Kaleidoskop 2023: Kilas Balik Dunia Kesehatan Indonesia, RUU Kesehatan Sah Jadi UU dan Pandemi Jadi Endemi

Salah satu yang menjadi topik hangat tahun ini dan tentunya masuk dalam Kaleidoskop 2023 yaitu Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang kemudian resmi menjadi Undang-Undang Kesehatan.

oleh Dyah Puspita Wisnuwardani diperbarui 27 Des 2023, 06:36 WIB
Diterbitkan 23 Des 2023, 17:00 WIB
Ikatan Dokter Indonesia dan Organisasi Profesi pada Selasa Pagi 11 Juli 2023 Kembali Menggelar Demo di Depan Gedung DPR RI Jelang Disahkannya RUU Kesehatan Hari Ini (Ade Nasihudin Al Ansori/Liputan6.com)
Ikatan Dokter Indonesia dan Organisasi Profesi pada Selasa Pagi 11 Juli 2023 Kembali Menggelar Demo di Depan Gedung DPR RI Jelang Disahkannya RUU Kesehatan Hari Ini (Ade Nasihudin Al Ansori/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah peristiwa terkait dunia kesehatan Indonesia mewarnai tahun 2023. Salah satu yang menjadi topik hangat tahun ini dan tentunya masuk dalam Kaleidoskop 2023 yaitu Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang kemudian resmi menjadi Undang-Undang Kesehatan.

Dalam prosesnya menjadi undang-undang, regulasi kesehatan baru ini menuai pro dan kontra. Sejumlah oraganisasi profesi kesehatan menyuarakan penolakan dan kekhawatiran mereka terkait isi rancangan undang-undang tersebut bahkan sejak 2022.

Pada 19 Juni 2023, Komisi IX DPR RI dengan didukung Kementerian Kesehatan, sepakat akan membawa RUU Kesehatan ke rapat paripurna guna disahkan menjaid Undang-Undang. Organisasi Profesi Kesehatan yang terdiri dari PB IDI, Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) tetap menolak rancangan regulasi itu disahkan.

"Kami dari 5 Organisasi Profesi tetap menyatakan,walaupun ini sudah akhir di dalam Pembahasan di Tingkat I dan akan segera masuk dalam Pembahasan Tingkat II, maka kami tetap meminta untuk meninjau kembali dan setop pembahasan, tidak dilanjutkan kembali di Tingkat II," tegas Adib di Kantor PB IDI Jakarta, Senin (19/6/2023).

Sebelumnya, ada tujuh poin yang menjadi alasan kelima organisasi profesi menolak draft RUU Kesehatan seperti disampaikan Ketua Bidang Hukum Pembelaan dan Pembinaan Anggota (BHP2A) IDI Beni Satria.

Poin-poin tersebut yakni:

  • Draft yang IDI pelajari dan kaji terkait pelayanan kesehatan justru menghilangkan unsur-unsur lex specialis di dalam Undang-Undang Profesi.
  • Dalam draft ada penghapusan anggaran yang sudah ditetapkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Jadi, pemerintah mengusulkan agar anggaran yang ditetapkan sebesar 10 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) itu dihapuskan.

“Itu tentu kami tolak, kenapa? Karena masyarakat pasti terabaikan di sini. Alokasi 10 persen saja tidak terserap secara maksimal, apalagi kalau itu dihapuskan. Ini menjadi persoalan khusus,” kata Beni Satria.

  • Seluruh undang-undang yang mengatur dokter, dokter gigi, perawat, bidan, tenaga kesehatan, rumah sakit dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pencabutan ini dinilai mengganggu perlindungan dan hak masyarakat, tambah perwakilan dari organisasi profesi kesehatan itu.
  • Pemerintah menghapuskan satu-satunya unsur organisasi profesi. Padahal, organisasi profesi bisa memberi perlindungan pada masyarakat dan sudah diatur dalam undang-undang.

Undang-undang profesi itu hak wajib satu untuk memberi perlindungan kepada masyarakat. Jangan sampai ada double standard, dobel profesi yang kemudian menimbulkan kegaduhan dan masyarakat tidak mendapatkan haknya.”

  • Terkait pasal aborsi, tadinya diatur maksimal 8 minggu. Dalam RUU ini, aborsi dibolehkan hingga 14 minggu di mana janin sudah terbentuk. Ini dinilai bukan lagi kategori aborsi melainkan pembunuhan janin.
  • Terkait legalisasi tembakau dan alkohol. IDI khawatir banyak masyarakat yang tidak terlindungi dari sisi kesehatan.
  • Terkait kriminalisasi tenaga kesehatan, RUU tersebut dinilai memuat banyak pasal pemidanaan nakes.

 

Tanggapan Menkes Budi Gunadi Sadikin

Sulitnya RUU Kesehatan Omnibus Law diterima sejumlah pihak diakui Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin. Meski demikian, Budi Gunadi menilai, UU Kesehatan di Indonesia memang perlu perbaikan lantaran sudah tertinggal jauh.

“Begitu kita lihat undang-undang kita udah jauh tertinggal ya," ujar Budi Gunadi dalam sesi dialog Menkes Bicara Rapor Pandemi Hingga Polemik RUU Kesehatan pada Senin, 3 Juli 2023.

Sebelumnya, Budi Gunadi menyebut RUU Kesehatan ibarat kompas (penunjuk arah) bagi sistem transformasi kesehatan Indonesia. Pembahasan RUU ini pun oleh Pemerintah dan DPR RI masuk dalam Pembahasan Tingkat II.

"Rancangan Undang-Undang Kesehatan ini merupakan kompas bagi transformasi sistem kesehatan Indonesia dan oleh karenanya, tanpa kerja sama dari berbagai pihak, tanpa kerja sama mustahil untuk kita bersama bisa mencapai tujuan," ucapnya saat Rapat Kerja bersama Komisi IX DPR RI di Gedung DPR RI, Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, ditulis Selasa (27/6/2023).

Kehadiran RUU yang akan menjadi UU diharapkan bisa memberi layanan kesehatan yang lebih baik bagi masyarakat.

"Dari fokus mengobati menjadi mencegah; dari akses yang susah menjadi mudah; dari industri kesehatan luar negeri menjadi mandiri dalam negeri; dari sistem kesehatan yang rentan di masa wabah menjadi tangguh," imbuhnya.

"Kemudian dari pembiayaan tidak efisien menjadi transparan dan efektif; dari kurangnya jumlah dan distribusi tenaga kesehatan menjadi cukup dan merata; dari perizinan yang rumit dan lama menjadi cepat, mudah dan sederhana; dari sistem informasi kesehatan dan teknologi kesehatan yang canggih menjadi terintegrasi; dari teknologi tertinggal menjadi terdepan."

RUU Kesehatan Sah Jadi UU Kesehatan

Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan resmi menjadi Undang Undang Kesehatan pada Selasa, 11 Juli 2023 dengan ketuk palu dari Ketua DPR RI Puan Maharani.

Ada dua fraksi yang menolak pengesahan RUU Kesehatan menjadi UU Kesehatan, yakni Demokrat dan PKS. Sedangkan enam fraksi lainnya seperti PDIP, Golkar, Gerindra, PKB, PAN, dan PPP menyataan setuju.

Adapun Fraksi Nasdem menyetujui RUU Kesehatan dilanjutkan dalam pembicaraan tingkat dua/pengambilan dalam keputusan rapat paripurna dengan catatan mandatory spending diusulkan minimal 10 persen dari APBD/APBN.

Pengesahan UU Kesehatan pun mendapat beragam tanggapan dari beberapa pihak.

Peneliti Global Health Security Griffith University Australia, Dicky Budiman, mengatakan lenyapnya mandatory spending atau alokasi wajib anggaran 10 persen dalam Undang-Undang Kesehatan yang baru merupakan sebuah kemunduran.

"Jelas ini suatu kemunduran bukan kemajuan. Bahkan, memasuki era yang lebih membutuhkan anggaran besar, respons pemerintah malah mengalami kemunduran," kata Dicky.

Hal tersebut menunjukkan komitmen pemerintah yang lemah dalam pembangunan kesehatan. Padahal, World Health Organization (Badan Kesehatan Dunia) menyarankan bahwa setidaknya ada alokasi minimal pada negara-negara berkembang sebesar 5-10 persen dari total anggaran untuk kesehatan.

"Ini mengundang masalah, artinya komitmen melemah dalam pembangunan kesehatan, apa pun alasannya," kata Dicky tegas dalam pesan suara ke Health-Liputan6.com ditulis Rabu (12/7/2023).

Ketiadaan mandatory spending berdampak pada program-program kesehatan tak lagi mendapatkan kecukupan dana di tengah ancaman yang makin besar.

Sementara itu, aspek positifnya hanya pada anggaran yang menjadi fleksibel karena keterbatasan atau sedikitnya dana.

Adapun pakar hukum pidana dan hukum kesehatan Universitas Airlangga (Unair) Riza Alifianto Kurniawan melihat RUU Kesehatan terbaru memberikan perubahan kebijakan dalam pengelolaan dan pemberian hak atas kesehatan kepada warga Indonesia.

“RUU ini berpeluang untuk berkontribusi dalam peningkatan derajat kesehatan di Indonesia,” ujar Riza, Senin (17/7/2023).

Riza juga mengomentari isu perlindungan hukum bagi nakes. Menurutnya, perlindungan hukum terhadap tenaga medis dan nakes tidak berubah. Negara tetap menjamin bahwa tenaga medis dan nakes dilindungi oleh hukum dalam menjalankan tugas keprofesian mereka.

Mengenai isu kriminalisasi nakes, UU Kesehatan yang baru mengatur tentang nakes yang dapat dipidana apabila melakukan kesalahan atau kelalaian. Menurutnya, pengaturan itu bukan merupakan bentuk kriminalisasi bagi nakes.

“Tindakan ceroboh atau sembrono yang berakibat luka atau mati dilarang oleh hukum, sehingga semua orang yang bersikap ceroboh dan lalai (negligence) layak untuk dipidana termasuk nakes,” jelas pengajar mata kuliah Kejahatan Terhadap Nyawa dan Harta Kekayaan tersebut.

Lalu, sengketa medis yang terjadi antara dokter dengan pasien, menurut UU Tenaga Kesehatan, wajib diselesaikan secara mediasi dahulu sebelum ada proses litigasi. Ia menegaskan hal ini cukup menunjukkan tidak adanya kriminalisasi khusus bagi dokter atau nakes.

Sedangkan, terkait isu mandatory spending, Riza mengatakan bahwa negara harus berkomitmen kuat untuk menjamin pembiayaan kesehatan masyarakat Indonesia ke depannya.

“Komitmen kuat disertai pelaksanaan yang baik ini bertujuan agar penurunan derajat kesehatan masyarakat Indonesia dapat dicegah,” tukasnya.

Perubahan Status Pandemi Menjadi Endemi

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan pencabutkan status pandemi COVID-19 pada Rabu, 21 Juni 2023. Saat ini Indonesia memasuki masa endemic (Foto: Youtube Sekretariat Presiden)
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan pencabutkan status pandemi COVID-19 pada Rabu, 21 Juni 2023. Saat ini Indonesia memasuki masa endemic (Foto: Youtube Sekretariat Presiden)

Selain soal pro-kontra Undang-Undang Kesehatan baru, Indonesia juga mengalami peralihan status dari pandemi menjadi endemi. Perubahan status tersebut disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Rabu, 21 Juni 2023: pemerintah secara resmi mencabut status pandemi.

"Setelah tiga tahun lebih berjuang bersama menghadapi pandemi COVID-19, sejak hari ini Rabu, 21 Juni 2023, pemerintah memutuskan mencabut status pandemi," kata Jokowi.

"Dan, kita mulai memasuki masa endemi," tutur Jokowi dalam video yang diunggah di Kanal YouTube Sekretariat Presiden sekitar pukul 15.00 WIB.

Angka kasus COVID-19 yang rendah dan nyaris nihil serta hasil sero survei yang menunjukkan 99 persen masyarakat sudah memiliki antibodi COVID-19 menjadi dasar diambilnya keputusan masuk ke masa endemi.

Hal lain yang turut melatarbelakangi yakni dicabutnya Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) yang sudah lebih dulu dilakukan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

"WHO juga telah mencabut status Public Health Emergency of International Concern," kata Jokowi di kesempatan yang sama.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya