Liputan6.com, Christchurch - Ribuan orang diperkirakan akan hadir dan menyimak kumandang adzan salat Jumat untuk mengenang satu minggu usai serangan toror mematikan terjadi di Christchurch, Selandia Baru.
Dikutip dari laman The Guardian, Jumat (22/3/2019), Gamal Fouda, imam masjid Al Noor, mengatakan akan ada 3.000 hingga 4.000 orang yang akan memadati Hagley Park -- yang lokasinya bersebrangan dengan masjid Al Noor.
Perdana Menteri Jacinda Ardern juga dijadwalkan akan menyimak kumandang adzan salat Jumat pada jam pukul 13.30 waktu setempat.
Advertisement
Baca Juga
Sebagian besar stasiun televisi dan radio berencana akan menyiarkan secara langsung acara tersebut.
Usai insiden ini pula, Perdana Menteri Selandia Baru menyatakan bahwa senjata gaya militer semi-otomatis dan senapan serbu, akan dilarang oleh pemerintah di bawah undang-undang persenjataan hasil amandemen.
"Kabinet setuju untuk merombak hukum ketika bertemu pada Senin, 72 jam setelah serangan teror yang mengerikan di Christchurch," lanjutnya.
"Sekarang, enam hari setelah serangan itu, kami mengumumkan pelarangan seluruh senjata gaya militer semi-otomatis (MSSA) dan senapan serbu di Selandia Baru," imbuhnya.
Jenis senjata yang dilarang itu pernah digunakan oleh pelaku teror, Brenton Tarrant, untuk membantai massal para jemaah Masjid Al Noor dan Linwood. Sebanyak 50 orang dinyatakan tewas dalam insiden itu, dengan puluhan lainnya luka-luka.
Selain senjata, perangkat lain berkapasitas tinggi seperi bump stock, yang membuat senapan lebih cepat serta mensimulasikan penembakan otomatis dalam senjata semi-otomatis, juga akan berstatus ilegal di bawah peraturan baru.
"Singkatnya, setiap senjata semi-otomatis yang digunakan dalam serangan teroris pada Jumat akan dilarang oleh negara ini," kata Ardern menyimpulkan.
Undang-undang pembatasan senjata akan diperkenalkan di depan parlemen Selandia Baru pada pertemuan awal April, namun sebagai langkah sementara pemerintah telah melarang jual-beli untuk tujuan praktis.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Sanksi Pelanggar
Sehubungan dengan pelarangan jenis senjata yang digunakan oleh pelaku teror, pemerintah akan memberikan sanksi bagi siapapun yang menyimpan senjata, pasca-diberlakukannya undang-undang baru. Pelanggar akan dijatuhi denda senilai US$ 4.000 (sekira Rp 56.520.000) dan tiga tahun penjara.
Meskipun mendapatkan penentangan dari oposisi, Ardern menyatakan bahwa pemilik senjata akan memahami "kepentingan nasional" di balik langkah itu.
"Sebagian besar warga Selandia Baru akan mendukung perubahan ini. Saya merasa sangat yakin akan hal itu," kata Ardern meyakinkan sejumlah pihak yang terkesan tidak setuju.
"Untuk pemilik senjata yang memiliki hak legal, ingin menegaskan kembali bahwa tindakan yang diumumkan hari ini bukan karena Anda," lanjut Ardern.
"Tindakan kami, atas nama semua warga Selandia Baru, dilakukan untuk memastikan hal ini (Serangan teror) tidak pernah terjadi lagi," pungkasnya.
Sejumlah warga yang memerlukan senjata, tidak akan terpengaruh menurut Ardern, misalnya petani untuk pengendalian hama.
Terbukti, kebijakan telah didukung oleh kelompok petani.
"Ini tidak akan populer di antara beberapa anggota kami tetapi setelah seminggu perdebatan sengit dan pertimbangan cermat oleh perwakilan dan staf terpilih kami, kami percaya ini adalah satu-satunya solusi yang dapat dilakukan," kata juru bicara Federated Farmers Rural Security, Miles Anderson, dalam sebuah pernyataan.
Langkah konkret pemerintah ini juga didukung oleh para penyintas insiden penembakan masjid di Kota Christchurch.
"Itu hal baik, mengapa kita menyimpan senjata seperti itu di dalam rumah?," kata Kawthar Abulaban (54).
"Senjata semi-otomatis, mengapa Anda menyimpan itu di dalam rumah, itu tidak benar," imbuhnya.
Hingga sat ini, terdapat sekitar 1.5 juta senjata di Negeri Kiwi, dengan 13.500 di antaranya merupakan gaya militer semi-otomatis (MSSA). Dalam undang-undang yang tengah berlaku, senjata dapat dimiliki oleh penduduk dengan usia minimal 16 tahun, dengan 18 tahun untuk MSSA.
Advertisement