Liputan6.com, Rabat - Tiga pria yang mengaku sebagai simpatisan ISIS dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan tinggi Maroko, karena memenggal kepala dua pendaki wanita Skandinavia di Pegunungan Atlas pada Desember 2018.
Kedua korban, Louisa Vesterager Jespersen (24) dari Denmark, dan Maren Ueland (28) dari Norwegia, dibantai oleh ketiga tersangka di sebuah situs terpencil yang masuk wilayah Sale, dekat Rabat --ibu kota Maroko.
Maroko belum pernah menerapkan hukuman eksekusi kepada pelaku pembunuhan sejak 1993, tetapi jaksa akhirnya memutuskan untuk memberikan hukuman mati kepada Rachid Afatti, Younes Ouaziyad dan bos dari aksi keji ini, Abdessamad Ejjoud, setelah persidangan 11 minggu.
Advertisement
Baca Juga
Pekan lalu sepucuk surat dari ibunda Jespersen dibacakan di pengadilan, bunyinya: "Hukuman paling adil untuk ketiga monster-monster ini adalah hukuman mati, yang pantas mereka terima," demikian seperti dikutip dari The Guardian pada Jumat (19/7/2019).
Jaksa penuntut mengatakan, Abdessamad Ejjoud (25) berprofesi sebagai pedagang kaki lima dan imam paruh waktu. Ia ditetapkan oleh pengadilan sebagai dalang di balik pembunuhan itu dan mengaku telah menghabisi nyawa salah seorang wanita yang jadi korban.
Younes Ouaziyad (27) adalah tukang kayu. Ia pun mengaku telah melakukan pembunuhan tersebut. Orang ketiga, Rachid Afatti (33), menjadi pihak yang merekam tindakan sadis itu dengan telepon genggamnya.
Mayat kedua korban lalu dibiarkan tergeletak begitu saja di dekat pusat wisata Imlil, tempat mereka menghabiskan liburan. Dua pendaki Prancis kemudian menemukan jenazah Jespersen dan Ueland secara tak sengaja ketika sedang melintas di sekitar lokasi penemuan jasad.
Disebut Sebagai 'Monster'
Para terdakwa menikam kedua korban sampai mati ketika korban sedang terlelap tidur di dalam sleeping bag. Setelah itu, ketiga pelaku langsung memenggal kepala korban, merekam semuanya dan mempublikasikannya di media sosial.
Video itu dengan cepat beredar luas, termasuk di kalangan para pendukung ISIS dan di jaringan supremasi kulit putih, menurut sebuah penyelidikan yang dijalankan Washington Post.
Sebelum membunuh, ketiga tersangka membuat bendera ISIS sendiri, yang mereka gantung sebagai backdrop ketika melakukan pemenggalan. Ini adalah simbol kesetiaan mereka terhadap organisasi terlarang tersebut. Namun menurut laporan Washington Post, ISIS pusat tidak menerima janji mereka dan enggan mendistribusikan klip itu.
Jaksa penuntut menyebut ketiga terdakwa sebagai "monster yang haus darah", sembari menunjukkan bahwa laporan autopsi menemukan 23 luka tusukan di tubuh Jespersen dan tujuh di badan Ueland.
Para terdakwa memiliki latar belakang buruk dan berpendidikan rendah, meski tim pembela berargumen bahwa "ada kondisi yang bisa meringankan ketiganya, yakni faktor sosial dan ketidakseimbangan psikologis."
Namun, pengadilan tetap memerintahkan semua pelaku pemenggalan tersebut untuk membayar denda 2 juta dirham sebagai kompensasi kepada orangtua masing-masing korban.
"Saya menyesali apa yang terjadi dan saya masih berusaha untuk mengingatnya," kata salah satu tersangka, Ejjoud, di pengadilan pada Mei 2019.
Sementara itu, 21 pria lain yang dituduh berperan dalam pembunuhan tersebut atau terkait dengan Ejjoud, masih menunggu putusan hakim. Beberapa dari mereka menyangkal keterlibatan dalam kasus ini. Jaksa penuntut menyerukan hukuman penjara antara 15 tahun dan seumur hidup bagi ketiga trsangka utama.
Advertisement
Maroko Kebobolan?
Pengacara Jespersen menuding pihak berwenang Maroko 'kebobolan' lantaran gagal memantau kegiatan beberapa tersangka sebelum pembunuhan terjadi.
Pengadilan enggan memberikan keluarga korban uang 10 juta dirham sebagai kompensasi dari negara Maroko karena "tanggung jawab moral".
Kasus ini mengejutkan Maroko, yang rutin dikunjungi jutaan turis asing setiap tahun dan mengalami sangat sedikit serangan teroris. Maroko diketahui amat bergantung penuh pada sektor pariwisata untuk pendapatan nasionalnya.
Kedua korban adalah teman dekat. Mereka tengah mempelajari kepemimpinan luar ruang (outdoor leadership), budaya, dan ekofosofi bersama di Norwegia.