Liputan6.com, Jakarta - Perdana Menteri Kamboja Hun Sen telah mengumumkan untuk mentransfer kekuasaan ke putranya: Hun Manet. Hun Sen telah berkuasa selama nyaris 40 tahun sejak 1985. Masa kekuasaannya sudah melebihi Soeharto.
Kelompok-kelompok HAM internasional ramai-ramai mengecam situasi di Kamboja, termasuk karena pembungkaman lawan-lawan politik. Human Rights Watch telah menyebut Kamboja sudah memiliki rezim otoriter.
Advertisement
Baca Juga
Kamboja merupakan salah satu anggota ASEAN. Tahun ini, Indonesia adalah ketua ASEAN, dan Hun Sen juga beberapa bulan lalu datang ke Indonesia sebagai perwakilan negaranya. Namun, pihak Kemlu RI enggan untuk mengaitkan posisi Indonesia terhadap kondisi politik di Kamboja.
Advertisement
"Tidak bisa dikait-kaitkan antara proses politik di sana dengan posisi kita sebagai ketua ASEAN. Mudah-mudahan menjadi bagian dari proses demokrasi di sana," ucap juru bicara Kemlu RI Teuku Faizasyah di gedung Kemlu, Selasa (1/8/2023).
Teuku Faizasyah berkata pihaknya akan terus memantau proses politik di Kamboja.
"Nanti kita lihat bagaimana penetapan akhir dari proses tersebut," jelasnya.
Sebelumnya dilaporkan bahwa Hun Sen berkata anaknya bakal menjadi PM pada Agustus 2023. Hun Sen dan Hun Manet merupakan anggota dari Partai Rakyat Kamboja.
Pihak oposisi Kamboja sudah mengetahui niat Hun Sen dari jauh-jauh hari. Hal itu disampaikan oleh tokoh oposisi Sam Rainsy yang sempat ke Jakarta Mei lalu. Sam Rainsy menyebut negaranya sudah mulai mirip Korea Utara. Ia juga menuding bahwa tak hanya anak dari Hun Sen yang meraih kuasa, tetapi anak-anak dari kelompok Hun Sen juga dijamin akan mendapat kekuasaan.
Situasi Myanmar Juga Masih Bergejolak
Masalah politik yang tidak demokratis juga terjadi di negara ASEAN lain, yakni Myanmar.
Junta militer Myanmar telah memperpanjang keadaan darurat yang diberlakukannya sejak kudeta militer pada tahun 2021. Hal tersebut mau tidak mau memaksa penundaan lebih lanjut pemilu yang dijanjikan ketika pengambilalihan kekuasaan.
Stasiun televisi MRTV mengungkapkan bahwa Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional (NDSC) bertemu di Naypyidaw pada Senin (31/8/2023) dan memperpanjang keadaan darurat selama enam bulan, terhitung mulai Selasa (1/8) karena diperlukan waktu untuk mempersiapkan pemilu. NDSC sendiri dikendalikan junta militer, seperti dilansir The Guardian.
Pengumuman tersebut dinilai merupakan pengakuan bahwa militer tidak memiliki cukup kontrol untuk mengadakan pemungutan suara dan telah gagal menundukkan penentangan yang meluas terhadap kekuasaannya, yang mencakup perlawanan bersenjata yang semakin menantang serta protes tanpa kekerasan.
Keadaan darurat diumumkan ketika militer menangkap Aung San Suu Kyi, pejabat tinggi pemerintahannya, dan anggota partainya pada 1 Februari 2021. Kudeta militer Myanmar tersebut memutar balik arah menuju demokrasi.
Junta militer mengklaim bahwa kudeta dilakukan menyusul kecurangan dalam pemilu yang digelar pada November 2020, di mana Partai Liga Nasional untuk Demokrasi menang telak. Pemantau pemilu independen mengatakan bahwa mereka tidak menemukan kejanggalan.
Pengambilalihan pemerintahan ke tangan militer disambut dengan protes damai yang meluas di seluruh negeri, yang kemudian dibubarkan oleh pasukan keamanan dengan kekuatan mematikan, memicu perlawanan bersenjata yang digambarkan oleh para ahli PBB sebagai perang saudara.
Menurut penghitungan independen oleh Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, hingga Senin, 3.857 orang telah dibunuh oleh pasukan keamanan sejak kudeta terjadi.
Advertisement