Kisah Nyata Pengguna Narkoba Jenis LSD

Dari mulai kekartunan di sejumlah dunia ciptaan fantasi hingga terjebak dalam mimpi yang sudah basi, ini kisah nyata seorang mantan pengguna

oleh Adanti Pradita diperbarui 01 Sep 2016, 15:00 WIB
Diterbitkan 01 Sep 2016, 15:00 WIB
LSD
Narkoba jenis LSD biasanya diteteskan ke atas kertas berbentuk persegi.

Liputan6.com, Jakarta- Anda mungkin pernah mendengar narkoba jenis hallucinogenic yang memiliki sebutan magic mushroom. Tetapi, belum banyak yang kenal dengan 'saudara kembarnya' bernama LSD. Efeknya 10 kali lebih menakutkan dibanding mushroom. Tidak percaya? Baca kisah nyata seorang mantan pengguna di bawah ini dan temukan jawaban Anda.

Kehidupan manusia tidak akan pernah luput dari masalah. Masalahku mungkin tidak sebesar masalah yang dihadapi orang lain. Namun, ada momen-momen tertentu dalam hidup di mana diriku merasa seperti orang paling terpuruk di dunia.

Di kala merasa terpuruk, aku menyadari pentingnya memiliki teman yang bisa membuatku tertawa sekaligus lupa akan masalah apapun. Dalam waktu yang cukup singkat, aku pun akhirnya berhasil menemukan 5 teman spesial.

Penampilan mereka tidak perlu elegan, penampakan mereka pun tidak harus rupawan. Kelima teman spesialku mudah untuk dideskripsikan: masing-masing terbuat dari kertas bentuk persegi, berukuran kecil namun bila digabungkan memiliki ukuran hampir mirip dengan ukuran pas foto 3 x 4, kemudian dilengkapi dengan penampakan karakter kartun lucu di bagian atasnya.

LSD, jenis narkoba yang membuat penggunanya halusinasi tingkat tinggi.

Perkenalkan, nama mereka adalah LSD. Aku menyebutnya 'ecit'. Sebetulnya mereka itu berupa cairan unik dengan kandungan bahan yang mampu membuat seseorang halusinasi tingkat tinggi. Namun, untuk menciptakan halusinasi dengan durasi yang lebih lama dan juga untuk mempermudah cara konsumsinya, cairan tersebut kemudian diteteskan ke setiap kertas berbentuk persegi.

Dari mulai 'kekartunan' di sejumlah dunia ciptaan fantasi hingga terjebak dalam mimpi yang sudah basi, ini kisahku bersama 5 teman spesialku.

Seribu satu alasan

Semua berawal pada suatu hari di bulan Mei tahun 2009 silam. Entah bagaimana caranya semua masalah tiba-tiba menumpuk dan saling tumpang tindih di kepalaku pagi hari itu. Bayangan seorang maling sekaligus buronan polisi yang ternyata telah menguntiliku selama dua bulan terakhir dan ironisnya berhasil memasuki apartemenku semalam, kemudian deringan telepon yang begitu nyaring secara silih berganti dari kedua orangtuaku yang tidak pernah tulus memaafkan satu sama lain sejak perceraian mereka beberapa tahun sebelumnya, membuatku gelisah dan kebingungan.

Di sela kegelisahanku munculah kondisi stres. Lalu, aku bertanya-tanya pada diriku, apakah uang yang seharusnya aku gunakan untuk bayar kuliah semester ini sudah sampai ke tangan sahabatku yang pada saat itu sedang dikurung di dalam sel penjara? Pikiranku semakin berantakan. Di satu sisi aku harus fokus mempelajari tiga bab terakhir rangkuman kuliah umum ilmu politik. Di sisi lain aku tidak bisa menghentikan diriku dari upaya memasuki situs jejaring sosial Facebook yang mana berisikan informasi terbaru siap untuk memperkeruh suasana hatiku.

Status hubungan pria yang dua bulan lalu masih merupakan calon tunanganku, tiba-tiba menjadi got-engaged dengan mantannya.

Menanggapi masalah-masalah tersebut, aku tiba-tiba berkeputusan untuk lari. Kenyataan pada saat itu seolah tidak memberiku peluang untuk bernapas dan akhirnya pun aku mengeluarkan lima teman spesial pemberian seseorang di masa lalu dari sebuah boks perhiasan di kamarku.

Narkoba jenis LSD biasanya diteteskan ke atas kertas berbentuk persegi.

Lima kertas persegi tersebut aku letakkan di beberapa bagian tubuhku. Tiga aku masukkan ke dalam mulutku. Sisanya aku letakkan di pelipisku dan menahannya dengan bandana.

Aku duduk di kursi teras depan rumah, berharap teriknya sinar matahari bisa membantuku lebih cepat mengeluarkan keringat. Berkeringat membuat pori-poriku terbuka dan dengan begitu kedua teman spesialku yang berada di pelipis dapat meresap ke dalam kulit dan perlahan-lahan menyatu dengan seluruh tubuh.

20 menit telah berlalu, ketiga temanku sudah mulai larut dalam mulutku. Penglihatanku tiba-tiba menjadi sangat jelas, warna daun,mobil,cat kuku, semuanya sangat pekat seolah aku sedang berada dalam film kartun animasi.

Mulai menyebrang

Mengetahui teman-teman spesialku sudah mulai beraksi, aku pun langsung bergegas mencari taksi untuk mengantarkanku ke dunia fantasiku yang pertama.

Kami berjalan menelurusi taman sambil mendengarkan lagu band Coldplay berjudul Paradise. Taman tersebut dipenuhi anak-anak kecil dengan baju ala tahun 1800-an.

Sungguh aneh, aku ini hidup di era berapa? Apakah ini artinya aku dan teman-temanku datang dari masa depan?

Lupakan itu dulu, kami harus penuhi misi pertama. Sebuah mobil berwarna kuning parkir di sisi jalan. Kami langsung menghampirinya lantaran berpikir bahwa mobil itu adalah taksi.

Namun, ketika aku membuka pintunya, seorang wanita yang sedang duduk di bagian belakang tiba-tiba teriak dan menyuruhku pergi.

Kami bingung, orang-orang era tahun 1800-an di sekeliling kami memberikan tatapan yang membuat kami merasa terpojok.

Narkoba jenis LSD biasanya diteteskan ke atas kertas berbentuk persegi.

Kami pun langsung lari sampai akhirnya menemukan mobil berwarna kuning. Dalam hatiku aku yakin itu adalah taksi, atau kereta kuda yang akan mengantarkan kami ke dunia fantasiku.

Kami merasa sangat lega saat memasuki kendaraan dengan supir yang mau mengantarkanku tempat impianku dan teman-teman spesialku.

"Excuse me sir, would you mind driving me  and my friends to Sea World? We're running late!"

Sang supir terlihat bingung, namun tetap baik hati dan mau mengantarkan kami ke dunia bawah laut.

Perjalanan kami cukup lama yaitu hampir 30 menit. Suara Chris Martin setia menemani kami selama perjalanan. Kami merasa geli, angin sepoi-sepoi menggelitik sekujur tubuh kami.

Bersilaturahmi dengan para penghuni laut

Akhirnya kami sampai di dunia fantasi pertama. Setelah membayar supir taksi yang baik hati, kami langsung menyerbu gerbang masuk istana bawah laut.

Disana kami berenang bertemu dan berinteraksi dengan teman-teman hewan laut kami yang terpenjara dalam sebuah akuarium besar.

Kami menempelkan tubuh kami ke kaca akuarium yang memisahkan kami dari teman-teman hewan laut. Kami bisa melihat puluhan mata manusia mengarah pada kami dan membicarakan keanehan kami.

"Biarin aja, mereka tidak tahu rasanya berada di dimensi lain" Aku berkata kepada teman-temanku.

Setelah menghabiskan sekitar 20 menit bersilaturahmi dengan teman-teman mahluk hidup di laut, kami memasuki satu area baru.

LSD, jenis narkoba yang membuat penggunanya halusinasi tingkat tinggi.

Di dalam area tersebut, ada kolam yang berukuran sangat besar. Kami bisa melihat ikan pari lalu lalang di dalam air. Sekelompok anak kecil di sebelahku memasukkan tangan mereka ke dalam air.

Aku berpikir itu cara mereka menyapa ikan-ikan di kolam tersebut. Kami pun akhirnya tergoda untuk melakukan hal serupa. Kami memasukkan tangan kami ke dalam air, berharap bisa memberikan sapaan berupa sentuhan halus pada tubuh ikan pari.

Airnya sungguh dingin, kami semua merasa geli. Kami berlima tiba-tiba tertawa tiada henti tanpa alasan.

Seorang pria tiba-tiba menggenggam tanganku dan menarik kamu berlima ke luar dunia fantasi bawah lautku.

"Miss, i'm sorry im going to ask you to leave. You're scaring the living hell out of everyone here!"

Hatiku hancur. Salah apa kami? Kami hanya menikmati keindahan dunia bawah laut dan bersilaturahmi dengan teman-teman lainnya.

Tragedi polisi maling dalam labirin raksasa

Diusir penjaga gerbang dunia fantasi bawah laut tidak membuat kami putus asa. Lagipula, gerbang dunia fantasi kedua yaitu labirin berukuran raksasa masih terbuka lebar untuk kami.

Dunia fantasiku yang kedua lokasinya tidak begitu jauh dari yang pertama. oleh karena itu kami memutuskan untuk berjalan kaki.

Setelah 30 menit berjalan sambil menyanyikan lagu berjudul ‘Raise your weapon’ oleh Deadmau5, kami pun akhirnya sampai di tujuan.

Kami berniat untuk membeli es krim terlebih dahulu sebelum memulai petualangan menyesatkan diri dalam labirin raksasa.

“Can i have the blueberry one with sprinkles on its top? oh…can you make it double? thanks!”

Aku berdecak kagum melihat bentuk es krim blueberry yang diselimuti sprinkles itu. Aku sangat tergiur hingga lupa untuk membayar.

Bodohnya, headset tidak sekali pun aku lepas. Ini justru membuatku semakin tak sadar saat sang penjual es krim memanggilku. Aku pun dan teman-temanku terlihat bodoh seperti maling yang tidak tahu malu.

LSD, jenis narkoba yang membuat penggunanya halusinasi tingkat tinggi.

Gagal menyadari kesalahan yang telah diperbuat, kami dengan santainya meneruskan perjalanan menuju labirin raksasa. Beberapa detik kemudian, dua petugas keamanan berlari ke arahku dari sisi kiri pintu masuk labirin.

Pada waktu yang bersamaan, lagu Super Mario Bros tiba-tiba menyala. Anehnya, kami justru berlari dengan sangat kencangnya masuk ke dalam labirin yang mana memiliki banyak jalur membingungkan disertai jebakan-jebakan aneh di setiap belokan.

Kami bisa mendengar kedua polisi semakin dekat dan kami pun jadi terus terpacu untuk lari menjauh tanpa menyadari pada saat itu bahwa kedua orang tersebut sebetulnya hanya ingin menegur soal es krim yang belum di bayar.

Kondisi tersebut mengingatkanku pada permainan semasa kecil, polisi-maling. Awalnya kami masih merasakan keseruan dikejar pihak otoritas dalam labirin raksasa itu. Tanpa disadari kami sudah berlari-lari namun tetap tersesat selama kurang lebih dua jam.

Matahari tanpa pamit main pergi saja, udara tiba-tiba menjadi sangat dingin dan mulai gerimis. Kami tidak lagi mendengar suara manusia, bahkan seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan. Diantara kami berenam, aku yang paling merindukan sosok manusia.

Gerimis berubah menjadi hujan, kami masih kesulitan mencari jalan keluar. Batere handphone-ku habis total, yang aku dan teman-teman bisa dengar hanyalah suara petir.

Kehadiran singkat sang mantan



Kehadiran singkat sang mantan dari alam kubur

Namun tiba-tiba kami mendengar suara pria memanggil namaku. Kami langsung berdiri dari semak-semak tempat kami berteduh untuk mencari sumber suara itu.

Ia terus memanggilku dan suaranya semakin terdengar walau harus bersaing dengan suara hujan sekaligus petir. Kami basah kuyup, menggigil, putus asa.

Tidak lama kemudian, sosok manusia terlihat sedang berdiri sekitar 200 meter dari lokasi kami. Kami pun berlari berusaha menghampirinya. Kami berlari tiada henti, begitu panjang labirin itu seperti tidak ada akhirnya.

Jujur kami bingung karena sosok yang diyakini adalah seorang pria itu tidak berusaha untuk menghampiri kami. Saat kami sudah cukup dekat dengannya, tiba-tiba ia menghilang. Lalu ia muncul kembali di lokasi yang berbeda dan jaraknya tidak begitu jauh.

Saat dihampiri, ia menghilang lagi. Kami semakin bingung, maunya pria itu apa? tiba-tiba suara itu kembali muncul. Namun kali ini ia tidak memanggil namaku. Ia terdengar sedang mengeluh.

“Kamu ya bisanya cuman bikin orang yang sayang sama kamu khawatir!”.

Kami menoleh ke kanan, ke kiri, ke belakang, tidak ada siapa-siapa. Tetapi, mengapa suaranya begitu familiar? Tidak lama kemudian sosok pria berwajah pucat, rambut hitam pekat muncul di depan kami.

Aku berteriak menutup mata lalu menangis dalam posisi bertekuk lutut. Aku bisa merasakan satu per satu temanku mulai meninggalkan tubuhku tanpa pamit ataupun peduli soal nasibku.

Rasa berikutnya adalah tangan di pundak kiriku. Hujan mulai berhenti, aku hendak membuka mata untuk melihat siapa yang tangannya berada di pundakku.

LSD, jenis narkoba yang membuat penggunanya halusinasi tingkat tinggi.

Aku langsung kehabisan kata-kata melihat sosok mantan kekasihku.  Ia tewas beberapa tahun lalu karena suatu alasan yang tak bisa aku ungkap disini. Ia terlihat pucat kebiruan, seperti kondisi terakhirnya di ruang jenazah. Aku pun langsung meneteskan air mata dan tidak bisa berhenti memandangnya.

Lebih sedihnya lagi, ia terlihat mengenakan kaos Radiohead yang aku berikan sebagai hadiah ulang tahun. Aku tidak tahu apakah aku harus senang akhirnya bisa mengutarakan kata perpisahan yang aku kira tidak akan pernah aku dapat sebelumnya atau harus menampar diriku berulang kali agar sadar.

“Aku nggak tahu hidupku bakal aku jalanin sama siapa nantinya, kali ini aku ditinggal nikah sama laki-laki yang sudah bantu aku ikhlasin kepergian kamu dulu. Aku nggak ngerti lagi!”

Ucapku kepadanya, tidak tahu apalagi yang harus diutarakan. Ia tidak mengatakan apapun dan hanya memberikan tatapan kosong. Tersenyum pun tidak sama sekali.

Sorotan cahaya senter dari kejauhan tiba-tiba menyilaukan mataku. Sosok mantan kekasihku perlahan-lahan memudar dan akhirnya menghilang.

Tiga polisi berlari ke arahku sambil menyorotkan senter mereka. Tentunya kali ini aku tidak akan melarikan diri. Figur penjual es krim tiba-tiba muncul dari belakang ketiga polisi tersebut.

Meski ia mencaci maki diriku selama kurang lebih 10 menit, volume suaranya seolah mengecil sendiri dan di kepalaku masih terbayang sosok mantan yang kepergiannya dulu membuat hidupku runtuh. Namun, pada saat itu aku menghadapinya bukan lari seperti yang aku lakukan saat ini.

Kepasrahanku akhirnya membuat ketiga polisi dan juga sang penjual es krim iba dan kasihan. Mereka langsung berbicara denganku dengan intonasi yang halus.  Aku langsung membayar uang es krim yang sebelumnya aku lupa berikan. Ketiga polisi kemudian bergegas membawaku ke kantor polisi untuk ditanya.

Aku memasuki mobil polisi yang pertama bersama dengan dua orang polisi tersebut. Polisi ketiga mengikuti kami dari belakang.

Aku tidak peduli apabila orang-orang di menatapku dengan sinis selagi aku berjalan dan memasuki mobil polisi tadi, diriku masih terlalu sibuk membayangkan apa yang baru saja terjadi dan mataku masih terpaku pada hal-hal yang kaya akan warna. Contohnya, warna merah dan biru pantulan lampu sirene mobil polisi, lalu setiap cahaya yang muncul dari dalam perumahan di sepanjang jalan dan warna kuning mencolok bulan yang tidak pernah lelah untuk menantangku.

Menghadapi teror dalam film horor

Jam di mobil polisi menunjukan 19.45 pm. Tidak lama kemudian kita sampai di sebuah kantor polisi yang lokasinya tidak begitu jauh dari kota.

Sesampainya kami di lokasi, aku langsung digiring masuk ke dalam ruang interogasi.

“Wait here, i’ll grab you something warm to keep that body heated,” salah satu polisi mengatakan padaku.

Aku duduk di kursi yang tersedia, sendirian dan semakin kebingungan. Ruangannya hanya sepetak, namun ada kaca besar di mana aku bisa menatap diriku dengan sangat jelas.

Aku tahu di balik kaca itu pasti ada sejumlah orang yang sedang memperhatikanku. Aku bangkit dari kursiku dan mendekati kaca tersebut.

“Im not a thief, not a terrorist, not a threat, not an alien… I’m just lost, but i come here in peace,” kataku kepada kaca.

Tiba-tiba semua benda mati di dalam ruangan itu bergerak. Aku seperti berada di atas kapal yang sedang mengarungi lautan ombak ganas.

Lalu, aku bertanya kembali pada kaca yang dari tadi selalu diam membisu.

“Mirror, mirror on the wall… Am i going to survive through this all?”

Kaca itu perlahan berubah menjadi tirai merah. Aku kembali ke kursi untuk menonton apa yang kaca tersebut telah persiapkan untukku.

Film pun dimulai. Ratusan tentara Mujahidin tengah berperang melawan pasukan Uni Soviet di Afganistan. Darah berceceran di mana-mana.

Aku bisa melihat beberapa sosok yang nantinya akan menjadi bagian dari kelompok teror Jamaah Islamiyyah. Gambar semakin jelas, aku seperti berada di dalam film dan memainkan peran utama.

Aku melompat dari satu lokasi ledakan ke lokasi berikutnya. Sari Club di Bali, Jimbaran, di dalam bus double-decker di tengah kota London, di depan Kedutaan Besar Filipina, di salah satu universitas di Pakistan, di lantai 94 tower 2 World Trade Center, New York, di salah satu ruang alutsita kompleks Pentagon, di cafe Dhaka di Bangladesh, dan masih banyak lagi.

Kemudian aku berada di dalam sebuah gedung tua yang hampir rubuh. Aku melihat sosok seorang pria sedang duduk bersila sembari memejamkan matanya. Aku yakin pernah melihatnya.

Aku pun menghampiri dan duduk berhadap-hadapan dengannya.

“Abu Bakar Al-Baghdadi, to what do i owe this pleasure?”

Ia lalu membuka matanya dan berkata: “You will survive only when you stop seeing things that you are not suppose to see.”

Aku bisa merasakan bulu kuduk di sekujur tubuhku naik dan tiba-tiba aku berlumuran darah. Aku bisa merasakan darah dalam mulutku. Perlahan-lahan semua bagian tubuhku terasa sakit. Aku juga bisa merasakan semua rasa sakit tembakan AK 47.

LSD, jenis narkoba yang membuat penggunanya halusinasi tingkat tinggi.

Aku kesulitan mengatur nafasku di dalam kegelapan. Aku hanya bisa mendengar teriakan wanita dan anak kecil yang diiringi dengan suara RPG dan nuklir.

Aku kembali menutup mataku, berharap aku bisa keluar dari semua kekacauan ini.

Tiba-tiba aku mendengar suara pintu, aku langsung membuka mataku. Ruangan yang tadinya merupakan medan peperangan kembali seperti semula.

Seorang polisi hendak masuk ke dalam ruangan. Mengingat horor yang harus aku lewati tadi, aku langsung lari ke arah pak polisi dan memeluknya dengan sangat erat.

Ia melihatku kebingungan dan menyuruhku duduk kembali. Aku tidak peduli apabila ia melihatku seperti orang aneh, yang terpenting adalah, ia membantuku keluar dari kegelapan dan teror yang berlangsung selama 45 menit, namun terasa seperti puluhan dekade.

“Ma’am, are you currently on any substances? or do you have any history of mental illnesses that we need to know about?”

Ia bertanya padaku sambil membuka dokumen berisikan informasi tentang diriku. Aku tidak tahu bagaimana ia bisa mendapatkan itu semua dalam waktu singkat.

“Apakah selama ini mereka memantau setiap pergerakanku?” tanyaku dalam hati.

Aku memutuskan untuk jujur. Aku bilang padanya bahwa aku tidak sendirian dan teman-temanku masih ada dalam diriku, meski beberapa dari mereka sudah minggat.

Aku kira diriku ini akan berakhir dalam sel seperti sahabatku. Namun anehnya pihak kepolisian justru membebaskanku dan menawarkanku tumpangan pulang.

Mereka tapi memintaku untuk mendaftar counselling yang diadakan sekali setiap minggunya. Sesi counselling menurut mereka akan membantuku membangun jembatan kembali ke realita. Mereka juga memastikan aku akan mendapatkan penanganan yang baik dan akan diperlakukan secara profesional.

Aku menyetujuinya.

Lumer di tengah konser orang teler

Aku tidak mau merepotkan mereka, jadi aku meminta untuk diturunkan di stasiun kereta terdekat saja. Meski ada sedikit perasaan lega terbebas dari jeratan hukum, aku tahu perjalananku belum berakhir.

Bagaimana bisa, setiap teman spesial yang aku konsumsi bertahan selama kurang lebih 8 jam. Ini berarti aku harus menghadapi 40 jam meleleh di dimensi lain dan aku belum sampai setengahnya.

Aku menghampiri loket stasiun kereta untuk membeli tiket. Apartemenku 6 perhentian dari sini. Aku duduk menunggu kereta sambil menikmati angin malam.

Orang-orang di sekitarku larut dalam kesibukan mereka masing-masing. Aku pun sibuk dengan pikiranku sendiri yang sudah cukup kompleks untuk dijelaskan.

Kereta akhirnya datang, semua orang langsung menyerbu masuk agar dapat tempat duduk. Aku duduk di barisan kedua dekat pintu.

Seorang wanita berwajah penuh anting duduk di sebelahku. Ia memegang secarik kertas berupa tiket konser. Aku melirik berusaha membaca huruf-huruf yang tertera di tiket itu. Aku ingin tahu ajang konser apa yang wanita akan datangi. Aku tidak bisa melihat nama acaranya lantaran sebagian huruf tertutup jemarinya.

“Do you rave?”, tanyanya saat memergokiku.

“Not religiously”, jawabku.

dari situ kita mulai mengobrol. Wanita itu menceritakan bahwa ia dan teman-teman kampusnya mau mendatangi sebuah ajang musik aliran elektro disko yang dimainkan oleh sejumlah DJ internasional.

Ia kemudian mengajakku dan tanpa pikir panjang aku langsung menjawab ‘tidak’ dengan alasan lelah karena sudah berada di luar rumah seharian.

Pintu kereta terbuka di perhentian ketiga. Wanita itu bangkit dari kursinya, tersenyum kepadaku dan bergegas keluar dari gerbong kereta.

Aku tidak tahu apa yang ada di pikiranku, tetapi tiba-tiba aku berdiri dan langsung mengejarnya. Aku bilang kepadanya, “Ive changed my mind!”.

Ia menemaniku membeli tiket lalu memperkenalkanku ke teman-temannya berjumlah 10 orang. Mereka sangat ramah, aku merasa aman.

Kami memasuki arena konser, suara bass dari speaker bergetar liar tak terkendali. Aku menari di antara lautan manusia sambil memandang ke atas. Langit begitu indah dihiasi bintang dan pancaran sinar LED dari panggung.

LSD, jenis narkoba yang membuat penggunanya halusinasi tingkat tinggi.

Salah satu teman dari wanita itu menawarkanku orange juice. Aku langsung meminumnya sampai habis. Jangan salahkan aku, rasa haus sudah menyiksaku selama berjam-jam, bahkan saat di kantor polisi pun aku tidak jadi diberikan minum, entah kenapa.

Wanita itu dan teman-temannya langsung tertawa terbahak-bahak. Aku penasaran akan apa yang lucu sampai harus tertawa.

Ternyata orange juice itu telah ditetesi LSD. Temannya memberitahuku bahwa minuman ini bisa mempercepat kerja LSD dalam tubuh dan efeknya pun bisa berkali lipat.

Aku merasa sesak nafas, mimpi buruk ini lebih panjang dari yang aku kira. Aku meminta izin untuk ke toilet. Pencarian toilet berlangsung cukup lama, aku kesulitan menemukan tempatnya.

Akhirnya aku menemukan bilik berwarna biru dengan 10 wanita sedang mengantri di depannya. Giliranku masuk, aku menangis di dalam toilet.

Aku keluar dengan harapan diri ini mampu menemukan jalan kembali ke lokasi di mana kawanan teman baruku berkumpul. Penglihatanku tiba-tiba buyar. Aku berjalan melawan arus, satu orang terbagi menjadi lima. Aku tidak bisa membedakan yang asli dan bayangan.

Aku berusaha keras agar tidak menabrak orang yang sebetulnya dan berharap aku melaju menuju bayangan. Sayangnya bayanganku terlalu buyar, sangat parah hingga aku selalu salah dan menabrak orang.

Aku pun kesulitan menemukan teman-teman baruku. Tiba-tiba semua orang transformasi menjadi tentara dengan simbol bendera Korea Utara, merah, biru dan putih di bagian lengan.

Suara lagu pun berubah menjadi dentuman langkah kaki yang sangat teratur, seirama antar satu sama lainnya. Aku semakin ketakutan dan akhirnya aku berteriak sekencang mungkin.

Seorang pria bertubuh besar tiba-tiba menabrakku dengan sangat kencangnya. Aku terjatuh dan tak sadarkan diri.

Jatuh tempo

Aku terbangun di dalam mobil ambulans sedang memakai alat bantuan pernapasan. Dua pria memakai baju berwarna putih memandangku sambil mengecek nadiku.

Aku bisa melihat beberapa selang ditempelkan di beberapa bagian tubuhku dan terhubung dengan sebuah mesin dalam mobil itu.

Suara sirene mobil ambulans sangat nyaring mengingatkanku saat berada dalam mobil polisi. Aku merasa sangat letih, namun sangat terjaga.

Anehnya, tiba-tiba mengantuk lagi. Apakah aku diberi morfin? Amankah untuk dua jenis obat yang berbeda dicampur aduk?

Aku menghilang.

Kali ini aku terbangun di salah satu kamar di rumah sakit, masih sendirian. Seorang suster tidak lama kemudian masuk dan menyapaku.

“Hey, feeling better? you were out for almost three days,” katanya.

Sungguh mengerikan perjalananku ini. Jadi aku sudah tidak sadarkan diri selama kurang lebih tiga hari dan tidak ada satu pun keluarga atau teman yang tahu kondisiku. Tiba-tiba semua masalah yang aku kubur sebelum menjalani petualangan sesat kembali lagi.

Kali ini rasanya lebih menyakitkan lantaran aku memikirkannya saat kondisi rapuh, tidak berdaya, emosional dan sendirian.

Kita salah kalau berpikir bahwa narkoba dan sejenisnya bisa membantu kita selesaikan masalah. Iya, memang dengannya kita dibuat menjadi percaya diri dan diberikan kesempatan untuk merasakan dunia lain tanpa harus ke luar angkasa untuk mendapatkannya.

Namun, pelarian itu hanya bersifat sementara. Aku awalnya mengira LSD akan memberikan aku kesempatan untuk masuk ke dunia fantasi di mana aku bisa menemukan kebahagiaan. Aku mengira petualanganku akan penuh dengan canda tawa.

Apa yang aku dapat



Apa yang aku dapat darinya?

Rasa ketakutan yang berkepanjangan, kenangan buruk yang akan selalu menghantuiku setiap malam, rasa pening di kepala yang berlangsung selama berbulan-bulan, tubuh, pikiran dan hati yang selalu lemah, kesulitan membedakan realita dari khayalan.

Semua hal yang aku temui atau aku rasakan saat menjalani petualangan kekartunan merupakan produk dari pikiran negatifku yang terangsang oleh LSD.

Aku mengira LSD bisa membantuku melupakan sosok pria yang mengikutiku diam-diam. Namun sebaliknya, aku malah semakin teringat dan kini tidak hanya pria itu namun juga sosok Abu Bakar Al-Baghdadi, para teroris dan tentara Korea Utara. Semuanya seakan sedang bersekongkol untuk membuat hidupnya menjadi tidak tenang.

Aku mengira LSD bisa membantuku melupakan perceraian orang tuaku, Namun sebaliknya, aku semakin teringat dan tidak percaya lagi akan yang namanya cinta atau pernikahan. Bertahun-tahun aku berpikir begitu, merasa apapun yang terjadi pada diriku, ujungnya akan sendirian juga.

Aku mengira LSD bisa membantuku melupakan mantan kekasihku yang meninggalkanku untuk wanita lain. Namun sebaliknya, selain semakin teringat, aku justru dibuat semakin terpuruk dengan penampakan dari mantan kekasihku yang sudah meninggal.

Aku mengira LSD bisa membantuku lebih tenang dan tidak gelisah menunggu kabar dari sahabatku yang sedang dibui. Namun sebaliknya, aku justru harus turut merasakan ditahan dan diinterogasi oleh pihak kepolisian.

Aku mengira LSD bisa membuatku lebih diterima, namun tidak, aku justru diusir dari taman rekreasi hewan laut. Aku juga mengira LSD bisa menghidupkan fantasiku, tetapi yang ditunjukkan justru medan peperangan, jalur menyesatkan, kematian, darah, isak tangis, keramaian dan kekacau-balauan.

LSD, jenis narkoba yang membuat penggunanya halusinasi tingkat tinggi.

Aku mengira LSD bisa membuatku lebih kuat secara fisik dan mental. Namun, buktinya aku justru terbangun di dalam mobil ambulans dan di rumah sakit bukan?

Aku tidak tahu mengapa banyak orang menyukainya. Sudah banyak tragedi mematikan, bahkan di Tanah Air karena barang ini. Seburuk itukah realita sehingga kita harus lari darinya?

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya