Liputan6.com, Davos - Menteri Luar Negeri Arab Saudi Pangeran Faisal bin Farhan mengatakan bahwa pihak kerajaan dapat mengakui Israel jika perjanjian komprehensif tercapai yang mencakup status kenegaraan bagi Palestina.
âKami setuju bahwa perdamaian regional mencakup perdamaian dengan Israel, namun hal itu hanya dapat terjadi melalui perdamaian bagi Palestina,â kata Pangeran Faisal bin Farhan pada panel di Forum Ekonomi Dunia di Davos, dikutip dari VOA News, Rabu (17/1/2024).
Baca Juga
Ketika ditanya apakah Arab Saudi akan mengakui Israel sebagai bagian dari perjanjian politik yang lebih luas, dia menjawab: âTentu saja.â
Advertisement
Pangeran Faisal mengatakan bahwa menjaga perdamaian regional melalui pembentukan negara Palestina adalah âsesuatu yang telah kami kerjakan bersama pemerintah AS, dan ini lebih relevan dalam konteks Gaza.â
Setelah meletusnya perang pada Oktober 2023 antara Israel dan kelompok militan Palestina Hamas yang menguasai Gaza, Arab Saudi membekukan rencana kerajaan yang didukung AS untuk menormalisasi hubungan dengan Israel.
Kedua sumber juga mengatakan kepada Reuters bahwa akan ada penundaan dalam perundingan yang didukung AS mengenai normalisasi hubungan Saudi-Israel, yang dipandang sebagai langkah penting bagi kerajaan tersebut untuk mendapatkan imbalan nyata dari pakta pertahanan AS sebagai imbalannya.
Sebelum tanggal 7 Oktober, ketika pejuang Hamas yang didukung Iran melancarkan serangan terhadap Israel selatan, baik pemimpin Israel maupun Arab Saudi telah memberi isyarat bahwa mereka terus bergerak menuju pembentukan hubungan diplomatik yang dapat mengubah Timur Tengah.
100 Hari Perang di Gaza: Israel dan Hamas Sepakati Perjanjian Kiriman Bantuan
Israel dan Hamas sepakat perjanjian tentang bantuan kemanusiaan yang masuk ke Jalur Gaza. Qatar dan Prancis berkolaborasi sebagai mediator pada perjanjian terbaru ini.
Dilaporkan BBC, Rabu (17/1), perjanjian baru ini menyebut agar obat-obatan dapat diberikan kepada para tawanan di Jalur Gaza. Sebagai timbal balik, Israel akan mengizinkan lebih banyak bantuan pokok masuk ke Jalur Gaza.
Bantuan kemanusiaan akan berangkat lewat Doha, ibu kota Qatar, menuju Mesir pada Rabu ini. Kemudian, bantuan itu akan diantarkan ke Gzaza untuk rakyat sipil, sementara obat-obatan akan dibawa untuk tawanan dari Israel.
Obat-obatan itu dikirim karena anggota keluarga para tawanan melaporkan kepada pemerintah bahwa banyak dari korban penculikan Hamas yang butuh obat-obatan, beberapa bahkan dinyatakan dalam kondisi bahaya.
Sebelumnya, Sekjen PBB Antonio Guterres sempat meminta agar bantuan bisa dibawa ke Jalur Gaza dengan aman. Lebih dari 100 staf PBB juga telah meninggal akibat perang di Gaza.
Amerika Serikat berharap agar ada diskusi-diskusi lanjutan yang bisa membawa pelepasan tawanan. Utusan AS untuk Timur Tengah juga telah berdiskusi dengan Qatar agar hal itu tercapai.
Utusan AS berkata diskusi yang terjadi "sangat serius dan intensif" dan diharapkan bisa segera berdampak nyata.Â
Sudah lebih dari 24 ribu orang korban serangan Israel di Jalur Gaza, banyak korban tewas merupakan perempuan dan anak-anak.
Advertisement
Cerita Dokter Lulusan Indonesia Bertahan di Gaza Utara: di Sini Sangat Susah, Sembako Naik 10 kali Lipat
Serangan Pasukan israel ke wilayah Gaza Palestina hingga kini masih berlangsunng. Perang yang telah melewati hari ke-100 ini sejak pertama kali pecah pada 7 Oktober 2023 lalu telah menyisakan duka yang mendalam bagi warga Gaza.Â
Mereka kehilangan keluarga, tempat tinggal, serta hak hidup secara bebas tanpa kegelisahan menghadapi ancaman maut yang bisa datang setiap detik.
Perang ini mengakibatkan infrastruktur di Gaza porak-poranda. Rumah sakit dibombardir, jaringan telekomunikasi diputus, tak ada akses ke air bersih dan makanan yang semestinya menjadi kebutuhan pokok sehari-hari.
dr Muhammad, salah seorang Tenaga Medis dari Asosiasi Emergency Al-fursan Palestina (FPEA), yang bertempat di wilayah Gaza Utara menceritakan bagaimana kekacauan yang terjadi di Gaza saat ini.
"Kondisi di gaza utara sangat susah, tidak ada supply makan, minum yg baik. Harga barang pokok naik 7-10 kali lipat, itu pun kalau ada," ujar Muhammad dalam pesan singkat yang dikirim kepada Liputan6.com, dari wilayah Gaza Utara, 15 Januari 2024.
Dia mengatakan, warga Gaza kini menjalankan hidup apa adanya. Minimnya akses bantuan yang masuk karena ketatnya penjagaan Tel Aviv di wilayah perbatasan membuat mereka harus menjaga ketersediaan makanan agar tidak habis. Belum lagi kebutuhan obat-obatan yang sangat minim.
Kebanyakan Warga Gaza menurutnya sudah seperti putus harapan dan menunggu dalam ketidakpastian kapan perang akan berakhir.
"Tidak ada harapan yang muncul akan berakhirnya perang dan agresi ini. Sudah 3 bulan lebih menderita, kehilngan nyawa, rumah dan semua bentuk kehidupan," ucap Muhammad yang sempat menempuh pendidikan kedokteran di Indonesia melalui program beasiswa Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI).
Dokter Muhammad: Banyak Logistik, Bantuan yang Tertahan
Terkait bantuan minim yang diterima oleh warga Gaza, Dokter Muhammad mengatakan bukan karena tidak ada bantuan dari negara-negara lain. Bantuan itu ada, namun akses masuk kendaraan logistik di tiap pintu perbatasan yang diberikan militer Israel sangat ketat. Banyak logistik dan bantuan yang tertahan dan akses terbatas.
"Bantuan yang masuk di gaza utara tidak melebihi 1% kebutuhan warga disana. Baik bantuan medis atau kebutuhan sehari-hari," ucap dia.
Karena minimnya bantuan, harga barang-barang pokok pun melejit berkali lipat. Dokter Muhammad pun mencontohkan beberapa barang kebutuhan pokok yang meroket karena terjadi kelangkaan di masyarakat.
"Misalkan gandum sebagai bahan pokok untuk pembuatan roti. Pada umumnya 1kg berharga sekitar 5000 Rp, namun saat ini berharga 126.000 Rp. Jadi naik harga 25 kali lipat karena memang tidak ada dan bantuan jarang masuk serta tidak mencukupi," kata Muhammad.
Dia pun berharap kondisi sepert ini segera berakhir. Perang hanya akan menyisakan penderitaan bagi masyarakat.
"90% penduduk Gaza utara sudah mengungsi ke selatan, dan yang tinggal di Gaza utara sedang menempati tempat-tempat penampungan setelah mengungsi dari tempat ke tempat. Kehidupan di sini tidak layak untuk dihidupkan oleh manusia," kata dia.
Advertisement