Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah sedang berupaya keras menangani polusi udara yang menjerat Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek). Kualitas udara yang memburuk membuat banyak warga mengeluhkan sesak napas dan batuk serta anak-anak terkena Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).
Menilik polusi udara di masa endemi COVID-19, pertanyaan menyeruak, apakah kondisi sekarang dapat menjadi beban ganda (double burden) kesehatan?
Baca Juga
Terlebih lagi, diperkirakan pembiayaan BPJS Kesehatan terhadap penyakit pernapasan seperti pneumonia dan ISPA dengan polusi udara semakin meningkat. Pada tahun 2022 saja, penyakit pernapasan menelan pembiayaan BPJS Kesehatan sebesar Rp10 triliun.
Advertisement
PHBS dan Pakai Masker
Dokter spesialis pulmonologi dan kedokteran respirasi Erlina Burhan menjelaskan, pencegahan dalam situasi polusi udara sama seperti COVID-19. Utamanya, masyarakat perlu kembali menggiatkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).
“Dengan polusi udara saja, kita harus melakukan prevention (pencegahan), salah satunya PHBS. Kita juga pakai masker supaya polutan tidak terhirup dan kalau kita monitor itu PM2.5 yang ukurannya sangat kecil, sehingga dianjurkan pakai masker respirator KN95,” jelas Erlina dalam webinar bertajuk, Sadari, Siaga, Solusi Terhadap Mutasi Virus pada Masa Endemi COVID-19, ditulis Senin (11/9/2023).
“Dengan kita pakai masker ya COVID teratasi dan polusi udaranya juga at least (setidaknya) terlindungi diri kita, meski mungkin tidak teratasi dengan masker. Karena kan masalah polusi harus diselesaikan di hulu.”
Kalau Abai, Polusi dan COVID Bisa Jadi Beban Ganda
Pemakaian masker sebagai perlindungan dari polusi udara merupakan intervensi di hilir. Apabila intervensi polusi udara dan COVID diabaikan, keduanya bisa menimbulkan masalah.
“Saya kira penanganan polusi udara itu tetap di hulu, yang diintervensi ya kalau pakai masker kan udah di hilir, berarti udah ada masalah, udah ada dampaknya tuh mungkin sehingga kita katakan Yuk pakai masker,” lanjut Erlina Burhan.
“Ya memang, kalau kita abai dan tidak ada upaya pencegahan, bisa jadi sih dua-duanya jadi masalah (beban ganda).”
“Mestinya Tak Masalah Diminta Pakai Masker”
Erlina menuturkan, rekomendasi pakai masker saat polusi udara seharusnya tidak lagi menjadi beban bagi masyarakat. Sebab, kita semua sudah terbiasa pakai masker selama pandemi COVID-19.
“Oleh sebab itu, yuk jangan sampai dua-duanya – polusi udara dan COVID – jadi masalah. Alhamdulillah, COVID udah enggak lagi banyak, terkendali tapi tetaplah PHBS dan dengan polusi udara ya kita kembali lagi deh pakai masker,” tuturnya.
“Kan udah terbiasa tiga tahun pakai masker. Kalau sekarang diminta pakai masker lagi sih mestinya enggak masalah ya.”
Advertisement
Pantau Kualitas Udara
Agar aman beraktivitas di tengah kualitas udara memburuk, Erlina Burhan memberikan tips. Masyarakat bisa mengecek kualitas udara di tempat tinggal masing-masing melalui berbagai aplikasi yang sudah tersedia.
Misalnya, IQAir Air Visual, Nafas, Udara Kita, dan Air Quality.
“Polusi udara saat ini, satu pantau kualitas udara sebelum memutuskan untuk keluar rumah atau outdoor activities (aktivitas luar ruang) dan kalau sangat terpaksa dan sangat urgent keluar rumah walaupun monitoringnya (kualitas udara) merah pakailah masker,” pesan Erlina yang berpraktik di RSUP Persahabatan Jakarta.
“Kalau harus keluar rumah ya sebentar aja. Jangan terlalu lama karena durasi paparan memengaruhi dampak yang terjadi.”
Satu Perlindungan dengan Masker
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Wiku Adisasmito menambahkan, masker respirasi yang biasa untuk COVID dinilai juga dapat menyaring polutan partikel PM2.5.
“Masker yang selama ini yang kita pakai kan untuk menyaring virus COVID SARS-CoV-2 yang ukurannya jauh lebih kecil daripada polutan partikel pencemaran udara yang kita hadapi,” tambahnya.
“Sebenarnya, dengan perlindungan satu (pakai masker) ya dua-duanya – polusi udara dan COVID-19 – enggak bisa masuk ya. Jadi dengan menggunakan masker aja enggak masalah.”
Paparan COVID-19 Lebih Cepat
Di sisi lain, Wiku Adisasmito mengingatkan, paparan virus COVID dapat lebih cepat dialami seseorang dibanding akibat pencemaran udara. Efek polusi udara baru akan terasa tatkala partikel dalam jumlah banyak masuk ke saluran pernapasan.
“Kalau dilihat dari reaksi tubuhnya, mungkin kena COVID cepat ngefek, kalau pencemaran udara agak lama. Perlu masuk ke sirkulasi pernapasan dulu dalam jumlah banyak, lalu ada efek jangka panjang,” imbuhnya.
“Nah, itu yang kadang-kadang masyarakat enggak waspada. Kalau sudah kondisi seperti ini lebih kita sedia payung sebelum hujan. Jadi pakai masker dan kalau di rumah pastinya debu dan seterusnya enggak boleh ada, supaya kita selalu terjaga sehat di semua tempat sehari-hari.”
Protokol 6M +1S
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI telah mengeluarkan protokol kesehatan dalam menghadapi polusi udara yang dikenal dengan nama 6M+1S. Isinya antara lain:
- Memeriksa kualitas udara melalui aplikasi atau website
- Mengurangi aktivitas luar ruangan dan menutup ventilasi rumah/kantor/sekolah/tempat umum saat polusi udara tinggi
- Menggunakan penjernih udara dalam ruangan
- Menghindari sumber polusi dan asap rokok
- Menggunakan masker saat polusi udara tinggi
- Melaksanakan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
- Segera konsultasi daring/luring dengan tenaga kesehatan jika muncul keluhan pernapasan
Advertisement