Berlin - Sejak reformasi 1998, banyak pengamat melihat Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim yang berhasil mengembangkan demokrasi model barat. Tapi situasi sekarang berubah.
"Peran agama (dalam politik) di Indonesia sekarang sangar besar," kata Susanne Schröter, Direktur Pusat Penelitian Islam Global di Frankfurt, FFGI. "Agama sekarang jadi instrumen utama berpolitik, dan agama diinstrumentalisasi oleh semua pihak", jelasnya seperti dikutip dari DW Indonesia, Rabu (17/4/2019).
Profesor ilmu politik itu, yang juga ketua Yayasan Orientalis Jerman Deutsche Orient Stiftung (DOS), menggambarkan jalannya kampanye di Indonesia sebagai perebutan wacana Islam. Kubu Prabowo dulu menyerang Jokowi sebagai "kurang Islami", sedangkan tim kampanye Jokowi membantah dan mengatakan, Jokowi dulu sekolah di pesantren, hal yang tidak benar, kata Susanne Schröter. Di lain pihak, Prabowo sekarang yang sering diserang "tidak bisa salat" dan tidak pandai membaca Alquran.
Advertisement
Selanjutnya Prof. Susanne Schröter menerangkan, meningkatnya intoleransi di Indonesia bersumber dari dua hal, faktor internal, yaitu sejarah kolonialisme dan konflik antar elit hingga saat ini, dan faktor eksternal, yaitu pengaruh dari politik negara asing.
Berthold Damshäuser, dosen Bahasa Indonesia yang sudah menerbitkan beberapa buku juga setuju dengan pandangan Susanne Schröter. Terutama kasus Ahok memberi contoh jelas mengenai "meningkatnya intoleransi" di Indonesia, katanya.
Banyak kaum muda yang sekarang menyatakan setuju dengan penerapan Hukum Syariah di Indonesia, kata Berthold Damshäuser. Tidak hanya itu, banyak orang juga setuju dengan penggunaan kekerasan melawan apa yang mereka sebut "musuh Islam".
"Elit politik di Indonesia terlalu cepat melepaskan idealismenya dan berpaling pada populisme murahan", kritik Damshäuser. Tapi dia mengakui: "Mungkin ini langkah cerdik Jokowi agar berhasil merangkul kubu Islam politik."
Susanne Schröter juga menilai, meningkatnya Islamisme di Indonesia sebagai kegagalan elit politik. Mereka gagal mengisi falsafah Pancasila dan konstitusi yang demokratis dengan langkah-langkah nyata, katanya. Jokowi juga dinilainya tidak berhasil memenuhi "harapan tinggi" yang diembankan kepadanya ketika pertama kali terpilih sebagai presiden. Jokowi tidak mencapai apa-apa di bidang hak asasi manusia maupun dalam upaya menghentikan Islamisme, tambahnya.
Â
Kelompok Radikal Manfaatkan Demokratisasi
Sejak awal pendirian Republik Indonesia, kelompok-kelompok Islam sudah punya pengaruh besar di panggung politik, namun mereka tidak punya suara mayoritas. Karena itulah disepakati Indonesia tidak menjadi negara Islam, melainkan Negara Pancasila. Prinsip Lima Sila yang diperkenalkan oleh Soekarno itu kemudian dianggap sebagai "alat pemersatu" bagi berbagai kelompok etnis, budaya dan agama.
Selama pemerintahan Orde Baru Suharto, kubu Islam politik maupun Islam radikal ditindas. Namun sejak era "reformasi" 1998, mereka bisa menikmati kebebasan lagi untuk tampil di panggung politik. "Demokratisasi memang memberi ruang pada mereka untuk mengorgansiasi diri lagi", kata Susanne Schöter.
Selain itu, pengaruh ideologi Islam dari Timur Tengah, terutama dari Arab Saudi makin kuat. Konservatisme Islam, terutama Wahhabisme, berhasil mendominasi sistem pendidikan, sambung ilmuwan perempuan yang lama meneliti tentang politik Islam secara global. Arab Saudi memberi dana besar dan bea siswa kepada banyak orang Indonesia, yang pergi belajar ke Arab Saudi dan membawa pulang paham Islam yang sangat konservatif, kata Susanne Schröter. Kembali ke Indonesia, mereka menjadi "multiplikator" paham Islam yang ultra konservatif.
Â
Advertisement
Kegagalan Elit Politik di Indonesia
Berthold Damshäuser, dosen Bahasa Indonesia yang sudah menerbitkan beberapa buku juga setuju dengan pandangan Susanne Schröter. Terutama kasus Ahok memberi contoh jelas mengenai "meningkatnya intoleransi" di Indonesia, katanya.
Banyak kaum muda yang sekarang menyatakan setuju dengan penerapan Hukum Syariah di Indonesia, kata Berthold Damshäuser. Tidak hanya itu, banyak orang juga setuju dengan penggunaan kekerasan melawan apa yang mereka sebut "musuh Islam".
"Elit politik di Indonesia terlalu cepat melepaskan idealismenya dan berpaling pada populisme murahan", kritik Damshäuser. Tapi dia mengakui: "Mungkin ini langkah cerdik Jokowi agar berhasil merangkul kubu Islam politik."
Susanne Schröter juga menilai, meningkatnya Islamisme di Indonesia sebagai kegagalan elit politik. Mereka gagal mengisi falsafah Pancasila dan konstitusi yang demokratis dengan langkah-langkah nyata, katanya. Jokowi juga dinilainya tidak berhasil memenuhi "harapan tinggi" yang diembankan kepadanya ketika pertama kali terpilih sebagai presiden. Jokowi tidak mencapai apa-apa di bidang hak asasi manusia maupun dalam upaya menghentikan Islamisme, tambahnya.
Berthold Damshäuser menilai perkembangan Indonesia lebih optimistis dari Schröter. Para elit politik yang moderat di Indonesia memang perlu menimbang, "apa yang lebih berbahaya: Islamisme atau perpecahan negara?" Dia bisa memahami bahwa Jokowi memilih lebih mengalah pada tekanan Islam politik daripada mengambil risiko guncangnya stabilitas nasional. "Mungkin dia berharap, dengan cara ini bisa menjinakkan Islam politik dan mengintegrasikan mereka".
"Tapi kemunduran ke masa otoriter sebelum Reformasi, atau pembentukan sebuah Negara Islam (di Indonesia) sangat tidak mungkin", tandasnya.