Remaja di China Direkrut Pemerintah untuk Mengembangkan Senjata Berbasis AI

Pemerintah China merekrut sejumlah pelajar untuk belajar mengembangkan senjata berbasis kecerdasan buatan atau AI.

oleh Afra Augesti diperbarui 10 Nov 2018, 08:30 WIB
Diterbitkan 10 Nov 2018, 08:30 WIB
Drone
Ilustrasi Drone, sebuah pesawat tanpa awak GDU Byrd Premium yang diterbangkan pada acara Consumer Electronic Show (CES) 2017 di Las Vegas, Nevada, (06/1/ 2017). (DAVID McNew / AFP)

Liputan6.com, Beijing - Di China, di sebuah lembaga penelitian yang didanai pemerintah, siswa sekolah menengah direkrut untuk mengembangkan persenjataan yang dioperasikan oleh kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI).

Program ini adalah langkah terbaru dari Negeri Tirai Bambu untuk bersaing melawaan AS dalam hal "permainan perang modern".

Beijing Institute of Technology (BIT), telah memilih pemuda-pemuda terbaik dan tercerdas di seluruh penjuru Tiongkok untuk berpartisipasi dalam program desain senjata berbasis AI.

Menurut situs web BIT, 27 anak laki-laki dan 4 perempuan akan dipersiapkan untuk menjadi perancang senjata termutakhir di dunia.

Mereka yang terpilih berasal dari 5.000 kandidat terdaftar, semuanya berusia di bawah 18 tahun dan "tangguh", menurut seorang profesor yang enggan disebutkan namanya, seperti dikutip oleh South China Morning Post.

Menurut keterangan yang tercantum dalam brosur untuk program ini, setiap siswa akan dipandu oleh ahli senjata dari latar belakang akademis dan dari industri pertahanan.

Para pelajar bahkan akan mendapatkan pengalaman langsung, dengan bekerja di laboratorium pertahanan yang sesungguhnya.

Program tersebut berlangsung selama 4 tahun, dan pada akhirnya para lulusan diharapkan dapat melanjutkan ke bidang spesialisasi yang diinginkan mereka, ke tingkat Ph.D.

Ironisnya, China adalah negara adidaya pertama yang mendukung seruan untuk melarang senjata mematikan otonom di PBB.

Sampai sekarang, sistem senjata otomatis masih perlu dikendalikan oleh "kontrol manusia", seperti yang disyaratkan oleh Martens Clause, sebuah hukum internasional yang menetapkan bahwa teknologi senjata yang diproduksi harus dikembangkan sesuai dengan "prinsip-prinsip kemanusiaan".

Baik itu Rusia maupun AS, telah menyatakan oposisi mereka terhadap larangan persenjataan otomatis.

Eleonore Pauwels dari pusat penelitian kebijakan PBB di New York, menyatakan keprihatinannya atas inisiatif China itu.

"Ini adalah program universitas pertama di dunia yang dirancang untuk mendorong generasi muda agar berpikir secara agresif dan strategis, merancang, dan menerapkan AI demi penelitian dan penggunaan militer," ucapnya, seperti dikutip dari media Rusia, RT.com, Sabtu (10/11/2018).

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

 

China Haus Nama?

Presiden AS Donald Trump didampingi Presiden China Xi Jinping saat upacara penyambutannya di Beijing
Presiden AS Donald Trump didampingi Presiden China Xi Jinping saat upacara penyambutannya di Beijing (AP Photo/Andrew Harnik)

Program yang diluncurkan pada Oktober 2018 itu, adalah upaya terbaru China untuk mendongkrak popularitas secara global di bidang AI, yang menargetkan peringkat paling atas dunia pada 2030.

Setelah Xi Jinping (Presiden China) pada tahun lalu menyerukan untuk berfokus pada teknologi AI, Negeri Tirai Bambu mulai memobilisasi sumber daya dari pemerintah pusat serta perusahaan-perusahaan teknologi terkemuka.

Keberanian China dalam mengembangkan teknologi senjata telah menarik perhatian AS.

September lalu, US Defense Advanced Research Projects Agency atau Badan Proyek Penelitian Lanjutan Pertahanan AS (DARPA), mengumumkan inisiatifnya sendiri untuk menggelontorkan dana senilai US$ 2,7 miliar demi penelitian senjata AI.

Banyak pihak menduga, Donald Trump jadi 'panas' dan AS benar-benar ingin bersaing dengan China.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya