Wabah Black Death dari Hewan Liar Kini Mengancam China

Ancaman black death (kematian hitam) atau wabah bubo terjadi di utara China. Pemerintah langsung waspada.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 06 Jul 2020, 20:50 WIB
Diterbitkan 06 Jul 2020, 20:50 WIB
ilustrasi tikus
ilustrasi tikus (iStockphoto)

Liputan6.com, Bayan Nur Pemerintah China turun tangan untuk mencegah black death atau wabah bubo (bubonic plague) setelah ada remaja yang terinfeksi. Totalnya kini sudah ada dua kasus yang terjadi di Mongolia Dalam, wilayah utara China.

Media China Global Times melaporkan pada Senin (6/7/2020), pasien pertama merupakan seorang petani dan pasien kedua adalah seorang remaja berusia 15 tahun.

Pihak otoritas China meminta agar masyarakat setempat tidak mendekati atau memakan hewan liar untuk mencegah terjadnya virus. Peternak yang tertular itu sedang diisolasi di rumah sakit dan kondisinya stabil.

Sementara, pasien yang masih remaja terpapar setelah melakukan kontak dari marmut yang diburu seekor anjing.

Warga setempat diminta melaporkan bila menemukan hewan yang mati atau sakit. Masyakat juga diminta melapor jika mengetahui ada orang yang demam atau meninggal mendadak juga diminta untuk dilaporkan.

BBC melaporkan wabah bubo kini dapat dapat mudah ditangani, namun jika tidak ditangani maka tingkat kematiannya bisa mencapai 60 persen.

Beberapa gejala penyakit ini adalah demam tinggi, meriang, hingga munculnya kelenjar di bagian tubuh seperti ketiak dan leher.

Black death pernah menyerang Eropa pada abad ke-13 yang disebarkan oleh kutu pada tikus. Akibatnya, separuh penduduk di Eropa meninggal dunia. Wabah ini juga pernah terjadi di India dan China.

Penyakit ini masuk Kelas A di daftar penyakit pemerintah China. Kelas A merupakan klasifikasi paling berbahaya dalam hukum pencegahan penyakit di negara itu.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

WHO Terima Laporan Pertama Kasus Virus Corona COVID-19 Bukan dari Pihak China

FOTO: Kasus COVID-19 Dunia Tembus 10 Juta, 500 Ribu Orang Meninggal
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus saat konferensi pers daring dari Swiss dilihat di Brussel, Belgia, Senin (29/6/2020). Virus corona COVID-19 telah menginfeksi lebih dari 10 juta orang di seluruh dunia, lebih dari 500 ribu di antaranya meninggal dunia. (Xinhua/Zhang Cheng)

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memperbarui laporannya tentang tahap-tahap awal krisis Virus Corona COVID-19. Dalam pembaruan itu, kantor pusat WHO mengaku mendapat laporan pertama adanya kasus Virus Corona baru dari kantor cabang WHO di China.

Laporan itu membantah WHO mendapat informasi pertama kasus COVID-19 dari pemerintah China.

Melansir laman Japan Times, Badan Kesehatan PBB ini telah dituduh Presiden AS Donald Trump gagal memberikan informasi yang dibutuhkan untuk membendung pandemi Virus Corona COVID-19 dan merasa puas terhadap China, namun kemudian dibantah.  

Pada 9 April, WHO menerbitkan laporan runtutan awal komunikasinya, sebagai tanggapan terhadap kritik atas respons awal terhadap wabah yang kini telah merenggut lebih dari 521.000 jiwa di seluruh dunia.

Dalam kronologi itu, WHO hanya mengatakan bahwa komisi kesehatan kota Wuhan di provinsi Hubei pada 31 Desember melaporkan kasus pneumonia. Namun, badan kesehatan PBB tidak menyebutkan secara spesifik siapa yang telah memberi tahu.

Ketua WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan pada konferensi pers pada 20 April bahwa laporan pertama datang dari China, tanpa menyebutkan apakah laporan tersebut telah dikirim oleh otoritas China atau sumber lain.

Tetapi kronologi baru, yang diterbitkan minggu ini oleh lembaga yang berbasis di Jenewa tersebut, menawarkan versi yang lebih rinci dari berbagai peristiwa.

Ini menunjukkan bahwa itu adalah kantor WHO di China yang pada 31 Desember memberitahukan titik kontak regionalnya mengenai kasus 'pneumonia virus' setelah menemukan pernyataan untuk media di situs web komisi kesehatan Wuhan mengenai masalah tersebut.

Terima Laporan Bukan dari Otoritas China

Ilustrasi Virus Corona 2019-nCoV (Public Domain/Centers for Disease Control and Prevention's Public Health Image)
Ilustrasi Virus Corona 2019-nCoV (Public Domain/Centers for Disease Control and Prevention's Public Health Image)

Pada hari yang sama, layanan informasi epidemi WHO mengambil laporan berita lain yang dikirim oleh jaringan pengawasan epidemiologi internasional ProMed - yang berbasis di Amerika Serikat - tentang kelompok kasus pneumonia yang sama dari penyebab yang tidak diketahui di Wuhan.

Setelah itu, WHO meminta pihak berwenang China pada dua kesempatan, pada 1 Januari dan 2 Januari, untuk informasi tentang kasus-kasus ini, yang mereka sediakan pada 3 Januari.

Direktur kedaruratan WHO Michael Ryan mengatakan, negara-negara memiliki waktu 24-48 jam untuk secara resmi memverifikasi suatu peristiwa dan memberi badan tersebut informasi tambahan tentang sifat atau penyebab suatu peristiwa.

Ryan menambahkan, otoritas China segera menghubungi WHO segera setelah agensi tersebut meminta untuk memverifikasi laporan.

Trump telah mengumumkan bahwa negaranya, sebagai kontributor keuangan utama bagi WHO, akan memutus jembatan dengan lembaga itu, yang ia tuduh terlalu dekat dengan China dan telah mengelola pandemi secara buruk.

WHO membantah berpuas diri terhadap China.

Pada hari Jumat yang sama, Tedros mengatakan kepada pengarahan berita bahwa WHO harus segera mendapatkan hasil dari uji klinis bahwa obat-obatan yang digunakan mungkin efektif dalam merawat pasien COVID-19.

"Hampir 5.500 pasien di 39 negara sejauh ini telah direkrut ke dalam uji coba Solidaritas," katanya, merujuk pada studi klinis yang dilakukan badan PBB.

"Kami mengharapkan hasil sementara dalam dua minggu ke depan."

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya