Liputan6.com, Labuan Bajo - Upaya ASEAN dalam memerangi kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) akibat penyalahgunaan teknologi akan diadopsi dalam deklarasi KTT ke-42 ASEAN 2023.
Deklarasi ini selanjutnya akan diikuti oleh komitmen masing-masing negara ASEAN dengan pembentukan perjanjian sesuai jenis TPPO yang terjadi di setiap negara anggota.
Baca Juga
Sempat Tertahan dan Terjebak, Wisatawan Asing Berhasil Dievakuasi dari Labuan Bajo
Ditinggalkan Turis Imbas Erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki, Tingkat Okupansi Hotel Labuan Bajo Berkurang hingga Nol Persen
Viral Perjuangan Wisatawan Keluar dari Labuan Bajo Setelah Bandara Tutup Akibat Gunung Lewotobi Erupsi
“Tinggal diketok saja dalam pertemuan para antar kepala negara atau pemerintahan. Treaty (perjanjian) nanti bisa disambung lagi dengan perjanjian-perjanjian yang lebih teknis sesuai dengan spesifikasi,” kata Menko Polhukam Mahfud MD saat meninjau Media Center dan ruang konferensi pers di Hotel Bintang Flores, Labuan Bajo di sela-sela kegiatan KTT ke-42 ASEAN 2023, Selasa (9/5/2023).
Advertisement
Bentuk TPPO tersebut, ujar Mahfud, bisa berbeda-beda di setiap negara. Misalkan kasus perdagangan di Malaysia menimpa buruh-buruh perkebunan sementara di Kamboja dan Myanmar, kebanyakan scammer di bidang teknologi dan IT.
Secara khusus bagi Indonesia, pemerintah akan melakuakan upaya pencegahan perdagangan orang dari tingkat pemeriksaan keimigrasian. Rencananya, pemerintah akan membantuk pelayanan satu pintu untuk pemeriksaan dan pengiriman Pekerja Migran Indonesia (PMI).
"Ketika pengiriman ini masuk pintunya di sana. Sehingga, kita tahu bisa mengatasi hal-hal seperti yang saya temukan itu di satu manives satu orang diberi kode tertentu, masuk ke tempat tertentu dimasukkan ke tempat tertentu," ungkapnya.
"Sesudah sampai di tempat dijemput oleh orang tertentu lalu hilang. Itu pidana perdagangan orang," katanya menambahkan.
Tegaskan Tak Ada Restorative Justice
Mahfud kemudian menegaskan agar aparat penegak hukum bersikap tegas dalam memberikan hukuman setimpal bagi pelaku TPPO.
Ia kembali menekankan terkait tidak adanya restorative justice atau jalur penyelesaian secara damai terkait kasus ini.
"Kalau tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang dan korupsi, penyuapan dan kejahatan yang berat itu tidak boleh ada restorative justice. Meskipun, korbannya memaafkan, negara tidak boleh memaafkan," tegasnya.
"Itu di dalam hukum pidana. Penjahat itu lawannya negara, bukan korban yang harus dia lawan," tambahnya lagi.
Dalam tiga tahun terakhir Indonesia telah menangani 1.841 Warga Negara Indonesia (WNI) yang menjadi korban kasus online scam perdagangan manusia dari Kamboja.
Selain itu, negara-negara ASEAN lain yang juga menjadi tujuan kasus TPPO meliputi Myanmar, Thailand, Vietnam, Laos dan Filipina.
Advertisement