Apa Itu Doom Spending? Pahami Fenomena Generasi Z yang Mengancam Masa Depan Finansial

Doom spending menjadi tren di kalangan Gen Z. Pelajari penyebab, dampak, dan cara mengatasinya untuk mencapai kesehatan finansial jangka panjang.

oleh Mabruri Pudyas Salim diperbarui 26 Sep 2024, 20:45 WIB
Diterbitkan 26 Sep 2024, 20:45 WIB
Banyak Challenge yang Bisa Kamu Jadikan Investasi
Ilustrasi belanja secara cashless. Credit: pexels.com/pixabay

Liputan6.com, Jakarta Generasi Z dan milenial sedang menghadapi tantangan finansial yang belum pernah terjadi sebelumnya. Biaya hidup yang terus meningkat, ketidakpastian ekonomi, dan kesulitan mencapai tonggak finansial tradisional seperti membeli rumah telah menciptakan lingkungan yang penuh tekanan. Di tengah situasi ini, muncul fenomena baru yang disebut "doom spending" atau "pengeluaran suram".

Doom spending adalah perilaku membelanjakan uang secara berlebihan untuk kesenangan jangka pendek sebagai respons terhadap kecemasan tentang masa depan keuangan. Fenomena ini terutama populer di kalangan Generasi Z dan milenial, yang merasa frustrasi dengan prospek ekonomi mereka. Alih-alih menabung untuk masa depan yang tampaknya suram, mereka memilih untuk YOLO atau "hidup di masa sekarang" dan menghabiskan uang untuk hal-hal yang memberi kepuasan instan.

Meskipun dapat memberikan kelegaan sementara, doom spending sebenarnya dapat memperburuk masalah keuangan jangka panjang. Artikel ini akan membahas secara mendalam tentang apa itu doom spending, mengapa fenomena ini menjadi tren di kalangan Gen Z, dan bagaimana cara mengatasi perilaku keuangan yang berpotensi merusak ini, sebagaimana telah dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Kamis (26/9/2024).

Apa Itu Doom Spending?

Doom spending adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perilaku pengeluaran yang didorong oleh pesimisme tentang masa depan keuangan seseorang atau keadaan ekonomi secara umum. Orang-orang yang terlibat dalam doom spending cenderung membelanjakan uang untuk kesenangan jangka pendek atau barang-barang mewah, alih-alih menabung atau berinvestasi untuk masa depan.

Fenomena ini sering dikaitkan dengan mentalitas "apa gunanya menabung jika masa depan terlihat suram?" Sebagai contoh, seseorang mungkin berpikir: "Saya tidak akan pernah mampu membeli rumah, jadi lebih baik saya menghabiskan uang untuk liburan mewah sekarang."

Beberapa karakteristik doom spending meliputi:

  1. Pembelian impulsif tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang
  2. Menggunakan belanja sebagai mekanisme koping untuk stres finansial
  3. Mengabaikan tabungan atau investasi jangka panjang
  4. Membenarkan pengeluaran berlebihan dengan alasan "hidup hanya sekali" (YOLO/ You Only Live Once)

Dampak Doom Spending

Meskipun doom spending mungkin memberikan kepuasan jangka pendek, dampak jangka panjangnya bisa sangat merugikan:

  1. Peningkatan utang: Pengeluaran berlebihan sering kali mengarah pada penggunaan kartu kredit yang tidak terkendali.
  2. Kurangnya dana darurat: Tanpa tabungan, individu menjadi rentan terhadap krisis keuangan.
  3. Keterlambatan dalam mencapai tujuan finansial: Penundaan investasi dapat menghambat pertumbuhan kekayaan jangka panjang.
  4. Stres dan kecemasan: Ironisnya, perilaku yang dimaksudkan untuk mengurangi stres justru dapat menciptakan lebih banyak kecemasan finansial.

Mengapa Generasi Z Rentan Terhadap Doom Spending?

Ilustrasi shopping, belanja
Ilustrasi shopping, belanja. (Photo by freestocks on Unsplash)

Generasi Z, yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an, tampaknya paling rentan terhadap perilaku doom spending. Beberapa faktor yang berkontribusi terhadap fenomena ini di kalangan Gen Z meliputi:

1. Ketidakpastian Ekonomi

Gen Z tumbuh di era ketidakpastian ekonomi yang tinggi. Mereka menyaksikan dampak resesi global 2008 pada orang tua mereka dan memasuki dunia kerja di tengah pandemi COVID-19. Ketidakpastian ini menciptakan pesimisme tentang prospek keuangan mereka.

2. Tingginya Biaya Hidup

Inflasi yang tinggi dan kenaikan biaya perumahan membuat banyak Gen Z merasa bahwa tujuan finansial tradisional, seperti membeli rumah, berada di luar jangkauan mereka. Hal ini dapat mendorong mentalitas "mengapa repot-repot menabung?"

3. Beban Utang Pendidikan

Banyak Gen Z memasuki dunia kerja dengan beban utang pendidikan yang signifikan. Ini dapat membuat mereka merasa kewalahan dan kurang optimis tentang kemampuan mereka untuk mencapai stabilitas keuangan.

4. Budaya Konsumerisme dan Media Sosial

Media sosial dan pemasaran yang ditargetkan mendorong budaya "beli sekarang", sementara influencer sering menampilkan gaya hidup mewah yang tampaknya tidak terjangkau. Ini dapat menciptakan tekanan untuk mengikuti tren dan menghabiskan uang demi pengakuan sosial.

5. Kurangnya Pendidikan Keuangan

Banyak Gen Z merasa tidak dipersiapkan untuk mengelola keuangan mereka secara efektif. Kurangnya pemahaman tentang prinsip-prinsip keuangan dasar dapat menyebabkan keputusan pengeluaran yang buruk.

6. Mentalitas "Hidup di Masa Sekarang"

Ketidakpastian global, termasuk perubahan iklim dan ketegangan geopolitik, dapat mendorong filosofi "hidup untuk hari ini" yang mendukung pengeluaran segera daripada perencanaan jangka panjang.

Bagaimana Cara Mengatasi Doom Spending?

Ilustrasi boros belanja
Ilustrasi belanja (Foto: unsplash.com/christiann koepke)

Meskipun doom spending dapat menjadi kebiasaan yang sulit dipatahkan, ada beberapa strategi yang dapat membantu individu mengatasi perilaku ini dan membangun fondasi keuangan yang lebih kuat:

1. Edukasi Keuangan

Meningkatkan literasi keuangan adalah langkah pertama yang penting. Pelajari dasar-dasar penganggaran, investasi, dan manajemen utang. Semakin Anda memahami keuangan, semakin baik Anda dapat membuat keputusan yang bijaksana.

2. Tetapkan Tujuan Finansial yang Realistis

Alih-alih fokus pada tujuan yang tampak tidak terjangkau, tetapkan tujuan jangka pendek dan menengah yang lebih realistis. Merayakan pencapaian kecil dapat membantu membangun momentum positif.

3. Buat Anggaran yang Seimbang

Gunakan metode penganggaran seperti aturan 50/30/20: 50% untuk kebutuhan, 30% untuk keinginan, dan 20% untuk tabungan dan pembayaran utang. Ini memungkinkan Anda untuk tetap menikmati hidup sambil membangun stabilitas keuangan.

4. Otomatisasi Tabungan

Atur transfer otomatis dari gaji Anda ke rekening tabungan atau investasi. Dengan memprioritaskan tabungan, Anda mengurangi godaan untuk menghabiskan uang yang seharusnya ditabung.

5. Praktikkan Pembelian Sadar

Sebelum melakukan pembelian, tanyakan pada diri sendiri apakah barang tersebut benar-benar diperlukan dan apakah sesuai dengan tujuan keuangan jangka panjang Anda. Tunggu 24 jam sebelum melakukan pembelian besar untuk menghindari keputusan impulsif.

6. Cari Alternatif Murah untuk Hiburan

Temukan cara-cara kreatif untuk bersenang-senang tanpa menghabiskan banyak uang. Ini bisa termasuk mengeksplorasi acara komunitas gratis, menggunakan perpustakaan umum, atau mengadakan malam film di rumah dengan teman-teman.

7. Kelola Stres dengan Cara yang Sehat

Alih-alih menggunakan belanja sebagai mekanisme koping, cari outlet yang lebih sehat untuk mengelola stres. Ini bisa termasuk olahraga, meditasi, atau menghabiskan waktu di alam.

8. Kurangi Paparan Media Sosial

Batasi waktu yang Anda habiskan di media sosial, terutama jika itu memicu keinginan untuk berbelanja. Ingatlah bahwa banyak gaya hidup yang ditampilkan online tidak realistis atau berkelanjutan.

9. Bangun Komunitas Pendukung

Temukan teman atau komunitas online yang memiliki tujuan keuangan serupa. Dukungan dan akuntabilitas dari orang lain dapat sangat membantu dalam menjaga motivasi.

10. Fokus pada Pertumbuhan Jangka Panjang

Alih-alih terjebak dalam pesimisme, fokus pada apa yang dapat Anda kendalikan. Investasikan dalam diri sendiri melalui pendidikan dan pengembangan keterampilan untuk meningkatkan prospek karir jangka panjang Anda.

 

Doom spending mungkin tampak seperti solusi jangka pendek untuk mengatasi kecemasan finansial, tetapi pada akhirnya dapat mengakibatkan masalah keuangan yang lebih besar. Bagi Generasi Z dan milenial yang menghadapi tantangan ekonomi yang unik, penting untuk mengembangkan pendekatan yang lebih seimbang dan bertanggung jawab terhadap keuangan pribadi.

Dengan meningkatkan literasi keuangan, menetapkan tujuan yang realistis, dan mengembangkan kebiasaan pengeluaran yang sadar, generasi muda dapat membangun fondasi keuangan yang kuat meskipun menghadapi ketidakpastian. Ingatlah bahwa kesehatan finansial adalah perjalanan jangka panjang, dan langkah-langkah kecil yang konsisten dapat menghasilkan dampak besar dari waktu ke waktu.

Alih-alih menyerah pada pesimisme yang mendorong doom spending, ambillah kendali atas narasi keuangan Anda sendiri. Dengan pendekatan yang seimbang terhadap pengeluaran dan tabungan, Anda dapat menciptakan masa depan finansial yang lebih cerah dan stabil, terlepas dari tantangan ekonomi yang mungkin Anda hadapi saat ini.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya