Pertemuan Kim Jong-un dan Shinzo Abe Ditunda hingga Jepang Akui Sejarah Kolonial?

Rencana pertemuan antara Kim Jong-un dan PM Shinzo Abe kemungkinan besar ditunda, karena desakan Korea Utara agar Jepang meminta maaf atas luka masa lalu.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 09 Agu 2018, 07:01 WIB
Diterbitkan 09 Agu 2018, 07:01 WIB
PM Jepang Shinzo Abe
PM Jepang Shinzo Abe (AP Photo/Shizuo Kambayashi)

Liputan6.com, Pyongyang - Pemerintah Korea Utara disebut kian menajamkan kritiknya terhadap Jepang, yang berisiko merusak harapan Perdana Menteri Shinzo Abe meyakinkan Kim Jong-un untuk bertemu dengannya.

Berbagai tajuk berita di media negara di Pyongyang memuat persepsi negatif terhadap Negeri Matahari Terbit, termasuk tuduhan Tokyo tentang pengembangan senjata nuklir dan tudingan rencana "membasmi" komunitas Korea Utara di Jepang.

PM Abe pada Senin, 6 Agustus 2018, mengumumkan bahwa dia tertarik bertemu Kim Jong-un untuk membahas isu-isu yang menjadi perhatian bersama, termasuk program nuklir Korea Utara dan penculikan warga negara Jepang yang di masa lalu untuk "membangun hubungan baru kedua negara".

Dikutip dari South China Morning Post pada Rabu (8/8/2018), optimisme PM Abe muncul setelah Menteri Luar Negeri Taro Kono melakukan percakapan singkat dengan Ri Yong-ho, mitranya di Korea Utara pada pertemuan ASEAN di Singapura akhir pekan lalu.

Surat kabar Yomiuri di Tokyo bahkan mengabarkan bahwa ada kemungkinan PM Abe bertemu Kim Jong-un di sela-sela penyelenggaraan Forum Ekonomi Timur di Vladivostok, Rusia, pada September mendatang.

Pada hari yang sama ketika PM Abe mengulangi bahwa dia "tidak akan kehilangan kesempatan" untuk bertemu Kim Jong-un, kantor berita resmi Pyongyang Korea Central News Agency (KCNA) menerbitkan selebaran terbaru di Tokyo, menuduh Jepang "bermain trik licik" dan "berperilaku tidak bijaksana".

Editorial itu menuduh Jepang mencoba "memicu suasana permusuhan" ke Korea Utara, menambahkan bahwa Tokyo perlu "secara jujur ​​merefleksikan kejahatan agresi masa lalu yang berdarah", mengeluarkan permintaan maaf dan membayar ganti rugi sebelum pembicaraan dimungkinkan.

 

Simak video pilihan berikut: 

 

 

Kemarahan Korea Utara pada Jepang

Gaya Santai Kim Jong-un Saat Tinjau Peternakan Lele
Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un (kiri) bersama istrinya Ri Sol-ju (tengah) saat meninjau peternakan lele samchon di Provinsi Hwanghae Selatan, Korea Utara, Senin (6/8). (KCNA VIA KNS/AFP)

Kim Myong-chol, seorang anggota Chongryun, asosiasi warga Korea Utara Jepang, mengatakan bahwa hubungan antara Pyongyang dan banyak musuh ideologinya, terutama Korea Selatan dan Amerika Serikat, telah menghangat dalam beberapa bulan terakhir, di mana kemungkinan adanya peningkatan hubungan serupa dengan Jepang.

"Jepang memiliki kebencian terhadap Korea Utara dan sangat sulit bagi kami warga Korea Utara untuk tinggal di Jepang," kata Kim Myong-chol, yang juga direktur eksekutif Pusat Perdamaian Korea-Amerika dan seorang juru bicara tidak resmi untuk Pyongyang.

"Agar pembicaraan terjadi, Jepang pertama-tama perlu meminta maaf dan mengakui kesalahan yang mereka lakukan terhadap rakyat Korea," katanya. "Tetapi mereka tidak bisa memaksa diri untuk melakukan itu."

"Jepang masih membuat warga Korea Utara yang tinggal di sini merasa seperti warga kelas dua. Mereka menyangkal hak-hak dasar seperti pendidikan dan menjadikan kita sebagai sasaran diskriminasi dan pelecehan," tambahnya. "Jepang mengklaim itu adalah demokrasi, tetapi tidak."

Di lain pihak, pemerintah Korea Utara telah mengutuk Tokyo karena menarik subsidi untuk sekolah dan universitas di negara rezim tersebut, dan melaporkan Negeri Matahari Terbit ke Komite PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial.

Dalam rilis editorial pada 6 Agustus, KCNA mengatakan menyebut sekolah-sekolah Korea Utara mengalami "kekerasan fasis untuk menghilangkan hak atas pendidikan nasional dan menghapus masa depan komunitas Korea di Jepang".

"Pertemuan puncak antara Kim dan Abe sangat tidak mungkin terjadi sekarang karena Jepang menolak untuk mengakui apa yang dilakukannya pada masa kolonial dan terus melakukan tuntutan terhadap apa yang disebut penculikan warga Jepang," kata Kim Myong-chol.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya