Liputan6.com, Jakarta - Kekeringan selama tiga tahun terakhir yang mengakibatkan kekurangan air bagi jutaan orang di Suriah, Irak, dan Iran tidak akan terjadi tanpa adanya perubahan iklim yang disebabkan oleh aktivitas manusia.
Melansir dari AP, Minggu (17/11/2023), temuan baru dari sebuah studi menunjukkan bahwa kekeringan di Asia Barat, yang dimulai sejak Juli 2020, sebagian besar disebabkan oleh suhu yang lebih tinggi dari biasanya.
Baca Juga
Hal ini mengakibatkan penguapan yang signifikan dan berdampak pada penurunan curah hujan yang turun, berdasarkan penelitian singkat yang dilakukan oleh kelompok ilmuwan iklim internasional di World Weather Attribution.
Advertisement
Menurut Friederike Otto, seorang ilmuwan iklim dari Imperial College of London yang menjadi penulis utama studi ini, tanpa kenaikan suhu global sebesar 1,2 derajat Celsius sejak pertengahan abad ke-19, kita tidak akan mengalami kekeringan sama sekali.
Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa perubahan iklim secara tidak wajar memperburuk kondisi kekeringan alami, menjadikannya krisis kemanusiaan yang mengakibatkan kehausan, kelaparan, dan kehilangan tempat tinggal bagi banyak orang.
Meskipun penelitian ini belum melalui proses tinjauan sejawat, metodenya diakui sebagai teknik ilmiah yang valid untuk mendeteksi dampak pemanasan global.
Analisis Kondisi Iklim di Asia Barat
Tim tersebut memeriksa suhu, curah hujan, dan tingkat kelembapan, lalu membandingkan peristiwa dalam tiga tahun terakhir dengan beberapa simulasi komputer tentang kondisi dunia tanpa adanya perubahan iklim yang diakibatkan oleh aktivitas manusia.
Menurut salah satu penulis studi, Profesor Klimatologi Mohammed Rahimi dari Semnan Univeristy di Iran, perubahan iklim global yang diakibatkan oleh manusia telah menciptakan tantangan yang lebih besar dalam kehidupan puluhan juta orang di Asia Barat.
"Dengan pemanasan yang terus meningkat, kehidupan di Suriah, Irak, dan Iran diprediksi akan menjadi semakin sulit," ujar Mohammed Rahimi.
Selain membuat kondisi air yang biasanya mendekati normal menjadi kekeringan ekstrem, penulis studi mengestimasi bahwa kemungkinan kejadian kondisi kekeringan di Suriah dan Irak meningkat 25 kali lipat akibat perubahan iklim, sementara di Iran, peningkatannya mencapai 16 kali lipat.
Advertisement
Kerentanan Infrastruktur di Timur Tengah
Kelly Smith, asisten direktur di Pusat Mitigasi Kekeringan Nasional AS di Nebraska, yang tidak terlibat dalam penelitian ini, menyatakan bahwa hasil penelitian tersebut masuk akal.
Kondisi kekeringan bukanlah sesuatu yang aneh di wilayah Timur Tengah, dan konflik, termasuk perang saudara di Suriah, membuat wilayah tersebut semakin rentan terhadap kekeringan karena kerusakan infrastruktur dan penurunan kualitas pengelolaan air, seperti yang diungkapkan oleh penulis studi lainnya, Rana El Hajj, dari Palang Merah Pusat Iklim Bulan Sabit Merah di Lebanon.
Friederike Otto menyatakan, "Situasi ini telah mencapai titik di mana sebagian orang sulit beradaptasi. Selama kita masih bergantung pada bahan bakar fosil atau bahkan memberikan izin untuk mengeksplorasi ladang minyak dan gas baru, kejadian seperti ini akan semakin memburuk, merusak mata pencaharian, dan membuat harga pangan tetap tinggi."
Friederike Otto menambahkan bahwa hal-hal tersebut bukan hanya masalah di beberapa wilayah saja, tetapi benar-benar menjadi masalah bagi semua orang.
Kawasan Konflik Seperti Gaza dan Sekitarnya Lebih Rentan Terhadap Perubahan Iklim
Dalam keadaan yang sulit, negara-negara yang terlibat dalam konflik seringkali sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Menurut data indeks Notre Dame Global Adaptation Initiative (ND-Gain) tahun 2021, ada 25 negara yang paling rentan terhadap perubahan iklim. 14 di antaranya tengah mengalami kekerasan bersenjata seperti Yaman, Afghanistan, Sudan, dan Republik Demokratik Kongo.
Meskipun tidak ada hubungan langsung antara perubahan iklim dan konflik, negara-negara yang terlibat dalam pertikaian seringkali kesulitan menghadapi dampak perubahan iklim karena sumber daya mereka terkuras oleh konflik internal atau pertempuran yang terus berlangsung.
Melansir dari France24, perubahan iklim juga dapat memperburuk ketegangan yang sudah ada terkait akses terhadap sumber daya yang semakin berkurang.
"Yang satu memperburuk yang lain," ujar Yvonne Su, pakar pembangunan internasional dan asisten profesor di York University. "Jika suatu tempat rentan terhadap perubahan iklim, masyarakat bisa saja berebut sumber daya."
Setelah konflik kembali terjadi di Jalur Gaza, para ahli menyatakan bahwa penduduknya sekarang berada dalam situasi yang lebih rentan daripada sebelumnya.
Advertisement