Tuberkulosis Menjerat Masyarakat Baduy, Alat Deteksi Tes Cepat Molekuler Terbatas

Penyakit tuberkulosis (TB) dialami masyarakat Baduy, namun dengan kendala keterbatasan alat deteksi Tes Cepat Molekuler (TCM).

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 27 Jun 2023, 10:00 WIB
Diterbitkan 27 Jun 2023, 10:00 WIB
Pemeriksaan Kesehatan Masyarakat Baduy Dalam dan Luar
Penyakit tuberkulosis (TB) dialami masyarakat Baduy, namun dengan kendala keterbatasan alat deteksi Tes Cepat Molekuler (TCM). (Dok Liputan6.com/Fitri Haryanti Harsono)

Liputan6.com, Banten - Tuberkulosis (TB) ternyata turut dialami masyarakat Baduy Dalam dan Luar yang tinggal di Kabupaten Lebak, Banten. Penanganan penyakit infeksi yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis (M.TB) kini tengah diupayakan di sana.

Dokter Wigati dari Puskesmas Cisimeut mengungkapkan estimasi kasus TB yang dialami masyarakat Baduy. Secara keseluruhan, masyarakat Baduy Dalam dan Luar yang mengalami TB kemungkinan di bawah 10 persen.

Walau begitu, pencatatan kasus TB masih terus berjalan dan didata. Terlebih lagi, masyarakat Baduy Luar yang kerap pergi ke luar daerah dan jarang ditemui, pendataan TB pun sedang didata rinci. 

“Untuk kasus tuberkulosis itu ada dari Baduy Luar sama Baduy Dalam. Kalau estimasinya ya mungkin di bawah 10 persen ya (kasusnya),” ungkap dokter Wigati saat diwawancara Health Liputan6.com di lapangan perbatasan Kampung Binong Raya, Desa Kebon Cau, Kecamatan Bojongmanik, Lebak, Banten, ditulis Senin (26/6/2023).

“Misalnya, untuk Baduy Luar gitu masih belum tahu sih pastinya, berapa yang kena tuberkulosis. Saat ini, kami juga sedang mendata.” 

Tiga Tahun Terakhir, Penurunan Kasus TB  

Perkembangan tiga tahun terakhir, lanjut dokter Wigati, terlihat penurunan kasus TB pada masyarakat Baduy. Untuk eliminasi kasus sendiri dapat diharapkan dapat terwujud.

“Untuk kasus TB-nya sendiri, ini dalam tiga tahun terakhir sudah ada penurunan. Kalau misalnya kita untuk eliminasi (kasus TB pada masyarakat Baduy) bisa saja, walaupun kami bukan pemegang utama soal penanganan TB,” katanya.

Keterbatasan Alat Tes Cepat Molekuler

Gejala tuberkulosis (TB) yang paling terlihat pada masyarakat Baduy berupa batuk. Namun, mereka menganggap batuk itu adalah batuk biasa sehingga terbilang terlambat didiagnosis.

Tak hanya persoalan batuk, alat mendeteksi TB dengan Tes Cepat Molekuler (TCM) juga terbatas dimiliki Puskesmas setempat yang menyangga perkampungan Baduy Dalam dan Luar. Salah satunya, di Puskesmas Cisimeut yang juga keterbatasan TCM.

“Kebanyakan mereka di Baduy itu menganggap batuk sebagai batuk yang biasa. Ini juga karena keterbatasan alat kesehatan TCM kami juga belum banyak,” terang dokter Wigati yang termasuk sub bagian Penanganan TB.

“Jadi hasilnya (diagnosis) agak lambat sih untuk keluar.”

Mulai Edukasi Soal TB

Adanya kasus TB di kalangan Baduy Dalam dan Luar, para tenaga kesehatan dari Puskesmas Cisimeut mulai melakukan edukasi dan sosialisasi. Perlahan-lahan, masyarakat Baduy mengerti dan paham terkait gejala dan pengobatan TB.

“Kami mulai edukasi ke masyarakat, sosialisasi terjun ke lapangan ya, entah didengar atau enggak sama mereka. Makin lama makin ke sini ya Alhamdulillah sih udah ada peningkatan kesadaran mereka gitu,” lanjut dokter Wigati.

“Mereka mulai mengerti, paham. Ada yang mengarahkan gitu khusus untuk Baduy di luar itu, misalnya, ada kader. Cuman kalau di Baduy Dalam kan enggak ada. Jadi kerja sama antara bidan sama yang ketua desanya lah, tetua adatnya.”

Kendala Pola Pikir Adat

Pemeriksaan Kesehatan Masyarakat Baduy Dalam dan Luar
Secara khusus, penanganan tuberkulosis (TB) pada masyarakat Baduy Dalam terkendala beberapa hal. Terutama terkait pola pikir yang masih kental dengan pengobatan adat. (Dok Liputan6.com/Fitri Haryanti Harsono)

Secara khusus, penanganan tuberkulosis (TB) pada masyarakat Baduy Dalam terkendala beberapa hal. Terutama terkait pola pikir yang masih kental dengan pengobatan adat.

“Karena memang Baduy Dalam ya kendalanya banyak aja. Misalnya, pola pikir mereka yang lebih ke adat. Kita enggak bisa menentang adat itu sendiri,” dokter Wigati menerangkan.

“Cuma kalau kita memang akhirnya enggak bisa ngasih edukasi ke mereka ya jadinya mereka kurang jela. Beda kalau sama yang di Baduy Luar (lebih terbuka).” 

Obat Diberikan untuk 2 Minggu

Menyoal pemberian obat tuberkulosis (TB) sendiri kepada masyarakat Baduy untuk durasi waktu dua minggu. Namun, pada tahap minum obat inilah, terdapat pula kendala.

Pemantauan terkait apakah obat diminum atau tidak terbilang sangat sulit. Meski begitu, warga Baduy yang mengalami TB, kondisinya ternyata membaik.

“Kalau di Baduy untuk pemberian obat itu enggak lama. Paling lama itu dua minggu. Kalau pemantauan obat, apakah emang obatnya diminum atau enggak ya susah. Karena itu kan kami harus langsung ke lapangan (buat ngecek),” pungkas dokter Wigati.

“Tapi Alhamdulillah, yang kemarin kami obati mulai ada perbaikan.” 

Bocah Baduy Jalani Pengobatan TB

Pada September 2022 santer pemberitaan sembilan warga Baduy meninggal dengan diagnosis campak dan tuberkulosis (TB). 

Awalnya, ditemukan sebanyak enam orang suku Baduy yang meninggal dengan dugaan TBC. Namun setelah dilakukan pemeriksaan darah diketahui sebanyak sembilan warga yang meninggal dengan tujuh di antaranya, terinfeksi campak dan dua di antaranya, putus berobat dari pengobatan TBC. 

Mengutip laman Stop TB Partnership, hingga 22 September 2022 dilaporkan terdapat 18 warga Baduy yang terdiagnosis sakit TB. Dua warga di antaranya, dirujuk ke RSUD Banten untuk menjalani pengobatan TB.

Salah satu pasien tersebut masih berusia 7 tahun, Bohani namanya. Ia sempat menjalani pengobatan TB selama 2 bulan juga berat badannya bertambah dari 8 kg menjadi 12 kg. 

Kondisi Memburuk Akibat Gizi Buruk

Namun demikian, Bohani tak melanjutkan pengobatan dikarenakan jarak Puskesmas yang cukup jauh dari rumah. Kondisi Bohani pada waktu itu semakin memburuk lantaran bocah itu mengalami gizi buruk. 

Sebelumnya, Muhammad Arif Kirdiat selaku Ketua Koordinator Sahabat Relawan Indonesia (SRI) menginformasikan, Tim Medis SRI sempat melakukan kunjungan pada tanggal 19 September 2022.

Saat itu, kondisi Bohani cukup baik, bahkan ia berlari-lari dan bermain bersama temannya. Namun, pada 21 September lalu dilaporkan kondisi Bohani memburuk. Akhirnya, Tim Medis SRI membawa Bohani ke RSUD Banten untuk melakukan pengobatan.

Jarak tempuh dari rumah Bohani ke RSUD Banten cukup jauh, yaitu 80 KM. Sebenarnya terdapat RSUD Adjidarmo yang lebih dekat, tapi karena Bohani tidak ada Kartu Indonesia Sehat (KIS) sehingga ia tidak bisa berobat di RSUD tersebut. 

Pada akhirnya, Bohani mendapatkan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) yang bisa menggantikan Kartu Indonesia Sehat (KIS) untuk mendapatkan pengobatan gratis di RSUD Banten.

Infografis 5 Posisi Proning, Bantu Pernapasan Pasien Isolasi Mandiri Covid-19. (Liputan6.com/Niman)
Infografis 5 Posisi Proning, Bantu Pernapasan Pasien Isolasi Mandiri Covid-19. (Liputan6.com/Niman)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya