Batalkan Konser di Tel Aviv, Lorde Diintimidasi Massa Pro Israel

Penyanyi Lorde memutuskan membatalkan konsernya yang akan digelar di Tel Aviv.

oleh Afra Augesti diperbarui 05 Jan 2018, 08:15 WIB
Diterbitkan 05 Jan 2018, 08:15 WIB
Lorde
Lorde saat gelar konser tunggal di Los Angeles tahun 2016. (AFP)

Liputan6.com, Tel Aviv - Penyanyi Lorde mendadak ramai diperbincangkan di media sosial, terutama Twitter. Dia di-bully habis-habisan karena membatalkan konsernya yang akan digelar di Tel Aviv, Israel.

Diberitakan Al Jazeera, Rabu (3/1/2018), pembatalan konser dara berusia 21 tahun itu diputuskan setelah dua pendukung gerakan Boycott, Divestment, Sanctions (BDS) -- yang merupakan aktivis Palestina -- melayangkan surat terbuka kepada Lorde.

Mereka mendesak Lorde agar tidak "manggung" di Israel karena dikhawatirkan muncul anggapan miring mengenai keterlibatannya dalam mendukung kebijakan pemerintah Israel. Itu artinya, dia juga menentang orang-orang Palestina.

Penyanyi asal Selandia Baru tersebut lalu mengumumkan pengunduran dirinya dari konser tunggalnya. Sejak saat itu, pernyataan Lorde justru dijadikan bahan olok-olok dan menuai kritik pedas oleh massa pro Israel.

Bahkan, kabar itu sampai ke telinga Menteri Kebudayaan Israel, Miri Regev. Dia berharap Lorde berubah pikiran dan tetap menyelenggarakan konser di Israel.

Adapun, Duta Besar Israel untuk Selandia Baru, Itzhak Gerberg, mengundang Lorde ke Kedutaan Besar untuk mendiskusikan masalah ini secara pribadi.

Gerakan BDS dimulai pada 2005, setelah adanya seruan yang dikeluarkan oleh kelompok masyarakat sipil Palestina.

Gerakan itu bertujuan untuk membantu mengakhiri isu Yerusalem. Dengan kemunculannya di media sosial dalam beberapa tahun terakhir, BDS telah menyedot perhatian pendukung perjuangan Palestina.

Akan tetapi, hal itu justru memantik amarah pejabat senior Israel, termasuk Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Pemerintah Israel melarang keras lembaga-lembaga untuk mempromosikan BDS di negaranya.

Permintaan Fans?

Lorde
Lorde saat gelar konser tunggal di Los Angeles tahun 2016. (AFP)

Pada Malam Tahun Baru 2018, wajah ayu Lorde terpampang pada satu halaman penuh iklan di Washington Post. Iklan tersebut diterbitkan oleh sekelompok advokasi pro Israel yang menyindirnya sebagai "rasis" atau "bigot". Ia dianggap sebagai penghancur Israel.

Di sisi lain, banyak yang mengecam iklan tersebut lantaran kalimat yang dipakai bernada intimidasi. Wartawan musik Eric Boehlert, melalui akun Twitter pribadinya, menyebut iklan tersebut menyedihkan dan sama sekali tak pantas.

"Lorde tak harus tampil di mana pun dia tak ingin tampil, tuduhan di surat kabar itu adalah upaya untuk mengintimidasinya," tulis Boehlert.

Justine Sachs, seorang Yahudi asal Selandia Baru, yang turut menulis surat terbuka kepada Lorde, mengatakan bahwa dia sangat gembira ketika mendengar artis itu telah mengabulkan permintaannya.

Mahasiswa pascasarjana berusia 23 tahun itu mengungkapkan, dia dan Nadia Abu-Shanab -- aktivis Palestina yang juga menulis surat itu -- adalah penggemar Lorde.

Awalnya, mereka mereka tak yakin apakah Lorde mau membatalkan konsernya di Israel. Keduanya paham bahwa Lorde pasti sudah terikat kontrak kerja.

"Kami tahu dia (Lorde) peduli dengan keadilan sosial. Jadi kami yakin bahwa dia akan bersimpati terhadap isu Yerusalem dan orang-orang Palestina," ucap Sachs.

"Awalnya, kami tidak yakin kalau dia mau membatalkan konser tunggalnya, meski dia menginginkannya. Ada kontrak tertulis di sana. Setelah mengetahui faktanya, kami menilai ini sebagai bukti keberanian Lorde. Saya menjadi lebih menghormatinya," ia melanjutkan.

Namun, menurut Sachs, keputusan Lorde tak hanya sekadar urusan pribadi saja. Tindakannya harus bisa dijadikan tonggak gerakan utama BDS.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya