Liputan6.com, Ghouta - 7 tahun lalu, pada Rabu 21 Agustus awal pagi, serangan senjata kimia terjadi di Suriah. Menewaskan belasan orang di pinggiran ibu kota Damaskus, seperti dilaporkan para pegiat oposisi.
Mengutip BBC, serangan roket dengan zat beracun pada 21 Agustus 2013 yang ditembakkan ke kawasan Ghouta di Suriah disebutkan merupakan bagaian upaya pemerintah Suriah untuk memukul mundur pasukan pemberontak.
Menurut Koalisi Nasional, kelompok oposisi utama, setidaknya 650 hingga 1.000 orang tewas dalam serangan besar-besaran tersebut.
Advertisement
Jaringan aktivis melaporkan jumlah korban tewas dari insiden itu mencapai ratusan, tetapi ini tidak dapat dikonfirmasi secara independen.
Juga tidak jelas berapa banyak yang tewas dalam pemboman di situs itu, dan berapa banyak kematian yang disebabkan oleh paparan zat beracun.
Potongan gambar yang beredar di YouTube oleh para pegiat kelompok perlawanan memperlihatkan sejumlah orang dirawat di rumah sakit darurat. BBC tidak bisa memastikan sepenuhnya keasilan dari rekaman video tersebut, namun berdasarkan pengujuan tambahan yang dilakukan, tampaknya video itu asli.
Bagaimanapun kantor berita resmi, Sanaa, melaporkan laporan tentang serangan zat beracun tidak berdasar dan dianggap sebagai upaya untuk mengalihkan PBB melaksanakan tugas semestinya.
Dugaan serangan ini terjadi beberapa hari setelah Tim PBB tiba di Suriah, Minggu 18Â Agustus, untuk membuktikan dugaan penggunaan senjata kimia sebelumnya.
Awal Agustus, pemerintah Damaskus sudah memberi izin kepada PBB untuk mengunjungi tiga wilayah yang diduga menjadi tempat penggunaan senjata kimia. Masih tidak jelas apakah Tim PBB juga akan menyelidiki dugaan penggunaan senjata kimia terbaru ini.Sejauh ini mereka rencananya akan menyelidiki di tiga lokasi, antara lain kota Khan al-Assal di Suriah Utara yang menjadi tempat tewasnya 26 orang pada Maret tahun 2013.
Baik kelompok pemberontak dan pasukan pemerintah saling menuduh pihak lain menggunakan senjata kimia selama konflik yang sudah berlangsung dua tahun lebih. Pertengahan Juli, PBB memperkirakan sudah lebih dari 100.000 orang tewas sepanjang konflik Suriah.
"Ada keprihatinan yang kuat di antara anggota dewan tentang tuduhan tersebut dan pemahaman umum bahwa harus ada kejelasan tentang apa yang terjadi dan situasinya harus diikuti dengan cermat," kata Duta Besar Argentina untuk PBB Maria Cristina Perceval kepada wartawan setelah pertemuan tertutup.
Sementara itu, AS, Inggris, dan Prancis termasuk di antara 35 negara anggota yang telah menandatangani surat yang menyerukan agar inspektur PBB yang sudah menyelidiki tiga lokasi dugaan penggunaan senjata kimia di Suriah, untuk menyelidiki insiden terbaru sesegera mungkin.
Saksikan Juga Video Ini:
Gejala Terpapar Zat Beracun
Ghazwan Bwidany, seorang dokter yang merawat korban luka, mengatakan kepada BBC bahwa gejala utama, terutama di kalangan anak-anak, adalah sesak napas, serta mengeluarkan air liur dan penglihatan kabur.
"Kami tidak memiliki kemampuan untuk merawat semua orang sebanyak ini," katanya.
"Kami menempatkannya di masjid, di sekolah. Kami kekurangan persediaan medis, terutama atropin, yang merupakan penangkal senjata kimia."
Dalam sebuah pernyataan, tentara menggambarkan tuduhan penggunaan senjata kimia sebagai hal yang berat, dan menekankan hak militer untuk memerangi apa yang digambarkan sebagai terorisme di Suriah.
Mereka menuduh pihak oposisi mengarang tuduhan untuk mengalihkan perhatian dari kerugian besar yang diderita pasukannya baru-baru ini.
Pemeriksa senjata kimia Perserikatan Bangsa-Bangsa tiba di Suriah pada hari Minggu, dengan mandat untuk menyelidiki tiga lokasi di mana senjata kimia diduga digunakan, termasuk kota utara Khan al-Assal, tempat sekitar 26 orang tewas pada Maret.
Sebelumnya, juru bicara Gedung Putih Josh Earnest mengatakan dalam sebuah pernyataan: "Amerika Serikat sangat prihatin dengan laporan bahwa ratusan warga sipil Suriah telah tewas dalam serangan oleh pasukan pemerintah Suriah, termasuk dengan penggunaan senjata kimia, di dekat Damaskus hari ini.
"Kami secara resmi meminta PBB segera menyelidiki tuduhan baru ini. Tim investigasi PBB, yang saat ini berada di Suriah, siap untuk melakukannya, dan itu sesuai dengan tujuan dan mandatnya."
Serangan ini diduga terjadi setahun setelah Presiden AS Barack Obama memperingatkan pemerintah Suriah bahwa menggunakan senjata kimia akan melewati "garis merah".
Menteri Luar Negeri Inggris William Hague mengatakan bahwa jika dikonfirmasi serangan itu akan menandai "peningkatan yang mengejutkan dalam penggunaan senjata kimia di Suriah".
Liga Arab dan Uni Eropa telah menggemakan seruan agar para inspektur pergi ke situs tersebut.
"Uni Eropa menegaskan kembali bahwa setiap penggunaan senjata kimia, oleh pihak manapun di Suriah, akan sama sekali tidak dapat diterima," kata juru bicara kepala urusan luar negeri Uni Eropa Catherine Ashton.
Tetapi kementerian luar negeri Rusia mencatat bahwa laporan itu muncul tepat ketika tim inspeksi senjata kimia PBB tiba di Suriah, mengatakan bahwa "ini membuat kami berpikir bahwa kami sekali lagi berurusan dengan provokasi yang direncanakan".
Advertisement