Jam Tangan Ini Ditemukan di Jasad Penumpang Kapal Titanic

Sebuah jam saku berusia 106 tahun dihargai mahal karena punya keterkaitan dengan salah satu peristiwa paling fenomenal dalam sejarah: tenggelamnya kapal Titanic

oleh Afra Augesti diperbarui 14 Agu 2018, 21:05 WIB
Diterbitkan 14 Agu 2018, 21:05 WIB
Jam tangan milik korban Titanic dilelang (Credit: Heritage Auction/ha.com)
Jam tangan milik korban Titanic dilelang (Credit: Heritage Auction/ha.com)

Liputan6.com, New York - Jam saku itu sudah lama mati, dengan jarum membeku dan mesin yang penuh karat. Namun, diperkirakan, benda kuno itu bakal laku US$ 20 ribu atau setara Rp 287 juta dalam pelelangan.

Jam berusia 106 tahun itu bernilai mahal karena punya keterkaitan dengan salah satu peristiwa paling fenomenal dalam sejarah: tenggelamnya kapal Titanic pada Minggu malam 14 April 1912.

Benda itu dulunya adalah milik Sinai Kantor, imigran berusia 34 tahun asal Witebsk, Rusia.

Seperti dikutip Daily Mail, Selasa (14/8/2018), ia naik ke Titanic bersama sang istri, Miriam (24) dari Southampton menuju Bronx, New York, Amerika Serikat untuk mencari penghidupan yang lebih baik.

Dengan tiket nomor 244367 seharga 26 pound sterling, mereka naik Titanic sebagai penumpang kelas dua. Sesampainya di Negeri Paman Sam, pasangan itu berencana kembali makan bangku sekolahan, belajar ilmu kedokteran gigi dan kedokteran umum di universitas.

Sinai berencana menjual bulu-bulu hewan di dalam kopernya, untuk membiayai mimpi mereka jadi dokter.

Usai Titanic menabrak gunung es, oleng dan kemudian karam, Miriam berhasil lolos dari maut. Ia menaiki sebuah sekoci yang penuh dengan perempuan dan anak-anak.

Perempuan itu pun berjuang untuk menemukan jasad sang suami dan barang miliknya di Laut Atlantik dingin bercampur es.

Titanic (Wikimedia Commons)

Setelah delapan hari pencarian, jasad pria malang tersebut kemudian ditemukan kapal pencari korban Titanic, Mackay-Bennett.

Pun dengan sejumlah barang milik Kantor: jam saku, paspor Rusia, buku catatan, uang, dompet, sebuah jam tangan, teleskop dan pembuka botol.

Jam saku milik Sinai Kantor kemudian diwariskan dari satu generasi ke generasi hingga belakangan, penanda waktu buatan Swiss itu ditawarkan di balai lelang American & Political Auction dan Heritage Auctions di Dallas, Texas.

Meski arloji itu tak bisa bergerak, karena terlalu lama terendam air laut, angka-angka yang terukir dalam bahasa Ibrani masih terlihat. Pun dengan gambar timbul yang melukiskan sosok Musa memegang naskah Sepuluh Perintah Tuhan di bagian belakang.

"Itu bukan jam mahal, terbuat dari kuningan berlapis perak," kata Don Ackerman, salah satu direktur Heritage Auctions Historical.

"Pria itu mungkin tak punya banyak uang, jadi itu sesuatu yang bisa dia beli, yang mewakili identitasnya sebagai Yahudi dan menarik baginya."

Ackerman mengatakan, tenggelamnya RMS Titanic adalah salah satu tragedi terbesar Abad ke-20. Dan, daya tariknya tak lekang hingga kini.

Jam tersebut adalah bagian dari kisah tragis Titanic yang melegenda. Sayangnya, jarum jam telah patah sehingga tak diketahui kapan terakhir kali ia berfungsi.

"Kami pernah menangani beberapa materi dari Titanic sebelumnya, tetapi ini adalah jenis barang yang sangat pribadi dan menceritakan sebuah kisah." kata Ackerman.

"Hanya dengan melihatnya, Anda tahu, barang itu bukan sesuatu yang tersimpan di loteng atau laci seseorang untuk sementara waktu," tambah dia. Jam tangan itu berasal dari Titanic.

 

Saksikan video menarik terkait Titanic berikut ini:

Fakta Mengerikan Kapal Penyelamat Korban Titanic

Pemakaman para korban Titanic dari atas Kapal Mackay Bennett.
Pemakaman para korban Titanic dari atas Kapal Mackay Bennett

Mackay Bennet adalah kapal berbendera Kanada yang dikontrak pihak pemilik Titanic, White Star Line seharga 300 poundsterling per hari untuk mengangkat jasad para korban. Sementara Kapal Carpathia berhasil menyelamatkan lebih dari 700 korban selamat dari sekoci-sekoci.

Dalam sebuah telegram, awak Mackay-Bennett mengaku kewalahan dengan jumlah jasad korban Titanic dan hanya memiliki ruang terbatas di kapal mereka. Alasan lain, perlengkapan pengawetan jenazah terbatas.

Sang Kapten, Frederick Larnder kemudian memutuskan untuk memprioritaskan jasad penumpang kelas satu dan kelas dua -- yang dibalsem dan dikembalikan ke keluarga mereka yang berduka.

Karenanya, jasad-jasad penumpang kelas tiga diceburkan ke lautan beku Atlantik Utara.

Pun dengan jasad para awak Titanic. Bedanya, bukan lagi pertimbangan kelas yang diambil. Sudah jadi tradisi maritim bahwa para perwira dan kelasi yang tewas dimakamkan di laut lepas.

Dari 334 jasad yang ada di Mackay-Bennett, 116 di antaranya dikembalikan ke lautan.

Bagaimana cara menentukan mana penumpang kelas satu, dua, atau tiga?

Jasad-jasad tersebut dipisahkan berdasarkan pakaian dan barang-barang pribadi yang masih menempel.

Instruksi Kapten Larnder tersebut bisa terlihat dalam 181 lembar telegram yang akhirnya terkuak lebih dari 100 tahun setelah tragedi Titanic.

Salah satunya berisi pesan yang dikirim ke Kapal Mackay-Bennett dari Pelabuhan Halifax, Kanada di mana jasad-jasad korban dibawa.

"Penting artinya Anda membawa semua jasad, sebanyak mungkin yang bisa dibawa, ke pelabuhan," demikian tertulis dalam telegram.

Tak lama kemudian Mackay-Bennett menjawab, "Pencatatan secara hati-hati telah dilakukan pada semua uang kertas dan barang berharga yang ditemukan pada jasad. Apakah tidak lebih baik untuk menguburkan semua jenazah di dalam laut kecuali ada permintaan khusus dari pihak keluarga?"

Kapten Frederick Larnder kemudian mengirimkan pesan tambahan. "...Kami bisa membawa 70 (jasad) ke pelabuhan jika diminta."

Telegram lain menunjukkan frustasi karyawan White Star Line di darat yang berusaha menangani jasad-jasad korban yang berdatangan. Ada puluhan setiap harinya.

Operasi evakuasi korban Titanic berakhir pada Mei 1912, sebulan setelah tenggelamnya bahtera paling besar dan mewah pada zamannya itu.

Telegram-telegram itu disimpan mantan pegawai Cunard Line, yang merger dengan White Star Line yang goyah pada 1934.

Dokumen-dokumen itu nyaris hilang untuk selamanya sebelum dikumpulkan oleh karyawan tersebut dan diwariskan pada putrinya.

Lembaran-lembaran lawas itu kemudian diserahkan pada sejarawan Titanic, Charles Haas pada 1980.

"Koleksi tersebut memberikan rincian luar biasa tentang bagaimana sulitnya proses yang harus dilalui setelah tenggelamnya Titanic," kata Haas (69). "Menunjukkan tekanan luar biasa yang dirasakan semua orang yang terlibat."

Kapal Mackay-Bennett yang tak seberapa besar mungkin bisa menampung puluhan korban. Namun, 200-300 jasad yang mereka terima sudah di luar batas.

Haas menambahkan, sang kapten menghadapi pilihan sulit. "Keputusannya, mengidentifikasi jasad penumpang kelas satu dan dua untuk dibawa, dan menguburkan sisanya di laut, mungkin adalah cara terbaik untuk menangani situasi yang tak terkendali itu.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya