Liputan6.com, Jakarta - Seorang siswi TK di Mojokerto, Jawa Timur, diperkosa tiga anak SD berumur delapan tahun. Para pelaku tidak lain adalah teman sekaligus tetangga korban.
Kejadian ini terungkap setelah siswi TK Mojokerto mengeluh sakit ketika buang air kecil. Tindak asusila dilakukan berkali-kali, membuat korban trauma hingga tak ingin sekolah.
Baca Juga
Terkait kasus siswi TK diperkosa tiga anak SD, kriminolog Haniva Hasna angkat bicara dan menjelaskan mengenai sejumlah faktor yang membuat anak di bawah umur berani melakukan kekerasan seksual.
Advertisement
Menurut wanita yang juga seorang pemerhati anak dan keluarga, dari kasus yang pernah terjadi, penyebabnya adalah pornografi yang sudah dilihat anak-anak usia dini.
"Anak-anak kita tidak lagi tabu melihat konten asusila, mereka justru sudah naik level menjadi pelaku. Ditambah lagi dengan usia yang masih belia, mereka belum terampil melakukan pengendalian diri dan cenderung impulsif," kata kriminolog yang akrab disapa Iva kepada Health Liputan6.com, Minggu (22/1).
Dengan demikian, jika ada ide di kepala, anak-anak akan melakukan ide tersebut tanpa pikir panjang.
Hal ini juga disebabkan belum tersampaikannya edukasi seksual, bahaya, serta konsekuensi yang akan dihadapi.
"Mereka masih kecil tetapi sudah didahului oleh pengetahuan serta adiksi pornografi yang butuh penyaluran," ujarnya.
Faktor selanjutnya biasanya mereka pernah menjadi korban kekerasan seksual, sehingga mereka mengetahui proses atau sudah menikmati.
"Bisa juga karena ada dendam sehingga merasa harus dilampiaskan pada anak lain," Iva menambahkan.
Faktor Paling Dominan
Faktor paling dominan adalah kurangnya kedekatan dengan keluarga. Orangtua tidak berhasil menyampaikan nilai dan norma sehingga anak-anak tidak paham bahwa perilaku mereka adalah sebuah penyimpangan.
"Komunikasi yang tidak baik juga menjadi pemicu perilaku menyimpang karena tidak ada kedekatan dan keterbukaan antara anak dan orangtua," ujarnya.
Padahal, keluarga adalah rem bagi anak dalam melakukan perilaku menyimpang.
Ketika attachment atau keterikatan antara anak dan orangtua tidak ada, lanjut Iva, maka tidak ada lagi alasan yang membuat anak merasa tidak pantas melakukan penyimpangan.
Advertisement
Akibat Tak Disertai Edukasi Seks
Lantas, apakah tindakan seksual yang dilakukan anak usia 8 itu didasari nafsu layaknya orang dewasa?
Terkait pertanyaan ini, Iva mengatakan bahwa dalam fase enam hingga 11 tahun, anak sudah memahami kenikmatan ketika organ intimnya mendapat rangsangan.
Bila tidak disertai dengan edukasi seksualitas yang baik, anak akan salah persepsi.
"Masalahnya saat ini adalah, orangtua merasa bahwa usia SD belum waktunya mendapatkan edukasi seksual. Tetapi karena anak-anak sudah memegang gadget, mereka sudah mendapatkan informasi tentang seksualitas dari internet dan berbagi informasi berbau seks antar teman," ujarnya.
"Coba bayangkan, berapa lama anak menggunakan gawainya, apa saja yang sudah mereka dapatkan, siapa saja temannya, apa saja yang ditonton temannya sehingga ditularkan kepada teman yang lain,"Â Iva melanjutkan.
Â
Informasi tentang Pornografi Mudah Diakses
Iva mengingatkan bahwa informasi tentang pornografi saat ini sangat mudah tersebar serta sangat mudah untuk diakses.
Berbeda dengan zaman dahulu yang harus membeli buku atau majalah tertentu untuk menikmati bacaan atau gambar dewasa.
Dulu, perlu ada upaya, ada keberanian, ada niat bahkan ada biaya yang harus dikeluarkan, kesulitan melakukan penyimpanan, serta ada resiko rasa malu ketika ketahuan.
"Kalau sekarang, semua menjadi mudah. Anak-anak tinggal klik, semua terbuka," katanya.
Â
Â
Â
Advertisement