Hamas Sebut Kesepakatan Gencatan Senjata dengan Israel Hampir Tercapai

Seorang pejabat Hamas mengatakan kepada Al Jazeera TV bahwa negosiasi dipusatkan pada berapa lama gencatan senjata akan berlangsung, pengiriman bantuan ke Gaza, dan pertukaran sandera antara yang ditawan Hamas dengan tahanan Palestina di Israel.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 21 Nov 2023, 17:22 WIB
Diterbitkan 21 Nov 2023, 17:15 WIB
Ribuan Jenazah Tertimbun Reruntuhan Bangunan di Gaza
Namun, para korban seringkali adalah warga Palestina, banyak di antaranya belum ditemukan. (AP Photo/Ali Mahmoud, File)

Liputan6.com, Doha - Pemimpin Hamas mengaku pada Selasa (21/11/2023), pihaknya hampir mencapai perjanjian gencatan senjata dengan Israel di tengah serangan mematikan yang terus dilancarkan ke Gaza. Hal tersebut diungkapkan ajudan pemimpin Hamas Ismail Haniyeh via pesan tertulis kepada Reuters.

Dalam pesan yang sama disebutkan bahwa Hamas telah memberi respons kepada mediator, yakni Qatar. Namun, pernyataan tersebut tidak memberikan rincian lebih lanjut.

Seorang pejabat Hamas lainnya, Issat el Reshiq, mengatakan kepada Al Jazeera TV bahwa negosiasi dipusatkan pada berapa lama gencatan senjata akan berlangsung, pengiriman bantuan ke Gaza, dan pertukaran sandera antara yang ditawan Hamas dengan tahanan Palestina di Israel.

Kedua belah pihak akan membebaskan perempuan dan anak. Rincian lebih lanjut terkait kesepakatan akan diumumkan oleh Qatar.

Hamas dilaporkan menyandera sekitar 240 orang selama serangannya ke Israel selatan pada 7 Oktober, yang diklaim Israel menewaskan 1.200 orang.

Presiden Komite Palang Merah Internasional (ICRC) Mirjana Spoljaric disebut telah bertemu Haniyeh di Qatar pada Senin (20/11) untuk mendorong fokus kemanusiaan. Menurut pernyataan organisasi tersebut, Spoljaric juga melakukan pertemuan terpisah dengan pihak berwenang Qatar.

ICRC menuturkan pihaknya bukan bagian dari perundingan yang bertujuan membebaskan sandera, namun sebagai pihak yang netral, ICRC siap memfasilitasi pembebasan yang disepakati pihak-pihak terkait di masa depan.

Pembicaraan mengenai kesepakatan pembebasan sandera telah beredar selama berhari-hari. Mengutip sumber yang mendapat penjelasan tentang isu ini, Reuters melaporkan pekan lalu bahwa Qatar sedang mengupayakan kesepakatan bagi Hamas dan Israel untuk menukar 50 sandera sebagai imbalan atas gencatan senjata tiga hari yang akan meningkatkan pengiriman bantuan darurat ke warga sipil Jalur Gaza.

Duta Besar Israel untuk Amerika Serikat (AS) Michael Herzog mengatakan dalam program ABC "This Week" pada Minggu (19/11) bahwa dia mengharapkan kesepakatan tercapai dalam beberapa hari mendatang, sementara Perdana Menteri Qatar Sheikh Mohammed Bin Abdulrahman al-Thani menuturkan bahwa poin-poin penting yang tersisa untuk diselesaikan sangat sedikit.

Pada Senin, Presiden AS Joe Biden dan pejabat AS lainnya mengungkapkan pula bahwa kesepakatan sudah hampir tercapai.

"Negosiasi sensitif seperti ini bisa gagal pada menit-menit terakhir," kata wakil penasihat keamanan nasional Gedung Putih Jon Finer dalam program NBC "Meet the Press" pada Minggu. "Tidak ada yang disepakati sampai semuanya disepakati."

Serangan Hamas pada 7 Oktober, hari paling mematikan dalam 75 tahun sejarah Israel, mengawali perang terbaru di antara keduanya. Sejak itu, setidaknya 13.300 warga Palestina di Gaza tewas, termasuk lebih dari 5.000 anak-anak dan lebih dari 3.000 wanita.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Rumah Sakit Indonesia di Gaza Dikepung Israel

Kondisi Rumah Sakit di Gaza Pasca Pemboman
Orang-orang mencari di antara puing-puing di luar lokasi rumah sakit Ahli Arab di pusat kota Gaza pada tanggal 18 Oktober 2023. (MAHMUD HAMS/AFP)

Kantor berita Palestina WAFA melaporkan pada Selasa bahwa setidaknya 17 warga Palestina tewas dalam pengeboman Israel di kamp Nuseirat di Gaza tengah pada tengah malam. Belum ada komentar langsung dari Israel soal ini.

Adapun pengepungan yang disertai serangan terhadap Rumah Sakit Indonesia di Gaza Utara pada Senin menurut otoritas kesehatan Gaza menewaskan 12 orang dan melukai puluhan lainnya. Juru bicara otoritas Kesehatan Gaza Ashraf al-Qudra mengatakan kepada AFP bahwa terdapat 200 pasien yang berhasil dievakuasi dari Rumah Sakit Indonesia dengan bus ke Rumah Sakit Nasser di Khan Younis, Gaza selatan.

"Tentara Israel mengepung Rumah Sakit Indonesia," ungkap Al-Qudra, seperti dilansir The Guardian, Selasa.

Al-Qudra menambahkan, "Kami khawatir hal yang sama akan terjadi di sana seperti yang terjadi di Al-Shifa."

Masih ada 400 pasien, kata Al-Qudra, yang berada di Rumah Sakit Indonesia dan pihaknya bekerja sama dengan ICRC dalam melakukan evakuasi.

Manajemen Rumah Sakit Indonesia telah membantah dugaan terdapat kelompok bersenjata di fasilitas tersebut.


Penyair dan Penulis Palestina Ditangkap Tentara Israel

Duka dan kehancuran pada minggu kedua perang Israel-Hamas
Warga Palestina yang terluka duduk di Rumah Sakit Shifa di Kota Gaza, Jalur Gaza tengah, setelah tiba dari Rumah Sakit al-Ahli menyusul ledakan di sana, Selasa, 17 Oktober 2023. (AP Photo/Abed Khaled)

Dalam perkembangan lainnya, seperti dikutip The Guardian, penyair dan penulis terkenal Palestina Mosab Abu Toha ditangkap pasukan Israel ketika mencoba meninggalkan Gaza. Kabar ini disampaikan oleh pihak keluarga dan teman-temannya.

Mosab sebelumnya telah mendapat pemberitahuan dari AS bahwa dia dan keluarganya dapat menyeberang ke Mesir karena salah satu anaknya adalah warga negara AS. Mereka sedang dalam perjalanan dari utara ke selatan Gaza, menuju titik penyeberangan Rafah pada Minggu (19/11), ketika dia ditangkap di pos pemeriksaan militer.

"Pasukan Israel membawa Mosab ketika dia tiba di pos pemeriksaan militer, dalam perjalanan meninggalkan utara ke selatan, sesuai dengan perintah mereka. Kedutaan Besar AS mengizinkannya dan keluarganya untuk melintasi Rafah," tutur saudara Mosab, Hamza.

"Kami belum mendengar kabar apapun dari dia."

Teman Mosab, Diana Buttu, seorang pengacara Palestina-Kanada dan mantan juru bicara Organisasi Pembebasan Palestina, mengatakan, "Putranya, yang lahir di AS, diizinkan untuk dievakuasi beberapa minggu lalu, tapi nama Mosab tidak ada dalam daftar.”

"Akhirnya, mereka (AS) memasukkan namanya dan nama istrinya serta anak-anak lain dalam daftar, dan mereka menunggu untuk keluar ketika keadaan sudah aman," tutur Buttu.

"Mereka mencoba mengungsi dari utara ke selatan, ketika mereka dihentikan di sebuah pos pemeriksaan bersama banyak orang lainnya. Mereka disuruh mengangkat tangan untuk menunjukkan bahwa mereka tidak punya apa-apa. Mosab diperintahkan menurunkan putranya dan kemudian tentara menangkapnya, bersama dengan banyak pria lainnya, 200 orang, kata istrinya. Istrinya belum mendengar kabar lagi sejak saat itu."

Baik Kementerian Luar Negeri AS maupun Pasukan Pertahanan Israel (IDF) belum merespons kabar ini.

Mosab telah menulis di majalah New Yorker tentang pengalamannya dibombardir di kamp pengungsi Jabalia di Kota Gaza. Sementara itu, kumpulan puisinya yang diterbitkan dalam bahasa Inggris di AS menjadi finalis penghargaan National Book Critics Circle dan memenangkan penghargaan American Book tahun ini.

"Dia salah satu penulis kami yang paling produktif," ungkap Buttu. "Diterbitkan secara luas di usia yang begitu muda dan mendapatkan penghargaan serta pujian atas tulisannya, ini menunjukkan kepada Anda betapa hebatnya dia sebagai penulis."

Laura Albast, seorang jurnalis Palestina, editor dan teman Mosab menuturkan, "Dia penyair yang luar biasa. Puisi yang dia tulis sangat mudah dipahami, namun juga merupakan representasi dari apa yang terjadi pada kita, menggambarkan bagaimana dia mengendarai sepedanya untuk mencoba mencapai rumah ketika bom berjatuhan."

Mosab dan keluarganya mengungsi di Jabalia, di mana mereka mendengar rumah mereka di Beit Lahia telah dibom. Dalam artikel New Yorker yang diterbitkan pada 6 November, dia menggambarkan bersepeda ke rumah untuk mencoba menyelamatkan koleksi bukunya.

"Saya berharap setidaknya menemukan salinan buku puisi saya sendiri, mungkin di dekat pohon zaitun tetangga saya, tapi yang ada hanyalah puing-puing. Hanya bau ledakan," tulisnya.

"Sekarang saya duduk di rumah sementara saya di kamp Jabalia, menunggu gencatan senjata. Saya merasa seperti berada di dalam sangkar. Saya dibunuh setiap hari bersama dengan bangsa saya. Hanya dua hal yang bisa saya lakukan adalah panik dan bernapas. Tidak ada harapan di sini."

New Yorker melaporkan di situs webnya pada Senin malam bahwa keberadaan Mosab saat ini tidak diketahui. New Yorker menyatakan pihaknya bergabung dengan organisasi lain dalam menyerukan agar Mosab kembali dengan selamat.

 

INFOGRAFIS_Jalur Gaza terbagi atas lima kegubernuran
INFOGRAFIS_Jalur Gaza terbagi atas lima kegubernuran (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya