Liputan6.com, London, Inggris Banyak hal positif yang bisa kita tiru dari sosok Google Doodle hari ini. Dia adalah George Peabody. Orang-orang menjuluki pria yang suka beramal ini dengan Bapak Filantropi Modern.
George memang pantas menjadi doodle di halaman utama Google. Karena sepak terjang George Peabody, yang berasal dari keluarga miskin menjadi pebisnis ternama, patut dikagumi.
Tidak hanya itu, sosok Google Doodle ini adalah orang Amerika pertama yang dikenal menyumbangkan untuk berbagai kegiatan.
Advertisement
Baca Juga
George Peabody memberikan sumbangan amal sekitar 8 juta dolar (sekarang kira-kira Rp110 triliun) dari jumlah kekayaan semasa hidup yang mencapai 16 juta dolar (Rp220 triliun).
Kemurahan hati sang Google Doodle pada Jumat, 16 Maret 2018, dipuji dan menjadi teladan banyak orang pada zamannya. Kesuksesan Peaboy berkat dirinya yang rutin bekerja selama 10 jam sehari. Dia pun tidak mengenal 'kata libur'.
Sepak Terjang Sosok Google Doodle Hari Ini
Sebelum didapuk sebagai bapak filantropi, George Peabody bekerja menjadi bankir. Ia mendirikan salah satu bank Amerika pada abad ke-19. Berkantor pusat di London, Inggris, ia membantu menyalurkan modal pedagang Eropa dan Inggris ke berbagai usaha di Amerika Serikat.
Peabody lahir pada tahun 1795. Ia anak ketiga dari delapan bersaudara, yang berasal dari keluarga miskin di Danvers, Massachusetts, Amerika Serikat. Keluarganya hanya mampu menyekolahkan Peabody selama empat tahun di pendidikan formal.
Pada usia 11 tahun, ia dikirim menjadi pekerja magang di sebuah toko. Pada tahun 1811, ayah Peabody meninggal. Sang ayah rupanya punya banyak utang. Demi membayar utang ayahnya, barang-barang berharga terpaksa dijual. Namun, barang-barang berharga yang dijual belum mampu melunasi utang ayah.
Tak ayal, George dan saudara-saudaranya harus bertahan hidup dalam kemiskinan. Segala pakaian dan makan sehari-hari harus diperolehnya dengan perjuangan.
"Saya tidak pernah lupa itu. Tidak akan pernah bisa melupakan kemiskinan yang dialami selama bertahun-tahun lamanya," kata Peabody, dikutip dari Philantropy Roundtable, Jumat (16/3/2018).
Â
Â
Simak video menarik berikut ini:
Advertisement
Bisnis berkembang pesat
Pada 1812, Peabody pindah ke Washington D.C. Ia membuka toko barang grosir di Georgetown. Saat membuka toko, Peaboy, yang kala itu berusia 19 tahun bertemu dengan pedagang tua bernama Elisha Riggs Sr. Riggs menawarkan Peabody untuk menjadi rekan bisnisnya, yang bertugas mengimpor barang.
Hanya dalam tiga tahun, bisnis Peabody berkembang. Penghasilan Peabody bernilai Rp 550 juta. Ia akhirnya berhasil melunasi utang ayahnya. Kehidupan keluarganya berubah lebih nyaman dan segala kebutuhan tercukupi.
Pada 1816, Peabody meninggalkan Washington DC dan pindah ke Baltimore. Ia menghabiskan waktu di Baltimore selama dua puluh tahun. Peabody makin makmur sebagai pedagang barang grosir, Pada 1827, ia melakukan perjalanan bisnis ke London untuk menegosiasikan penjualan kapas Amerika di Lancashire.
Pada 1835, Peabody mendirikan George Peabody & Co., sebuah bank yang menawarkan perusahaan rel kereta api, kanal, dan investor Inggris dan Eropa. Peabody pindah ke London pada 1837. Ia tetap tinggal di Inggris selama sisa hidupnya.
Mendanai pembangunan perpustakaan
Pada awal 1850-an, Peabody mulai beralih ke filantropi--kegiatan menyumbangkan amal. Saat perayaan seratus tahun di kota asalnya, Danvers, ia mengumumkan rencana membangun Peabody Institute Library.
Perpustakaan itu adalah perpustakaan pertama yang dibangun di kotanya. Pada 1857, ia mendirikan Peabody Institute of Baltimore, yang mencakup konservatori musik, galeri seni, ruang kuliah, dan perpustakaan referensi.
Ia juga membangun Peabody Institute Library lainnya di Massachusetts, Vermont, dan Washington, D.C. Peabody ikut mendanai pembangunan museum arkeologi dan etnologi di Harvard dan sebuah museum sejarah alam di Yale.
Advertisement