Liputan6.com, Jakarta Proses hukum untuk AD (17) dan MF (14) masih berlangsung. Pihak kepolisian telah menetapkan keduanya sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan MFS, bocah 11 tahun di Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Seperti diketahui, AD dan MF membunuh MFS karena hendak menjual organnya melalui sebuah situs.
Baca Juga
Berdasarkan keterangan, AD dan MF akan disangkakan lewat Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana dan Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002. Namun, karena usia keduanya masih di bawah umur, maka ancaman hukumannya akan dikurangi setengah.
Advertisement
"Seandainya mereka itu dewasa, pastinya hukuman mati atau seumur hidup. Jadi, biarlah hakim yang menentukan nantinya," ujar Kapolrestabes Makassar, Kombes Pol Budi Haryanto mengutip Regional Liputan6.com.
Berkaitan dengan hal ini, sebenarnya ada hukuman lain yang dianggap cocok untuk AD dan MF jika hendak menyikapinya dari sisi psikologis.
Psikolog anak, remaja, dan keluarga Universitas Kristen Maranatha Bandung, Efnie Indriani mengungkapkan bahwa sebenarnya hukuman yang cocok untuk keduanya tidak bisa hanya sebatas reward dan punishment.
Hal tersebut lantaran pada kategori usia tersebut, anak-anak maupun remaja sebenarnya masih dalam proses pembentukan.
"Dalam proses pembentukan ini tidak bisa hanya sebatas pada reward dan punishment semata. Hukuman untuk efek jera merupakan salah satu bentuk punishment. Hal yang perlu disertakan selain hukuman adalah program-program yang berkaitan dengan character building atau terapi," kata Efnie pada Health Liputan6.com ditulis Sabtu, (14/1/2023).
Kenapa Sampai Perlu Terapi?
Lebih lanjut Efnie mengungkapkan bahwa character building atau terapi menjadi hal yang sangat penting. Hal tersebut dikarenakan bila tidak dilakukan, dikhawatirkan agresi pelaku yang bersangkutan justru bisa meningkat usai menyelesaikan hukuman penjara.
"Dikhawatirkan apabila yang bersangkutan sudah menyelesaikan masa hukumannya maka bukan efek jera yang terjadi, namun agresinya menjadi semakin meningkat," ujar Efnie.
Efnie menjelaskan, agresi pada pelaku bisa mengalami peningkatan jika tidak benar-benar mengikuti terapi secara tuntas. Bahkan, pelaku bisa berpikir bahwa agresi yang dilakukan olehnya adalah bentuk balas dendam.
"Agresi tersebut bisa dilampiaskan seperti bentuk balas dendam atas hukuman yang telah ia dapatkan. Bisa dilampiaskan kepada pihak lain. Jadi hukuman yang dijalani bukan dijadikan pembelajaran namun sebagai alasan untuk balas dendam dan agresi," kata Efnie.
Advertisement
Kemungkinan Penyebab yang Memicu
Dalam kesempatan yang sama, Efnie turut mengungkapkan bahwa ada dua kemungkinan penyebab dibaliknya yang memicu tindakan AD dan MF. Keduanya adalah hasil dari pengamatan dan desakan hidup.
"Remaja bisa melakukan sesuatu yang sifatnya ekstrem biasanya merupakan hasil kombinasi antara hal-hal yang dia amati kemudian menjadi inspirasi, dan faktor situasi desakan hidup," ujar Efnie.
Terlebih di era digital saat ini, sumber pengamatan bisa dilakukan dari mana saja dan diakses kapan saja. Cara tersebutlah yang bisa menjadi sumber inspirasi yang sangat kuat untuk pelaku.
"Sumber pengamatan bisa dari mana saja dan memang bisa diakses kapan saja. Hal ini tentunya menjadi sumber inspirasi yang sangat kuat," kata Efnie.
"Jika sudah menjadikan sesuatu sebagai inspirasi, maka remaja akan melakukan hal tersebut secara langsung tanpa disertai pertimbangan yang matang," tambahnya.
Dimulai dari Inspirasi, Berubah Jadi Obsesi
Efnie menjelaskan, hal-hal yang sudah menjadi inspirasi tersebutlah yang bisa berkembang menjadi obsesi dalam pikiran. Sehingga dari sana muncul tindakan yang tidak dipikirkan secara matang.
"Ditambah lagi ada desakan kebutuhan hidup, maka akan semakin memperkuat obsesi pikiran untuk diwujudkan dalam perilaku nyata," ujarnya.
Advertisement