Liputan6.com, Beijing - WHO mengumumkan bahwa China tidak secara transparan mengungkap dampak sebenarnya dari COVID-19 di negaranya. Ini terutama terkait angka kematian.
Masalah yang disorot BBC adalah China terlalu pilih-pilih dalam mendefinisikan kematian COVID-19.
Baca Juga
"Kami percaya definisnya terlalu sempit," ujar direktur WHO Dr. Michael Ryan, dilansir BBC, Kamis (5/1/2023).
Advertisement
Akibatnya, direktur WHO itu percaya bahwa angka China "kurang mewakili dampak sebenarnya dari penyakit tersebut berdasarkan data masuk rumah sakit, masuk ICU, dan terutama dalam hal kematian."
Situs data Airfinity dari Inggris mengestimasi ada lebih dari 2 juta kasus COVID-19 per hari dan 14.700 kematian di China. Kasus kumulatif sejak 1 Desember 2022 mencapai 30,7 juta kasus.
Kasus terkini disebut sudah memuncak, namun puncakan kedua diprediksi terjadi lagi pada Maret 2022.
"Model kami mengestimasi puncakan kedua akan terjadi pada 3 Maret 2023 saat kasus harian bisa mencapai 4,2 juta per hari. Diperkirakan area perkampungan akan lebih terdampak oleh gelombang ini," jelas Airfinity.
Aturan di China berbeda dari panduan WHO yang meminta negara-negara turut menghitung "excess deaths" akibat COVID-19. Namun, China hanya menghitung orang-orang yang meninggal akibat COVID-19 karena penyakit pernafasan.
Lebih lanjut, Dr. Ryan berkata China telah meningkatkan komunikasi dengan WHO, dan ia berharap bisa mendapatkan lebih banyak data komprehensif.
Selain itu, ia berharap supaya tenaga kesehatan dapat melaporkan pengalaman pribadi mereka terkait dampak sebenarnya dari COVID-19 kepada masyarakat.
China telah resmi menyetop kebijakan zero-COVID mereka. Para traveller pun lebih bebas berpergian. Namun, hal itu memicu sejumlah aturan baru dari sejumlah negara agar pendatang dari China ikut tes COVID-19.
China Siap Balas Aturan Wajib Tes COVID-19 di Sejumlah Negara
Sebelumnya dilaporkan, China tidak terima karena pendatang dari negaranya diwajibkan ikut tes COVID-19 ketika masuk negara lain. Kebijakan itu turut diambil di Korea Selatan dan Jepang.
Aturan wajib tes COVID-19 bagi pendatang dari China diambil karena lonjakan kasus yang signifikan di China. Namun, pemerintah China melonggarkan aturan COVID-19 mereka.
Dilaporkan Global Times, Rabu (4/1/2022), sejumlah pejabat di sektor pemerintahan dan kesehatan China menolak kebijakan tersebut, dan menilai aturan tes COVID-19 itu sebagai "sementara, tak perlu, dan kurang dasar ilmiah."
Media pemerintah China itu juga menyebut kebijakan wajib tes ini sebagai "buang-buang waktu dan sumber daya" saja.
Negara-negara tetangga China seperti Jepang, Korea Selatan, dan India kompak mengambil kebijakan ini.
Amerika Serikat turut menerapkan yang sama. Uni Eropa belum menerapkan kebijakan ini, tetapi beberapa anggotanya sudah mewajibkan tes COVID-19, seperti Prancis, Italia, dan Spanyol.
Kementerian Luar Negeri China Mao Ning juga ikut mengkritik kebijakan wajib tes COVID-19.
"Sejumlah kebijakan-kebijakan tidak proporsional dan tak bisa disetujui. Kami secara tegas menolak tindakan-tindakan COVID untuk tujuan politik dan akan mengambil tindakan-tindakan untuk merespons bermacam situasi berdasarkan prinsip timbal balik," ujar Mao Ning.
Mao lantas meminta agar kebijakan COVID-19 tidak berdasarkan politik serta tidak berdampak ke masyarakat umum.
"Hal tersebut (tes COVID-19) seharusnya tak digunakan untuk manipulasi politik, seharusnya tak ada kebijakan-kebijakan diskriminasi terhadap negara-negara tertentu," ujar jubir Kemlu China itu.
Advertisement
Dubes RI Imbau WNI Waspada dan Jaga Kesehatan
Duta Besar Republik Indonesia untuk China Djauhari Oratmangun mengingatkan seluruh warga negara Indonesia (WNI) di Tiongkok bahwa aturan terkait COVID-19 tetap berlaku meski pemerintah setempat telah mengumumkan pelonggaran. Dia meminta WNI tetap waspada dan menjaga kesehatan.
"Imbauan KBRI kepada masyarakat dan pelajar masih berlaku saat dikeluarkan pada akhir November, untuk tetap waspada dan jaga kesehatan," ujar Djauhari Oratmangun saat dihubungi Liputan6.com pada Selasa (3/1/2023).
Diplomat senior RI ini juga menyampaikan perkembangan kasus COVID-19 di China yang ia sebut telah menurun.
"Meski kasus sudah jauh menurun tapi sebaiknya tetap diperhatikan," ujar Djauhari Oratmangun.
"Alhamdulillah sampai saat ini belum ada kasus berarti dari masyarakat Indonesia, sebagian besar sudah beraktivitas seperti biasa lagi."
Usai pelonggaran aturan COVID-19, pemerintah China kembali membuka perbatasannya bagi pelancong, terutama menjelang libur Tahun Baru Imlek.
Amerika Serikat, Jepang, dan sejumlah negara lainnya memutuskan mewajibkan tes COVID-19 bagi pelancong yang datang dari China. Langkah tersebut mencerminkan kekhawatiran global bahwa varian baru dapat muncul dalam wabah eksplosif.
Muncul Wacana Vaksin Berbayar
Amerika Serikat mengatakan pada Selasa (3 Januari) bahwa persyaratan tes COVID-19 untuk pelancong dari China didasarkan pada sains dan karena kurangnya transparansi Beijing pada kasus yang melonjak.
Dilansir Channel News Asia, Rabu (4/1), China sebelumnya mengecam tindakan yang diambil oleh sejumlah negara pada para pelancongnya dan menyebut bahwa aturan tersebut "tidak dapat diterima". Itu terjadi dua hari sebelum penumpang udara berusia dua tahun ke atas akan diminta untuk menunjukkan tes COVID-19 negatif untuk memasuki Amerika Serikat.
"Ini adalah pendekatan yang semata-mata dan secara eksklusif didasarkan pada sains," kata juru bicara Departemen Luar Negeri Ned Price kepada wartawan ketika ditanya tentang pernyataan rekannya dari China.
Langkah-langkah tersebut memiliki "masalah kesehatan masyarakat yang mendasarinya" karena "lonjakan kasus COVID-19 di RRT dan kurangnya data urutan genom virus dan epidemiologis yang memadai dan transparan yang dilaporkan dari RRT", kata Price, mengacu pada Republik Rakyat Tiongkok.
Price menegaskan kembali bahwa Amerika Serikat siap untuk membagikan vaksin COVID-19-nya dengan China, yang telah gencar mempromosikan vaksinnya sendiri di luar negeri yang menurut pakar kesehatan internasional kurang efektif.
China telah mengalami lonjakan jumlah penyakit COVID-19 sejak tiba-tiba mengakhiri pembatasan secara drastis.
Advertisement