China, Rusia, dan Iran Dituduh Akan Mempengaruhi Pilpres AS 2020

China, Rusia dan Iran termasuk di antara negara-negara yang berusaha mempengaruhi Pilpres AS 2020, kepala intelijen AS memperingatkan.

oleh Hariz Barak diperbarui 08 Agu 2020, 13:01 WIB
Diterbitkan 08 Agu 2020, 13:01 WIB
Donald Trump tampil dalam kampanye perdana untuk maju ke pilpres AS 2020 (AFP/Mandel Ngan)
Donald Trump tampil dalam kampanye perdana untuk maju ke pilpres AS 2020 (AFP/Mandel Ngan)

Liputan6.com, DC - China, Rusia dan Iran termasuk di antara negara-negara yang berusaha mempengaruhi Pilpres AS 2020, kepala intelijen AS memperingatkan.

Sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh direktur kontraintelijen AS mengatakan; negara-negara asing menggunakan "langkah-langkah pengaruh terselubung dan terbuka" untuk mempengaruhi pemungutan suara, demikian seperti dikutip dari BBC, Sabtu (8/8/2020).

Negara-negara itu "memiliki preferensi untuk siapa yang harus memenangi pemilihan," tambahnya.

Kepala intelijen AS mengatakan bahwa Rusia ikut campur dalam Pilpres AS 2016 untuk membantu kampanye Presiden Donald Trump.

Rusia membantah tuduhan tersebut.

Ditanya pada konferensi pers pada Jumat 7 Agustus 2020 tentang apa yang akan dia rencanakan perihal laporan dugaan campur tangan asing pada pemilu, Presiden Trump mengatakan pemerintahannya akan "memerhatikan".

Pengumuman itu muncul di tengah kritik yang dikemukakan Presiden Trump mengenai wacana mekanisme pemungutan suara via pos, menyebutnya rentan untuk dicurangi.

Trump menyarankan agar pemungutan suara ditunda untuk mencegah "pemilihan yang paling tidak akurat dan curang dalam sejarah", yang memicu reaksi keras bahkan di antara anggota partainya sendiri.

Hal itu juga muncul usai keluhan dari anggota parlemen Demokrat bahwa badan intelijen AS tidak merilis informasi kepada publik tentang campur tangan asing dalam pemungutan suara tahun ini.

Donald Trump dari Partai Republik berusaha untuk memenangkan masa jabatan presidensi kedua. Penantangnya adalah kandidat dari Partai Demokrat dan mantan wakil presiden AS, Joe Biden.

Campur tangan asing dalam pemilu AS telah menjadi momok sejak beberapa tahun terakhir. Menurut komunitas intelijen, oknum Rusia diduga melakukan campur tangan dalam Pilpres AS 2016, termasuk tuduhan membantu Presiden AS Donald Trump.

Simak video pilihan berikut:

Apa yang Dikatakan Intel AS?

William Evanina, kepala Pusat Kontra Intelijen dan Keamanan Nasional (NCSC), merilis pernyataan itu pada Jumat 7 Agustus 2020.

Negara-negara asing mencoba untuk mempengaruhi preferensi pemilih, mengubah kebijakan AS, "meningkatkan perselisihan" di negara tersebut "dan merusak kepercayaan rakyat Amerika dalam proses demokrasi kami," kata Evanina.

Namun, kepala kontraintelijen menambahkan bahwa akan "sulit bagi musuh kita untuk mengganggu atau memanipulasi hasil pemungutan suara dalam skala besar."

Banyak negara "memiliki preferensi untuk siapa yang memenangkan pemilu", katanya, tetapi Evanina mengatakan bahwa AS "lebih khawatir" terhadap China, Rusia dan Iran. Ia menilai bahwa:

o China "berusaha agar Presiden Trump --yang menurut Beijing tidak dapat diprediksi-- tidak memenangkan pemilihan kembali", kata pernyataan itu, menambahkan bahwa Tiongkok telah "memperluas upaya pengaruhnya" menjelang pemungutan suara.

o Rusia sedang berusaha untuk "mendiskreditkan" capres Joe Biden dan anggota lain guna melemahkan narasi 'anti-Rusia'. Evanina menambahkan bahwa beberapa aktor lain yang terkait dengan Rusia "juga berusaha untuk meningkatkan pencalonan Presiden Trump di media sosial dan televisi Rusia"

o Iran sedang mencoba untuk "merusak institusi demokrasi AS", Trump, dan "memecah belah negara" menjelang pemungutan suara dengan menyebarkan disinformasi dan "konten anti-AS" secara online. Upaya mereka sebagian didorong oleh keyakinan masa jabatan kedua Trump "akan mengakibatkan berlanjutnya tekanan AS terhadap Iran dalam upaya untuk mendorong perubahan rezim".

Pada konferensi pers Jumat 7 Agustus, Trump mengatakan Rusia "bisa jadi" akan ikut campur dalam pemilihan tahun ini, tetapi menolak gagasan bahwa negara itu mungkin berusaha membantunya memenangkan masa jabatan kedua.

"Saya pikir orang terakhir yang ingin dilihat Rusia (untuk menjadi Presiden AS) adalah Donald Trump," katanya, mengatakan bahwa "tidak ada yang lebih tangguh di Rusia daripada saya."

Dia juga mengatakan China akan "senang" jika dia kalah dalam pemilihan, menuduh bahwa "mereka akan memiliki negara kita" jika Joe Biden menang.

Pernyataan tersebut dikeluarkan setelah anggota partai Demokrat menyuarakan keprihatinan tentang upaya negara asing untuk mempengaruhi pemungutan suara.

Ketua DPR AS Nancy Pelosi yang merupakan politikus Partai Demokrat, pada Rabu 5 Agustus mengatakan, intelijen terkait upaya asing untuk mempengaruhi pemungutan suara "harus tersedia bagi rakyat Amerika".

Dalam pernyataannya, Evanina mengatakan lembaganya "telah dan akan terus memberikan penjelasan rahasia tentang ancaman pemilu" kepada para kandidat dan politikus.

"Langkah-langkah yang telah kami ambil sejauh ini untuk menginformasikan kepada publik dan pemangku kepentingan lainnya tentang ancaman pemilu belum pernah terjadi sebelumnya bagi IC [komunitas Intelijen]."

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya