WHO Ingatkan Obat Dexamethasone Hanya untuk Pasien Corona COVID-19 yang Sakit Parah

Kepala program kedaruratan WHO, Mike Ryan, mengatakan bahwa dexamethasone harus digunakan hanya pada kasus-kasus Corona COVID-19 serius yang terbukti membantu.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 18 Jun 2020, 12:31 WIB
Diterbitkan 18 Jun 2020, 12:31 WIB
Suntikan dan obat (iStock)
Ilustrasi steroid. (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta- Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan obat dexamethasone yang mengandung steroid dapat membantu menyelamatkan nyawa pasien Virus Corona COVID-19 dengan kondisi parah. Namun, WHO mengimbau agar obat itu harus disediakan hanya untuk kasus-kasus serius yang telah terbukti memberikan manfaat.

Penelitian pada akhirnya memberikan "harapan hijau" dalam mengobati Virus Corona, yang telah menewaskan lebih dari 400.000 orang di seluruh dunia dan menginfeksi lebih dari 8 juta, menurut Pimpinan WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus. 

Dexamethasone, adalah obat generik yang digunakan sejak 1960-an, untuk mengurangi peradangan pada penyakit seperti radang sendi.

Hasil uji coba yang diumumkan para peneliti di Inggris pada Selasa 16 Juni menunjukkan dexamethasone memangkas tingkat kematian sekitar sepertiga di antara pasien Corona COVID-19 yang sakit parah yang dirawat di rumah sakit. Hasil uji coba pada obat tersebut jugamenjadikannya obat pertama yang terbukti menyelamatkan hidup dalam memerangi penyakit.

Meskipun pejabat medis mengatakan tidak ada kekurangan pada jumlahnya, muncul laporan banyak negara yang terburu-buru untuk memastikan bahwa mereka sudah cukup memiliki obat itu. 

Namun, beberapa dokter masih berhati-hati dalam menggunakan dexamethasone, mengutip kemungkinan efek samping dan meminta untuk melihat lebih banyak data.

Kantor berita lokal, yaitu Ritzau, melaporkan bahwa pengobatan dengan dexamethasone diterima oleh seorang pasien di Denmark pada Rabu 17 Juni. Dokter yang meresepkan obat itu, mengatakan profesi medis itu sangat mengenal efek sampingnya.

Peringatan telah diberikan Kepala program kedaruratan WHO, Mike Ryan, dengan mengatakan bahwa obat itu harus digunakan hanya pada kasus-kasus serius, dan yang dimana terbukti membantu.

Mike Ryan mengatakan dalam sebuah briefing, "Sangat penting dalam kasus ini, bahwa obat ini disediakan untuk digunakan pada pasien yang sakit parah dan kritis yang dapat memperoleh manfaat dari obat ini dengan jelas."

Menteri Kesehatan Inggris Matt Hancock mengatakan, negaranya telah meningkatkan jumlah persediaan dexamethasone yang dimilikinya, dan dipesan sebanyak 240.000 dosis. 

Para peneliti di balik uji coba dexamethasone mengatakan, meskipun hasil studi obat tersebut adalah pendahuluan, tetapi itu menunjukkan obat harus segera menjadi perawatan standar pada pasien yang sakit parah, demikian seperti dikutip dari Channel News Asia, Kamis (18/6/2020). 

Saksikan Video Berikut Ini:

Respons Beberapa Negara Lain Terhadap Dexamethasone

20160628-Ilustrasi-Vaksin-iStockphoto
Ilustrasi Foto Vaksin (iStockphoto)

Menurut temuan awal yang dibagikan dengan WHO, untuk pasien yang menggunakan ventilator, pengobatan dengan dexamethasone terbukti mengurangi angka kematian sekitar sepertiga, dan untuk pasien yang hanya membutuhkan oksigen, kematian berkurang hingga sekitar seperlima.

Pimpinan WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, "Ini adalah pengobatan pertama yang ditunjukkan untuk mengurangi angka kematian pada pasien dengan COVID-19 yang membutuhkan dukungan oksigen atau ventilator."

"WHO akan mengoordinasikan meta-analisis untuk meningkatkan pemahaman kita secara keseluruhan tentang intervensi ini. Pedoman klinis WHO akan diperbarui untuk mencerminkan bagaimana dan kapan obat harus digunakan dalam COVID-19," imbuhnya.

Namun Pejabat tinggi kesehatan Korea Selatan menyampaikan bahwa mereka masih berhati-hati pada dexamethasone dan Uni Eropa dan Swiss mengatakan mereka menunggu informasi lebih lanjut.

Jeong Eun-kyeong, kepala Korea Centers for Disease Control and Prevention mengatakan, "Beberapa ahli telah memperingatkan obat ini tidak hanya mengurangi respon peradangan pada pasien, tetapi juga sistem kekebalan tubuh."

Sedangkan di Italia, seorang ahli negara tersebut  mengatakan bahwa dexamethasone bukanlah peluru perak.

Lorenzo Dagna, kepala imunologi di IRCCS San Raffaele Scientific Institute di Milan menjelaskan, "Studi ini menunjukkan penurunan kecil dalam kematian," lalu mengatakan "Kami masih bertahun-tahun lagi untuk dapat mengatakan bahwa kami telah menemukan obat untuk melawan COVID-19."

Namun menurutnya, di sisi positif, obat itu murah dan jumlahnya berlimpah.

 

Tidak Lagi Harus Terburu-Buru

Obat Malaria Hydroxychloroquine.
Obat Malaria Hydroxychloroquine. (AP / John Locher)

Beberapa negara telah bergerak cepat untuk mengizinkan penggunaan obat-obatan darurat, yang pada akhirnya akan dicabut kembali, dengan Virus Corona baru yang telah mendatangkan malapetaka pada ekonomi global. 

Contohnya, adalah pada yang sudah dilakukan oleh Food and Drug Administration AS, yang menarik otorisasi darurat untuk hydroxychloroquine, obat malaria yang dipuji oleh Presiden AS Donald Trump dan yang lainnya untuk melawan Corona COVID-19, setelah penelitian menunjukkan bahwa obat tersebut tidak membantu.

Selain itu, WHO juga mengatakan bahwa pengujian hydroxychloroquine dalam uji coba multi-negara secara besar untuk pasien Corona COVID-19 telah dihentikan setelah penelitian menunjukkan bahwa obat itu tidak berfungsi. 

Dengan menunjukkan kehati-hatiannya terhadap dexamethasone, direktur unit perawatan intensif medis di Harvard's Massachusetts General Hospital mengatakan, "Kami telah terbakar sebelumnya," dan memaparkan "Tidak hanya selama pandemi Virus Corona tetapi bahkan pra-COVID-19, dengan hasil yang menarik bahwa ketika kita memiliki akses ke data yang tidak begitu meyakinkan."

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya