Liputan6.com, Bagdad - Sebuah kitab suci Al-Qur'an disimpan rapat-rapat, di balik kaca, di ruang bawah tanah Masjid Umm al-Qura (sebelumnya disebut Umm al-Ma'arik) di Bagdad, Irak. Tak semua orang boleh melihatnya.
Kaligrafi dalam kitab tersebut sungguh indah. Sangat layak dipajang di museum atau galeri seni. Masalahnya, huruf-huruf itu tidak ditulis dengan tinta melainkan darah Saddam Hussein.
Baca Juga
Saddam memerintahkan Al-Qur'an itu dibuat pada 1997, dalam rangka ulang tahunnya yang ke-60. Tahun 1990-an adalah masa-masa sulit buat sang diktator. Dikutip dari Today I Found Out, Minggu (20/6/2021), ia jadi alim setelah percobaan pembunuhan yang menargetkan putranya, Uday Hussein pada 12 Desember 1996.
Advertisement
Menurut Saddam, kitab tersebut adalah ucapan terimakasihnya pada Sang Pencipta, yang membantunya melalui banyak "konspirasi dan bahaya". "Hidupku penuh penuh dengan bahaya, seharusnya aku sudah kehilangan banyak darah. Namun, karena hanya sedikit darah tertumpah, aku memerintahkan seseorang menuliskan ayat-ayat Allah dengan darahku sebagai rasa syukur."
Selama dua tahun pembuatan, Saddam duduk bersama dengan penulis kaligrafi Abbas Shakir Joody al-Baghdadi dan perawat yang bertugas mengambil darah. Konon, total 27 liter darah yang dipompa dari tubuhnya, untuk memenuhi 605 halaman.
Sang penulis kaligrafi mengaku terpaksa. Ia tak bisa menolak setelah menerima perintah lewat telepon. Baghdadi kala itu diminta datang ke Rumah Sakit Ibnu Sina di Baghdad, di mana putra Saddam, Uday memulihkan diri dari percobaan pembunuhan
"Aku tak ingin membicarakannya lagi," kata Baghdadi, dari lokasi tempat tinggalnya di negara bagian Virginia, Amerika Serikat, seperti dikabarkan The Guardian pada 2010. "Itu adalah bagian yang menyakitkan dalam hidupku, yang ingin aku hapus dari ingatan."
Kitab hasil karyanya diserahkan ke Saddam dalam sebuah acara pada September 2000. Tak lama kemudian, Al-Qur'an yang ditulis dengan darah itu dipamerkan di Masjid Umm al-Ma'arik (Mother Of All Battles).
Masjid itu didirikan Saddam sebagai peringatan kemenangan atas Perang Teluk yang berlangsung pada 1990-1991. Desainnya pun khusus, dengan menara mirip rudal Scud dan laras bedil Kalashnikov.
Kontroversial
Setelah kekuasaan Saddam Hussein tumbang pada 2003 yang disusul kematiannya yang tragis, pemerintah Irak tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan Al-Qur'an yang ditulis dengan darah itu.
Di satu sisi, itu adalah artefak berharga dari era tertentu dalam sejarah Irak. Di sisi lain, memamerkannya bisa memicu glorifikasi dari pendukung Saddam. Apalagi, menurut Muslim Sunni arus utama, menulis Al-Qur'an dengan cara itu adalah haram alias terlarang.
"Cara dia (Saddam) salah, menuliskan Al-Qur'an dengan darah," kata Sheikh Ahmed al-Samarrai, yang menjabat sebagai Ketua Badan Wakaf Sunni Irak pada 2010. "Itu haram."
Hal lain yang juga jadi sorotan adalah, benarkah darah Saddam Hussein yang dipakai dalam kitab tersebut? Memompa darah sebanyak 27 liter, dari satu orang saja, dalam waktu 2 tahun, terdengar tak masuk akal.
Klaim tersebut belum diverifikasi kebenarannya. "Bagaimana kita bisa yakin itu darah Saddam, bukan milik para korbannya," tulis reporter Philip Smucker pada 29 Julu 2001 seperti dimuat Telegraph.
Celso Bianco, petinggi Pusat Donor Darah Amerika juga tak percaya Saddam Hussein menyumbangkan 27 liter darah hanya dalam 2 tahun.
Menurut dia, seorang pendonor di Amerika Serikat maksimal menyumbangkan lima atau enam liter darah dalam setahun.
"Pada level aman, Saddam Hussein membutuhkan waktu sembilan tahun, bukan dua," kata Bianco. "Itu jumlah yang luar biasa, jika benar, hal tersebut pasti akan membuatnya anemia."
Reporter: Paquita Gadin
Advertisement