, pada pekan lalu, ikut mengutarakan komentar pedas kepada Venezuela. Brazilia mendesak Caracas untuk memperbaiki rekam buruk hak asasi manusia di Venezuela.
Meski begitu, Majelis Konstituante belum menyebut kapan diplomat Brazil dan Kanada itu harus hengkang dari Venezuela.
Sementara itu, merespons sikap Caracas, pemerintah Brazil mengancam akan mengambil langkah setimpal terhadap diplomat Venezuela di Negeri Samba.
Sedangkan Kanada belum memberikan komentar terkait sikap yang diambil Venezuela terhadap Craig Kowalik.
Krisis Venezuela
Pemerintah Venezuela telah menghadapi kritik internasional sejak Mahkamah Agung negara itu menghilangkan Kongres yang dikuasai oposisi pada bulan Maret 2017, memicu krisis yang merebak dan masih berlangsung hingga saat ini.
Keputusan tersebut kemudian dibatalkan. Baru-baru ini, sebuah majelis konstitusional baru yang seluruhnya terdiri dari loyalis pemerintah berusaha mengejar lawan politik Maduro. Beberapa wali kota dan pemimpin oposisi dipenjara.
Puluhan ribu orang telah melarikan diri akibat krisis politik Venezuela. Inflasi tiga digit dan kekurangan makanan serta obat-obatan pun meluas. Perekonomian negara yang bergantung pada minyak itu "jatuh" setelah harga minyak dunia mulai terjun bebas pada tahun 2014.
Pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump menampar Venezuela dengan sanksi ekonomi yang lebih luas pada bulan Agustus 2017. Trump bahkan mengatakan bahwa ia tidak akan mengesampingkan tindakan militer terhadap negara tersebut.
Presiden Maduro sendiri telah merespons pidato Trump di Sidang Majelis Umum PBB. Ia menjuluki Trump "the new Hitler" atau "Hitler baru" di kancah perpolitikan internasional. Selain itu, Maduro juga menuding bahwa Trump mengancam membunuhnya.
Kementerian Luar Negeri Venezuela juga telah mengecam pembatasan perjalanan yang dirilis pemerintahan Trump. Mereka menyebutnya sebagai "terorisme politik dan psikologi".
Meski demikian, Venezuela tidak menutup pintu dialog dengan AS. "Untuk saat ini, memang tidak mungkin. Namun kemauannya ada di sana. Tapi saya tegaskan, jika mereka (AS) menyerang kami di area mana pun, kami akan meresponsnya dengan kuat demi membela tanah air kami, rakyat kami".
Advertisement