Menanggapi Kasus Bunuh Diri Anak di Ciracas, Ini 7 Hasil Pengawasan KPAI

Anak di usia sekolah lintas jenjang telah melakukan beberapa kasus bunuh diri, salah satunya pada peserta didik di salah satu SMP di Ciracas, Jakarta Timur.

oleh Liputan6.com diperbarui 01 Feb 2020, 15:00 WIB
Diterbitkan 01 Feb 2020, 15:00 WIB
Press conference KPAI
Press conference KPAI

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto mengatakan banyak data yang menjelaskan bahwa anak di usia sekolah lintas jenjang telah melakukan beberapa kasus bunuh diri, salah satunya pada peserta didik di salah satu SMP di Ciracas, Jakarta Timur.

"Tingkat SD juga ada, tingkat SMP, dan ada juga siswa Madrasah, serta tingkat SMA," katanya, menyebutkan jenjang pendidikan siswa bunuh diri.

Menurut catatan Susanto, kasus bunuh diri yang terjadi pada berbagai daerah di Indonesia. "Bunuh diri pada anak pernah terjadi di Bandar Lampung, Riau, Bangli, Solok (Sumatera Barat), Surabaya, Perworejo, Lombok tengah ini siswa madrasah, kemudian di SD Temanggung, NTT, Blita, dan terakhir di Jakarta," sebut Susanto di daerah Menteng pada Kamis (30/01/2020).

Bukan hanya memastikan kerentanan perlindungan anak dari kerentanan bunuh diri, tapi juga perlu mengetahui faktor lain yang menyebabkan anak melakukan itu.

"Ada faktor bully, ada faktor keluarga, ada faktor hamil yang tidak diinginkan, dan faktor stres tidak dapat sekolah yang di inginkan memang cukup banyak sehingga ini tentu menjadi perhatian kita semua," himbau pria lulusan Universitas Negeri Jakarta Ini.

Dalam menanggapi kasus bunuh diri terbaru di Jakarta tersebut, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia bidang Pendidikan Retno Listyarti, melakukan pengawasan langsung dan rapat koordinasi.

Terkait dengan motif pelaku bunuh diri SN, KPAI menyerahkan kepada pihak kepolisian untuk menelusurinya secara pasti. Mereka melakukan pengawasan bersama dengan Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Sudin Pendidikan Jakarta Timur wilayah 2, Kasatlak Pendidikan kecamatan Ciracas, dan pengawas sekolah sekaligus jajarannya, termasuk wali kelas SN.

"Nah pada Senin itu (20 Januari) kami datang, dan rapat kordinasi berlangsung sekama 3 jam, kemudian dilanjutkan juga kami berkeliiling dan mencoba melihat kondisi ananda melompat dari lantai 4," kata Retno.

Hasilnya, terdapat 7 hasil dari pengawasan langsung dan rapat kordinasi.

 

1. Dugaan SN bunuh diri dikuatkan dengan kesaksian seorang guru yang saat itu masih berada di sekolah

Bunuh Diri
Ilustrasi Bunuh Diri (iStockphoto)

Ibu guru tersebut lari setelah SN jatuh untuk memastikan bahwa SN mengalami kecelakaan, didorong, atau melompat. Hasilnya, diduga kuat SN melakukan percobaan bunuh diri.

KPAI juga sempat meninjau lokasi SN melompat, dan melihat kondisi genting kanopi pecah, yang diduga karena diinjak SN saat lompat dari tembok ke kanopi. 

"Dari tembok tinggi lantai 4 itu ke arah genting, dan genting kanopi itu cukup tinggi untuk seorang anak yang tingginya masih seperti ananda," kata Retno.

2. Motif alasan SN melakukan percobaan bunuh diri diserahkan kepada kepolisian

KPAI menyerahkan dan menghormati proses penyidikan kepada pihak kepolisian. Saat KPAI datang ke sekolah, pihak kepolisian sedang memeriksa sejumlah anak yang diduga melakukan percakapan melalui whatsapp dengan SN sebelum dia melompat.

3. KPAI mengapresiasi kepolisian yang bertindak cepat meskipun sekolah tidak melakukan pelaporan

Pihak sekolah menyatakan hanya melaporkan kejadian SN melompat ke pihak Sudin Pendidikan Jakarta Timur secara berjenjang namun tidak melaporkan ke kepolisian karena saat itu SN belum meninggal dan sempat dibawa ke RS.

"Kami bertanya mengapa tidak dilaporkan, dan jawabannya karena pihak sekolah hanya melaporkan kepada pengawas, Kasudin, dan tidak melapor kepada kepolisian karena menganggap hal ini seperti urusan "satu kedinasan" dan tidak tahu bahwa harus melapor ke kepolisian," jelas Retno.

Terkait hal ini, KPAI mendorong Dinas Pendidikan memiliki SOP pelaporan ketika ada peserta didik yang terjatuh dari gedung sekolah, agar polisi yang memastikan apa yang terjadi.

KPAI juga mengapresiasi cara kerja polisi dalam memeriksa saksi yang masih berusia anak sesuai dengan UU Perlindungan ANak dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), yang sangat mempertimbangkan kondisi psikologisnya. Pihak kepolisian juga lebih memilih melakukan BAP di sekolah untuk melindunginya dari perasaan tertekan.

 

4. SN tinggal dengan pengasuh pengganti dan mengalami guncangan emosi saat sang ibunda meninggal

menahan emosi
ilustrasi menahan emosi /Photo by Raka Miftah from Pexels

Dari informasi yang KPAI dapat, hubungan juga sempat diduga karena permasalahan keluarga. Ketika itu SN masih kelas 2 SMP, dan setelah ibunya meninggal, pihak sekolah mengetahui bahwa SN diasuh oleh sang nenek dari pihak ibu. Namun, pa saar pengambilan rapor hasil belajar, bukan nenek yang mengambil, melainkan kakak dari ibunya.

Informasi kedua mengatakan bahwa SN sudah bercerai, dan hal itu juga diduga menimbulkan goncangan emosi terhadap SN, yang tidak diketahui dari pihak sekolah.

Pihak wali kelas mengaku bahwa SN adalah orang yang ceria dan tidak murung sehingga tidak menangkap gangguan psikologis saat SN kehilangan orang yang begitu berarti di hidupnya.

5. SN justru memiliki sejumlah kawan dekat yang menjadi tempat curhat

Berkaitan dengan merebaknya isu bullying, KPAI belum dapat menyimpulkan karena ternyata SN memiliki sejumlah teman dekat yang menjadi tempat curhat baginya saat gundah.

"Jumlah temannya ini bukan 1 atau 2, tetapi dalam jumlah yang cukup banyak, dan terdiri dari anak laki-laki maupun perempuan. Jadi SN ini sangat bergaul dan sebenarnya diterima oleh banyak teman-temannya," jelas Retno.

Hal tersebut terlihat dari pesan SN dengan sejumlah kawan dekatnya. Meskipun SN mengungkapkan keinginannya untuk bunuh diri, teman-teman dekatnya menganggap hal tersebut hanya bercanda, dan tidak tahu caranya membantu mencarikan solusi dari permasalahan SN, mengingat sekolah belum memiliki sistem pengaduan bagi anak-anak yang mempunyai masalah.

6. SN takut pulang karena tasnya diambil guru pengajar

Sehubungan dengan kasus tas yang diambil oleh guru yang mengajar di jam terakhir kelas SN, KPAI mendapatkan penjelasan bahwa saat 2 jam pelajaran berakhir, SN tidak mengikuti pelajaran, namun ke kelas lain yang kebetulan saat itu tidak ada gurunya.

"Dia enggak keluar sekolah, dia cuman pindah kelas. Misalnya dari kelas a, dia pindah ke kelas c karena kelas c itu lagi tidak ada guru. Jadi hanya dikasih tugas, lalu disitu ada teman dekatnya SN sehingga dia bisa main dan ngobrol," jelasnya.

 

Saat pulang sekolah, guru di kelas SN membawa tas SN ke ruang guru untuk diserahkan kepada wali kelas karena khawatir jika ditinggal di kelas, nantinya hilang, dan saat menjumpai wali kelasnya, SN diminta untuk menggambil tasnya besok dengan orangtua.

Tujuannya untuk pembinaan dan pengasuhan antara pihak sekolah dan orangtua terhadap kedisiplinan SN. Namun, SN ternyata takut pulang tanpa tasnya.

"Jika ditanya itu menjadi salah satu pemicu, tentu tidak. Namun ketika ditanya oleh KPAI, memang semua menyatakan tujuan sebenarnya untuk mendisiplinkan. Kami (guru) hanya membina, dan ini merupakan kejadian pertama juga SN melakukan itu, jadi dia belum pernah melakukan bolos ke kelas lain," ujar Retno.

7. KPAI merujuk puluhan anak yang menyaksikan SN meninggal untuk di asessmen

KPAI sempat menanyakan anak-anak yang menyaksikan tubuh SN tergeletak di lapangan sekolah yang ternyata puluhan anak karena ada 2 eksul yang sedang berlatih saat itu, yaitu bela diri dan paskibra.

KPAI merujuk puluhan anak tersebut untuk di asessmen secara psikologis oleh psikolog Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) untuk mengetahui dampaknya agar bisa diminimalisir.

 

Penulis: Lorenza Ferary

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya