Corona COVID-19 Merebak di AS, Mahalnya Biaya Pengobatan Jadi Masalah Baru

Akibat wabah corona, masalah di AS tidak hanya soal kegiatan ekonomi yang nyaris lumpuh. Biaya berobat di sana begitu mahal, karyawan pun jarang yang punya cuti sakit berbayar.

diperbarui 20 Mar 2020, 08:05 WIB
Diterbitkan 20 Mar 2020, 08:05 WIB
Dua Penembakan Massal di AS
Bendera Amerika Serikat berkibar setengah tiang di Gedung Putih, Washington DC, Minggu (4/8/2019). Presiden Donald Trump memerintahkan pengibaran bendera setengah tiang di semua gedung pemerintah untuk mengenang korban tewas dalam dua penembakan massal di El Paso, Texas, dan Ohio. (AP/Andrew Harnik)

Washington D.C - Virus Corona kini melanda nyaris seluruh dunia. Tak kenal siapa itu, bahkan sejumlah negara raksasa yang selama ini jadi penguasa dunia. 

Salah satunya adalah Amerika Serikat, yang berusaha memperlambat penyebaran virus corona. Kota-kota besar mulai memerintahkan penutupan bar-bar dan restoran. Bank Sentral AS, The Fed, juga mengumumkan pemotongan suku bunga untuk mengurangi dampak pada perekonomian.

Namun masalah tidak hanya berhenti di sana. Amerika punya masalah lain yang lebih menghantui. Lebih dari 25 juta penduduk negara Paman Sam itu tidak punya asuransi kesehatan. Cuti sakit pun seringnya bukan pilihan karena itu artinya pedapatan akan terhenti.

Amanda (nama disamarkan oleh redaksi), perempuan muda yang tinggal di Texas dan bekerja di gudang perusahaan kasur, adalah salah satu contohnya. Pekerjaannya bisa dibilang cukup berisiko, namun ia tidak punya asuransi. Dalam setahun, ia juga hanya punya hak cuti sakit selama tiga hari, dan salah satunya tidak berbayar. Demikian seperti dikutip dari DW Indonesia, Kamis (19/3/2020). 

"Saya tidak mampu pergi ke dokter. Saya juga tidak bisa hanya tinggal di rumah," ujar Amanda. Sekali kunjungan ke dokter dapat merenggut dana sedikitnya 150 euro (sekitar Rp 2,5 juta) dari dompetnya yang tidak berisi banyak uang.

Warga lainnya yaitu Sheldon Riddle dari Ohio terpaksa terus bekerja di layanan pusat panggilan (call center) meski menderita demam. Di kantornya, Sheldon berbagi ruangan sempit dengan 50 karyawan lain. Kondisi fisiknya tidak begitu bagus dan hatinya rusak permanen. Namun ia tidak punya asuransi untuk membiayai operasi yang ia perlukan.

Dengan menyebarnya wabah corona, Sheldon mengaku terpaksa menghemat makan supaya tidak terlalu sering pergi ke pasar swalayan dan terpapar kontak dengan orang banyak.

"Saat ini saya hanya makan satu kali sehari karena saya takut pergi ke supermarket. Sistem kekebalan tubuh saya tidak terlalu kuat," ujarnya. Kemarin dia mengambil semua obat yang biasanya dia butuhkan dari apotek. Sheldon berani melakukannya karena ada fasilitas drive-in di sana. Ia tidak perlu keluar dari mobilnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Pelayanan Kesehatan Tidak Efektif

17 Tahun Dirampas AS, Lonceng Balangiga Dikembalikan kepada Filipina
Bendera Amerika Serikat (AS) berkibar saat pengembalian lonceng Balangiga dari pemerintah AS ke Filipina di Pasay, Manila, Selasa (11/12). Lonceng Balangiga dihormati oleh orang Filipina sebagai simbol kebanggaan nasional. (AP Photo/Bullit Marquez)

Di bidang ekonomi, The Fed telah mengumumkan serangkaian langkah-langkah darurat untuk menopang kepercayaan dan menjaga sektor keuangan tetap berjalan, termasuk memotong suku bunga menjadi 0-0,25 persen. Selain itu, diluncurkan pula program stimulus sebesar 700 miliar dolar AS untuk melindungi ekonomi dari efek virus corona. Presiden AS, Donald Trump, memuji tindakan The Fed sebagai langkah "fenomenal". 

Namun masalah terbesar adalah akses terhadap layanan kesehatan bagi setiap warga AS. Saat ini, setiap orang di AS menghabiskan lebih dari 9.400 dolar AS (sekitar Rp 140 juta) per tahunnya untuk ongkos kesehatan. 

Selain mayoritas penduduk yang tidak punya asuransi, menurut para peneliti di Harvard Chan School, harga obat-obatan di AS lebih mahal. Dokter dibayar lebih tinggi. Harga untuk layanan rumah sakit dan tes diagnostik lebih mahal. Selain itu, lebih banyak anggaran habis digunakan untuk perencanaan, pengaturan dan pengelolaan layanan medis di tingkat administrasi.

Anthony Fauci, ahli penyakit menular terkemuka di AS, secara gamblang memperingatkan agar orang Amerika bersiap menghadapi waktu-waktu paceklik di masa depan. "Hal terburuk ada di hadapan kita," ujar Fauci. "Sekarang kita berada pada titik yang sangat, sangat kritis."

Sementara politisi AS dari Partai Demokrat, Bernie Sanders, mengatakan bahwa usulannya terkait sistem asuransi kesehatan yang dikelola pemerintah akan memungkinkan AS untuk merespons lebih cepat terhadap krisis kesehatan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya