Liputan6.com, Pyongyang - Kim Jong Un memerintahkan "produksi massal" drone serang. Demikian dilaporkan media pemerintah Korea Utara pada hari Jumat (15/11/2024).
Korea Utara pertama kali memperkenalkan drone serangnya pada bulan Agustus, di mana para ahli mengatakan kemampuan tersebut mungkin disebabkan oleh aliansi negara itu yang sedang berkembang dengan Rusia.
Baca Juga
Negara bersenjata nuklir itu telah meratifikasi pakta pertahanan penting dengan Rusia dan dituduh mengerahkan ribuan tentaranya ke Rusia untuk mendukung perangnya di Ukraina. Hal ini kemudian mendorong Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol memperingatkan tentang potensi transfer teknologi militer Rusia yang sensitif ke Korea Utara.
Advertisement
Korean Central News Agency (KCNA) dalam laporannya menyebutkan bahwa pada hari Kamis (14/11), Kim Jong Un mengawasi uji coba drone yang dirancang untuk menyerang target di darat dan laut, yang diproduksi oleh Kompleks Teknologi Udara Tanpa Awak Korea Utara.
"Dia menekankan perlunya membangun sistem produksi massal secepat mungkin dan mulai memproduksi dalam skala penuh," ungkap KCNA, seperti dikutip dari CNA, Sabtu (16/11).
Drone tanpa awak ini dirancang untuk membawa bahan peledak dan sengaja dijatuhkan ke target musuh, sehingga berfungsi seperti rudal berpemandu.
Uji coba hari Kamis, ungkap KCNA, memperlihatkan drone tepat mengenai target setelah terbang di sepanjang jalur yang telah ditentukan.
"Drone serangan bunuh diri yang akan digunakan pada jarak serangan yang berbeda-beda ini bertujuan untuk melaksanakan misi menyerang target musuh di darat dan di laut dengan tepat," sebut KCNA.
Menurut KCNA, Kim Jong Un mengatakan bahwa drone merupakan "komponen kekuatan serangan yang mudah digunakan" karena biaya produksinya yang relatif rendah dan jangkauan aplikasinya yang luas.
Para ahli mengatakan drone – dalam gambar yang dirilis oleh KCNA pada bulan Agustus – tampak mirip dengan drone "HAROP" buatan Israel, "Lancet-3" buatan Rusia, dan "HERO 30" buatan Israel.
Korea Utara diduga memperoleh teknologinya dari Rusia, yang kemungkinan besar memperolehnya dari Iran – di mana Iran sendiri diyakini mengaksesnya melalui peretasan atau pencurian dari Israel.