Ilmuwan: Virus Corona COVID-19 Dapat Menyebabkan Gelombang Kerusakan Otak

Para peneliti Inggris memperingatkan bahwa pandemi Virus Corona COVID-19 dapat menyebabkan gelombang kerusakan otak pada pasien terinfeksi.

oleh Liputan6.com diperbarui 10 Jul 2020, 17:19 WIB
Diterbitkan 10 Jul 2020, 17:04 WIB
Merupakan Kelainan Sistem Saraf Otak
Penyakit kejiwaan ini disebabkan karena adanya kelainan otak (Sumber foto: medicalherald.com)

Liputan6.com, Jakarta - Pandemi Virus Corona jenis baru dapat menyebabkan gelombang kerusakan otak pada pasien yang terinfeksi, demikian peringatan para peneliti Inggris dalam sebuah studi baru yang dirilis Rabu 8 Juli 2020.

Menurut ahli dari University College London, Corona COVID-19 dapat menyebabkan komplikasi saraf termasuk stroke, kerusakan saraf, dan kemungkinan kerusakan otak yang parah, meskipun pasien tidak menunjukan gejala pernapasan parah yang terkait dengan penyakit ini. 

"Kita harus waspada dan melihat komplikasi ini pada orang yang pernah menderita COVID-19," ujar penulis senior,  Dr. Michael Zandi, dalam sebuah keterangan pers UCL seperti dikutip dari CNN, Jumat (10/7/2020). Ia juga memperingatkan bahwa masih harus dilihat "apakah kita akan melihat epidemi pada kerusakan otak skala besar yang terkait dengan pandemi." 

Perlu dilakukan studi yang lebih lanjut untuk memahami potensi konsekuensi neurologis jangka panjang dari pandemi.

Dalam jurnal Brain yang telah dirilis, 43 pasien yang dirawat di rumah sakit University College London untuk dikonfirmasi atau dicurigai terinfeksi Virus Corona COVID-19, dari bulan April hingga Mei menunjukan berbagai gejala yang berbeda. Dari yang ringan hingga parah.

 

Dari pasien yang berusia 16-85 itu, para tim medis menemukan sepuluh kasus disfungsi otak sementara, dan delirium; 12 kasus pembengkakan otak, 8 kasus stroke, dan 8 kasus kerusakan saraf.  

Sebagian besar pasien yang menunjukkan peradangan otak didiagnosis dengan kondisi spesifik, langka dan kadang-kadang mematikan yang dikenal sebagai Acute Disseminated Encephalomyelitis (ADEM). Sebelum pandemi tim riset di London akan menemui satu pasien per bulan, selama studi ini, angkanya bertambah menjadi satu pasien per minggu. 

Salah satu pasien ini berhalusinasi ada monyet dan singa ada di rumahnya. Lainnya melaporkan mati rasa di anggota badan atau wajah mereka, penglihatan ganda, dan disorientasi. Satu pasien yang parah hampir tidak sadar, merespons hanya ketika kesakitan.

Saksikan Juga Video Ini:

Pasien COVID-19 Mulai Menunjukan Gejala Inflmasi Otak

Ilustrasi Otak
Ilustrasi Otak (iStockPhoto)

Sejauh ini tim riset masih mencari tahu, mengapa pasien COVID-19 ini mengalami komplikasi otak ini. Virus yang menyebabkan COVID-19 tidak ditemukan dalam cairan otak mereka, yang berarti virus itu tidak langsung menyerang otak.

Satu teori, sebaliknya, adalah bahwa komplikasi secara tidak langsung dipicu oleh respon imun dari tubuh pasien - bukan dari virus itu sendiri.

Temuan ini penting untuk menginformasikan bagaimana dokter di seluruh dunia memantau dan merawat pasien - tetapi mereka juga mengajukan pertanyaan dan tantangan baru.

Untuk pasien yang tidak menunjukkan gejala pernapasan parah seperti kesulitan bernafas, mungkin sulit untuk mengidentifikasi komplikasi otak ini cukup awal untuk mencegah atau meminimalkan kerusakan. Dan untuk pasien yang sakit kritis, kesehatan mereka yang genting dapat membatasi seberapa banyak dokter dapat melakukan untuk menyelidiki apa yang terjadi di otak mereka.

Para penulis memperingatkan bahwa penelitian lebih lanjut akan "penting" dalam mencari tahu bagaimana sebenarnya virus menyebabkan kerusakan otak, dan bagaimana cara mengobatinya.

"Mengingat bahwa penyakit ini hanya ada selama beberapa bulan, kita mungkin belum tahu apa kerusakan jangka panjang yang dapat disebabkan COVID-19," kata penulis bersama bersama Dr. Ross Paterson dalam siaran pers.

"Dokter perlu mewaspadai kemungkinan efek neurologis, karena diagnosis dini dapat meningkatkan hasil pasien."

David Strain dari University of Exeter Medical School, yang tak terlibat dalam penelitian, mengatakan temuan itu penting tetapi "tidak mengejutkan" mengingat kasus-kasus Virus Corona COVID-19 sebelumnya.

"Keterbatasan utama adalah bahwa kita tidak tahu apa penyebutnya, sehingga kita tidak tahu seberapa sering komplikasi ini muncul," katanya dalam sebuah pernyataan pada hari Rabu.

"Kami telah melihat bahwa beberapa orang dengan COVID-19 (SARS CoV-2) mungkin memerlukan periode rehabilitasi yang lama - baik rehabilitasi fisik seperti olahraga, dan rehabilitasi otak. Kita perlu memahami lebih lanjut tentang dampak infeksi ini pada otak."

Reporter: Yohana Belinda

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya