Sejarah Kelam di Balik Hari Valentine, Berawal Dari Ritual Berdarah

Hari Valentine dikenal sebagai momen perayaan cinta dan romansa. Namun, sejarahnya justru berakar dari ritual kuno yang penuh darah di Roma.

oleh Benedikta Miranti T.V diperbarui 11 Feb 2025, 19:40 WIB
Diterbitkan 11 Feb 2025, 19:40 WIB
Ilustrasi cinta, Hari Valentine
Ilustrasi cinta, Hari Valentine. (Photo by RODNAE Productions from Pexels)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Hari Valentine kini identik dengan cinta, bunga, cokelat, dan kartu ucapan penuh romansa. Namun, di balik perayaan yang manis ini, terdapat sejarah kelam yang penuh dengan ritual berdarah, eksekusi, hingga akhirnya berubah menjadi hari kasih sayang yang mendunia.

Dikutip dari laman NPR, Selasa (11/2/2025), sejarah Valentine dapat ditelusuri hingga ke zaman Romawi Kuno, di mana pada 13 hingga 15 Februari, masyarakat merayakan Festival Lupercalia. Dalam perayaan ini, pria Romawi mengorbankan kambing dan anjing, kemudian menggunakan kulit hewan yang baru disembelih untuk memukul para wanita.

Menurut Noel Lenski, seorang profesor studi agama di Universitas Yale, ritual ini dilakukan dengan kepercayaan bahwa wanita yang terkena cambukan akan menjadi lebih subur. Selain itu, festival ini juga mencakup lotre jodoh, di mana nama wanita ditarik dari sebuah wadah untuk dipasangkan dengan pria secara acak. Jika kecocokan terjadi, pasangan tersebut bisa bertahan lebih lama dari sekadar festival.

Nama Valentine sendiri diyakini berasal dari dua pria yang dieksekusi oleh Kaisar Claudius II pada 14 Februari di abad ke-3. Kedua pria ini kemudian dianggap sebagai martir dan diperingati oleh Gereja Katolik sebagai Hari Santo Valentine.

Pada abad ke-5, Paus Gelasius I mencoba menghapus unsur pagan dari Lupercalia dengan menggabungkannya dengan perayaan St. Valentine. Meski lebih terkendali dibanding sebelumnya, festival ini tetap mempertahankan unsur perayaan cinta dan kesuburan.

Pada masa yang sama, bangsa Norman juga memiliki perayaan serupa bernama Galatin's Day, yang berarti "pecinta wanita". Karena kemiripan bunyi, perayaan ini kemungkinan ikut bercampur dengan tradisi Hari Valentine yang berkembang kemudian.

 

Jadi Perayaan Cinta Berkat Sastra

Ilustrasi Hari Valentine
Ilustrasi Hari Valentine. (Photo by alleksana from Pexels)... Selengkapnya

Hari Valentine semakin mendapat tempat sebagai simbol cinta berkat karya-karya sastra dari Geoffrey Chaucer dan William Shakespeare, yang mempopulerkannya di Eropa. Pada Abad Pertengahan, kartu ucapan cinta mulai dibuat secara manual sebagai bentuk ekspresi kasih sayang.

Ketika tradisi ini sampai di Amerika, Revolusi Industri mengubahnya menjadi fenomena komersial. Pada 1913, perusahaan Hallmark Cards mulai memproduksi kartu Valentine secara massal, yang menjadi awal mula komersialisasi besar-besaran perayaan ini.

Kini, Hari Valentine telah menjadi industri bernilai miliaran dolar. Masyarakat menghabiskan uang untuk bunga, perhiasan, cokelat, dan kartu ucapan. Namun, komersialisasi ini juga menuai kritik karena dianggap menghilangkan makna asli dari perayaan cinta.

Helen Fisher, seorang sosiolog dari Universitas Rutgers, mengatakan bahwa fenomena ini terjadi karena masyarakat sendiri yang menciptakan permintaan.

"Jika orang tidak ingin membeli kartu Valentine, Hallmark tidak akan bertahan," ujarnya.

Tak semua orang merayakan Hari Valentine dengan penuh romansa. Sebagian memilih Singles Awareness Day (SAD), menikmati waktu sendiri, atau bahkan menolak tekanan sosial untuk memiliki pasangan. Bagaimanapun, perayaan ini terus berkembang, dengan makna yang kini bervariasi bagi setiap orang.

Infografis soal data pernikahan
Angka Pernikahan di Indonesia Selama 10 Tahun. (Triyasni/Liputan6.com)... Selengkapnya
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya