Liputan6.com, Jakarta - Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, mengirimkan kecaman keras kepada Rusia atas serangan terhadap Ukraina. Presiden Vladimir Putin disebut memilih pertumpahan darah ketimbang diplomasi.
"Presiden Putin telah memilih jalan pertumpahan darah dan kehancuran dengan meluncurkan serangan tanpa provokasi ini kepada Ukraina," ujar PM Johnson dalam rilis resmi Kedutaan Besar Inggris di Jakarta, Kamis (24/2/2022).
Advertisement
Baca Juga
PM Johnson juga menambahkan akan merespons aksi Rusia dengan tegas.
Inggris menyebut Rusia melanggar pasal 2 dari Piagam PBB bahwa semua anggota dilarang memakai kekuatannya untuk melanggar integritas wilayah atau kemerdekaan politik suatu negara.
Menteri Luar Negeri Inggris, Liz Truss berkata akan berkolaborasi dengan mitra internasional untuk melawan aksi Rusia.
"Kami berdiri bersama Ukraina dan kami akan bekerja dengan mitra-mitra internasional kami untuk merespons tindakan agresi yang mengerikan ini," ujar Truss.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Anak-Anak Ukraina Terancam Jadi Korban
Keadaan psikososial anak-anak Ukraina menjadi sorotan dari UNICEF di tengah krisis yang terjadi dengan Rusia. Dunia internasional kini sedang ramai-ramai mengkritik langkah Rusia yang mengakui kemerdekaan dua wilayah separatis Ukraina, Donetsk dan Luhansk.
Dilaporkan VOA News, Kamis (24/2/2022), seorang wanita di Kyiv bernama Anna Gvozd terus memantau manuver Rusia, pasalnya keluarganya tinggal di wilayah separtis tersebut.
"Keponakan saya yang berusia enam tahun sekarang tidak lagi pergi ke sekolah dan ke kelas menari karena penembakan terjadi di sekitar kota itu," ujarnya.
Anna, suaminya dan tiga putra mereka telah meninggalkan wilayah itu delapan tahun lalu setelah Rusia menganeksasi Krimea dan memicu perang separatis di bagian timur Ukraina. Dampaknya terhadap anak-anak sangat buruk.
“Kami tidak dapat menyewa apartemen karena orang yang mengungsi di dalam negerinya sendiri – atau dikenal sebagai 'internally displaced persons' – kami tidak diberi tempat tinggal. Mereka juga melarang memiliki rumah karena melihat kami punya tiga anak. Anak-anak melihat langsung perjuangan emosional kami,” tutur Anna.
Bagi keluarga yang tidak dapat melarikan diri, trauma yang ada semakin memburuk karena semakin banyak pasukan Rusia yang masuk ke wilayah itu secara resmi.
Advertisement