Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Arab Saudi menerapkan pajak pertambahan nilai (PPN) mulai awal 2018. Hal itu dinilai akan berdampak terhadap biaya haji dan umrah.
Ketua Himpunan Penyelenggara Umrah dan Haji (Himpuh), Baluki Ahmad menuturkan, harga minyak merosot membuat pemerintah Arab Saudi mendorong kenaikan penerimaan negara termasuk lewat penarikan pajak. Baluki menilai, kebijakan tersebut wewenang Pemerintah Arab Saudi dan hal tersebut juga dilakukan setiap negara lainnya.
"Wajar kok. Ini tidak harus dimaknai negatif. Kita harus hargai," ujar Baluki saat dihubungi Liputan6.com, Senin (1/1/2018).
Advertisement
Baca Juga
Memang akibat kebijakan tersebut akan dongkrak biaya transaksi sehingga dapat pengaruhi biaya umrah dan haji.
"Semua bentuk transaksi ditambah lima persen. Semua dikenakan pajak mulai dari hotel, transportasi. Ini biaya transaksi bertambah ke akomodasi, transportasi dan perbelanjaan," ujar dia.
Meski demikian, pihaknya mengharapkan hal tersebut tidak pengaruhi semangat masyarakat Indonesia untuk menunaikan ibadah umrah dan haji. "InsyaAllah tidak (pengaruhi keinginan ibadah masyarakat Indonesia)," kata dia.
Baluki menilai, kebijakan pemerintah Arab Saudi dengan mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) lima persen lebih terasa kepada pihak swasta yang sebagai penyelenggara haji dan umrah. "Yang swasta akan terasa karena biaya ditanggung oleh jamaah. Sedangkan jamaah reguler ada biaya cadangan yang dananya dikelola badan pengelolaan," ujar dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Â
Arab Saudi dan UEA Kenakan Pajak Mulai Awal 2018
Sebelumnya, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) mulai memperkenalkan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk pertama kalinya pada awal 2018. Pungutan pajak sebesar 5 persen itu diterapkan di sebagian besar barang dan jasa.
Mengutip laman BBC, Senin 1 Januari 2018, negara-negara Teluk telah lama menarik pekerja asing dengan janji bebas pajak. Namun, pemerintah ingin meningkatkan pendapatan seiring dengan turunnya harga minyak. Pajak itu mulai dikenakan 1 Januari di kedua negara tersebut.
UEA memperkirakan, pendapatan PPN akan sekitar 12 miliar dirham atau sekitar US$ 3,3 miliar pada tahun pertama. Jumlah itu setara Rp 44,70 triliun (asumsi kurs Rp 13.546 per dolar Amerika Serikat).
Adapun pihaknya berencana kenakan pajak untuk bensin, solar, makanan, pakaian, dan tagihan listrik, sedangkan hotel sudah dikenakan PPN. Akan tetapi, sejumlah pengeluaran yang dikeluarkan dari pajak, yaitu perawatan medis, layanan keuangan, dan transportasi umum.
Dana moneter internasional atau IMF telah lama meminta negara-negara Teluk untuk diversifikasi sumber pendapatan selain cadangan minyak. Di Arab Saudi, lebih dari 90 persen pendapatan dari industri minyak. Adapun di UEA sekitar 80 persen. Kedua negara itu sudah mengambil sejumlah langkah untuk meningkatkan pendapatan pemerintah.
Di Arab Saudi sudah kenakan pajak tembakau dan minuman ringan, serta memangkas beberapa subsidi yang ditawarkan kepada penduduk setempat. UEA pun menaikkan tarif tol serta mengenakan pajak pariwisata. Namun, tidak ada rencana memperkenalkan pajak penghasilan. Sebagian besar warga bebas pajak atas penghasilannya.
Sejumlah negara Teluk antara lain Bahrain, Kuwait, Oman, dan Qatar berkomitmen untuk mengenakan PPN meski menunda rencana hingga 2019.
Advertisement