Dubes Owen Jenkins Pastikan Hubungan RI-Inggris Tak Terdampak Brexit

Bagaimana hubungan antara Indonesia dan Inggris pasca-Brexit?

oleh Afra Augesti diperbarui 15 Agu 2019, 14:40 WIB
Diterbitkan 15 Agu 2019, 14:40 WIB
Presiden Jokowi Bersepeda Bareng Walikota London
Presiden Joko Widodo (kedua dari kiri) bersama Walikota London, Boris Johnson (ketiga dari kiri) dan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (berkaos hitam) berbincang di kawasan Bundaran HI Jakarta, Minggu (30/11/2014). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Inggris dipastikan akan keluar dari Uni Eropa per 31 Oktober 2019. Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Owen Jenkins, menegaskan bahwa Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, sudah 'ketuk palu' soal Brexit.

"Perdana Menteri kami sudah menyatakan seratus persen (soal Brexit), dan akan terjadi pada akhir Oktober tahun ini," kata Dubes Owen ketika memberikan keterangan pers di Kedutaan Besar Inggris di Jakarta, Rabu, 14 Agustus 2019.

Mengenai hubungan antara Indonesia dan Inggris, eks Perwakilan Khusus Perdana Menteri untuk Afghanistan dan Pakistan ini menyebut bahwa tidak akan ada perubahan dramatis yang berdampak pada bilateral kedua negara, pasca-Brexit.

"Pasti akan ada kesempatan besar dari Brexit. Kami akan tetap melanjutkan apa yang sudah biasa kami lakukan. Memang, prosesnya (Brexit) tidak gampang. Namun, pasca-Brexit, kedua negara tetap bisa mencapai relasi yang disesuaikan dengan apa yang diinginkan oleh mereka," imbuh dia.

Ada sejumlah area kerja sama di mana Inggris ingin membangun relasi yang lain dengan Indonesia. Melalui Brexit, kedua negara diharapkan bisa saling menyesuaikan.

Sebelumnya pada Juni kemarin, mantan Dubes Inggris untuk Indonesia dan Timor Leste, Moazzam Malik, juga menuturkan bahwa kapanpun Brexit akan terjadi, ini tidak akan berpengaruh pada hubungan kedua negara yang telah lama terjalin.

"Tidak ada sama sekali (perubahan). Kita (Inggris) sudah lama menjalin kerja sama dengan Indonesia dan itu sudah tertera dalam peraturan WTO," ujar Dubes Moazzam, di Jakarta, Selasa, 11 Juni 2019.

"Pada Maret lalu, saya sudah menyampaikan kepada Menteri Kehutanan RI Ibu Siti Nurbaya. Kapanpun Inggris keluar dari Uni Eropa, produk kayu dari Indonesia bisa masuk ke Inggris."

"Tidak ada hambatan. Bukannya hambatan, malah akan ada banyak kesempatan."

Menurut Moazzam, Inggris memiliki banyak fokus terhadap kerja sama dengan banyak negara, khususnya di wilayah Asia. Mulai dari Indonesia, India hingga China.

"Memang ada perdebatan besar. Ada sejumlah warga yang masih tidak setuju. Tapi kebanyakan dari referendum setuju," jelas Moazzam.

 

 

Saksikan video pilihan di bawah ini: 

Inggris Kucurkan Rp 35,8 Triliun

Pawai Wooferendum
Pemilik anjing dan hewan peliharaan mereka berkumpul sebelum pawai anti-Brexit di London, Minggu (7/10). Para pemilik anjing mengkhawatirkan kekurangan dokter hewan dan kenaikan biaya makanan hewan jika Inggris keluar dari Uni Eropa. (AFP/Tolga AKMEN)

Pemerintah Inggris telah mengumumkan dana tambahan senilai 2,1 miliar pound sterling (sekitar Rp 35,8 triliun) untuk mempersiapkan Brexit tanpa kesepakatan.

Hal itu, sebagaimana dikutip dari BBC pada Kamis, 1 Agustus 2019, dana tambahan itu beberapa kali lipat dari jumlah uang yang telah disisihkan pemerintah Inggris sejak awal tahun.

Total anggaran tersebut nantinya digunakan untuk menghadirkan lebih banyak perwira pasukan perbatasan dan peningkatan kegiatan angkut infrastruktur di pelabuhan.

Uang itu juga akan digunakan untuk mengurangi kemacetan lalu lintas di Kent, yang merupakan jalur penyeberangan utama antara Inggris dan Eropa, dam mengatasi anterian yang disebabkan oleh keterlambatan di perbatasan.

Langkah-langkah lain yang dibiayai oleh dana tersebut, termasuk anggaran untuk menimbun obat-obatan guna memastikan pasokan terus berlanjut.

Pemerintah Inggris juga menjanjikan adanya program nasional untuk membantu pelaku bisnis lokal dalam menghadapi hari-hari saat dan setelah Brexit.

"Dengan 92 hari sampai Inggris meninggalkan Uni Eropa, penting bagi kami untuk mengintensifkan perencanaan menyeluruh, guna memastikan kami siap," kata Kanselir Sajid Javid, yang mengumumkan langkah tersebut.

"Kami ingin mendapatkan penawaran bagus yang menghapuskan dukungan anti-demokrasi. Tetapi jika kami tidak bisa mendapatkan penawaran bagus, kami harus pergi tanpa itu," lanjutnya menegaskan.

Javid juga mengatakan bahwa tambahan dana fantastis itu akan memastikan Inggris siap meninggalkan Uni Eropa pada 31 Oktober, baik dengan atau tanpa kesepakatan.

Siapkan Proyek Iklan Senilai Rp 1,7 Triliun

Tas Ratu Elizabeth Jadi Omongan Saat Terima Kunjungan PM Inggris Baru
Ratu Elizabeth II mengepit erat tas tangan hitamnya saat menerima kunjungan PM Inggris Boris Johnson di kediamannya. (dok. Instagram @theroyalfamily/https://www.instagram.com/p/B0TasptnU30/Dinny Mutiah)

Sementara itu, Perdana Menteri (PM) Inggris, Boris Johnson, dilaporkan telah menyiapkan proyek iklan untuk menunjang perceraian Inggris dan Uni Eropa, alias Brexit. Proyek iklan ini akan mencapai 100 juta pound sterling atau Rp 1,7 triliun (1 pound sterling = Rp 17.337).

Dikutip dari The Telegraph, Selasa, 30 Juli 2019, Johnson telah memerintahkan kabinetnya untuk habis-habisan mendorong Brexit yang ditargetkan terjadi pada 31 Oktober mendatang. Iklan Rp 1,7 triliun itu akan digencarkan pada tiga bulan ke depan dan tayang di billboard, radio, dan televisi.

Persiapan Johnson untuk memimpin Inggris keluar dari Uni Eropa sudah bagaikan peperangan. Briefing saja dilakukan di ruang Cobra pada kantor kabinet yang lazimnya dipakai saat darurat nasional.

Menteri Perdagagangan Internasional Inggris, Liz Truss, juga sudah mulai meluncurkan negosiasi dengan Amerika Serikat (AS) sebelum Inggris meninggalkan Uni Eropa pada 31 Oktober. Presiden Donald Trump juga mendukung terjadinya Brexit.

Chancellor of the Exchequer atau Menteri Keuangan Sajid Javid juga menyiapkan ekstra 1 miliar pound sterling (Rp 17,3 triliun) dalam persiapan Brexit. Sejumlah dana tersebut juga akan masuk ke iklan untuk publik.

Boris Johnson lebih tegas terhadap Brexit ketimbang pendahulunya, Theresa May. Pemerintahan Inggris saat ini juga bersiap untuk kemungkinan terburuk, yakni Brexit tanpa kesepakatan bersama Uni Eropa (no-deal Brexit).

"Kami sedang melakukan turbo-charging untuk persiapan no deal dan itu sekarang prioritas nomor satu Pemerintah," ujar Rishi Sunak, Kepala Sekretaris Kementerian Keuangan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya